DAN, MUHAMMAD PUN MENJADI YATIM-PIATU
Entah kenapa, ketika membaca “gerakan” sebagian para
jamaah haji dari Makkah menuju Madinah, tadi pagi, tiba-tiba yang muncul dalam
benak saya justru kisah Nabi Muhammad Saw. ketika muda usia: ketika tiba-tiba
dia menghadapi kenyataan yang sangat perih. Ya, sangat perih, karena ibundanya
berpulang tidak lama selepas “menjenguk” makam ayahandanya, ‘Abdullah ibn ‘Abdul
Muththalib. Membayangkan suasana hati Muhammad muda usia itu, tiba-tiba bibir
saya bergumam, sangat pelan, “Wahai Muhammad, betapa berat derita yang engkau
lintasi sejak engkau lahir.”
Menjadi yatim sejak lahir dan menjadi yatim-piatu
ketika baru berusia sekitar 6 tahun, itulah “nasib” yang dialami Muhammad.
Kini, mari kita simak kembali perjalanan hidup Muhammad ketika kehilangan
ibundanya, Aminah binti Wahb.
Setelah
sekitar lima tahun tinggal bersama keluarga Halimah Al-Sa‘diyyah, Muhammad
tumbuh sehat dan berkembang pesat walau ia harus menjalani kehidupan orang
Badui di alam tandus nan keras dan
sejauh memandang hanya terlihat hamparan pemandangan yang menyadarkan hati
tentang kerapuhan manusia serta menggugah diri untuk merenung dan menyendiri. Selama
masa kecil di lingkungan Bani Sa‘d ini tidak terjadi sesuatu
yang layak dicatat sebagai peristiwa besar, kecuali suatu peristiwa yang di
kemudian hari terkenal dengan nama “Peristiwa Pembedahan Dada”.
Tentang
peristiwa pembedahan dada itu dituturkan, ketika Muhammad berusia empat tahun,
dua malaikat membuka dadanya dan menyucikannya dengan salju. Ini berarti batinnya
telah dimurnikan di usia muda oleh malaikat Allah Swt. Selepas itu, ia
didudukkan di atas timbangan dan ditimbang terhadap orang-orang biasa. Berapa
pun banyaknya orang yang ditambahkan di sisi lain timbangan tersebut, ternyata
ia masih saja lebih berat. Ini berarti, dialah yang paling penting dalam
pandangan Allah Swt. dan kelak ia akan membimbing umatnya ke jalan-Nya.
Selepas
beberapa tahun tinggal di lingkungan gurun pasir nan kerontang, Muhammad kecil
pun pulang ke Makkah untuk menjumpai ibundanya tercinta yang senantiasa sangat
merindukannya. Juga, sang kakek yang senantiasa memandang cucunya yang yatim
itu sebagai pengganti putranya yang telah berpulang. Tentu, ibundanya sangat
bahagia menerima kembali putra tunggalnya itu.
Tidak
lama selepas itu, sang ibunda mengajak putra tersayang itu, disertai Ummu
Aiman, berangkat meninggalkan Makkah dan menempuh perjalanan sekitar empat
ratus lima puluh kilometer ke Yatsrib, untuk mengenalkan putranya tersebut
dengan kaum kerabat ibunda kakeknya, di samping berziarah ke makam ayahandanya,
‘Abdullah ibn ‘Abdul Muththalib, yang dimakamkan di
sana.
Aminah
binti Wahb bukannya tidak tahu betapa sulitnya perjalanan yang
akan ditempuhnya itu: mengarungi padang pasir nan kerontang dengan
pasir-pasirnya yang membatu. Juga, ia bukannya tidak tahu
pelbagai kesulitan yang kerap dialami oleh mereka yang melintasi jantung
padang pasir dengan lembah-lembahnya nan sunyi dan tanah tandusnya yang
menggetarkan hati. Namun, kerinduannya untuk berkunjung ke Yatsrib dan
berziarah ke makam suaminya sedemikian kuat, sehingga kuasa menundukkan
pelbagai kesulitan yang sejatinya merupakan semacam siksaan. Ya, istri mana
yang tidak ingin mengetahui dan mengunjungi makam
sang suami tercinta yang tidak pernah
dikunjunginya semenjak sang suami berpulang.
Setiba mereka
di Yatsrib, kepada anak
itu diperlihatkan rumah tempat ayahandanya meninggal dulu serta tempat
ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama
kalinya Muhammad merasakan
sebagai anak yatim. Dan, barang kali,
ibundanya juga pernah menceritakan dengan panjang lebar perihal sang ayahanda
tercinta, yang selepas beberapa waktu
tinggal bersama, kemudian meninggal
dunia di tengah-tengah pamandanya dari
pihak ibu. Selepas berhijrah ke Kota Suci, Rasulullah Saw. pernah menceritakan kepada para sahabat
kisah perjalanannya yang pertama ke Yatsrib dengan ibundanya itu. Kisah yang penuh cinta pada Yatsrib
dan kisah yang penuh duka orang yang ditinggalkan keluarganya.
Sang
ibunda dan putranya itu tinggal di Yatsrib, di lingkungan sanak kerabat,
sekitar satu bulan. Di kota itu, Muhammad kecil sempat memanfaatkan waktunya
untuk belajar berenang di kolam pemandian. Dan, ketika mereka dalam perjalanan pulang
dari Yatsrib menuju Makkah, tiba-tiba badai kencang menghajar rombongan yang
sedang di tengah perjalanan itu dengan suhu udara yang tinggi membakar,
sehingga menyebabkan pasir-pasir di sekeliling mereka beterbangan laksana bunga
api yang membara. Perjalanan jadinya terpaksa dihentikan selama beberapa hari,
menanti redanya badai itu dan mengendap kembalinya pasir-pasir yang
diterbangkannya. Tetapi, tidak lama
kemudian Aminah merasa, daya tahan tubuh dan kondisi psikisnya runtuh serta tidak
lagi kuasa lagi menghadapi beratnya perjalanan yang sangat meletihkan itu. Dan,
ketika merasa perjalanan hidupnya di dunia yang fana ini akan usai, Bunga
Quraisy yang masih muda usia itu pun mendoakan, dalam bentuk puisi, putranya
yang ada di dekapannya:
Wahai putra seorang
ayahanda yang telah tiada selamanya
Ayah yang selamat
dari sembelihan karena pertolongan Yang Mahabijaksana
Ditebus dengan
penyembelihan seratus unta
Wahai putraku,
kiranya Allah memberkahimu, selamanya
Tidak
lama kemudian Aminah binti Wahb berpulang di usia muda. Dan, kemudian, Ummu Aiman membungkus tubuh
yang telah terbaring membujur itu, menutup wajah yang telah lesu itu, dan
memejamkan kedua mata yang telah padam itu. Sedangkan Muhammad kecil hanya
kuasa mengikuti pelayannya yang berkulit hitam sangat legam itu dengan
menundukkan kepala dan pasrah, menghadapi kenyataan tentang kematian ibundanya
tercinta. Mereka kemudian membawa jenazah itu menuju Abwa’, untuk dikebumikan
di tempat pembaringannya yang terakhir. Innâ
lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn!
Lengkaplah
kini Muhammad sebagai anak yatim-piatu. Tanpa
ayahanda dan ibunda yang membimbingnya dan mengasihinya. Muhammad kemudian
dibawa pulang oleh
Ummu Aiman, yang kini menjadi “ibunda pengganti” yang senantiasa
menyertai Muhammad hingga berpulang di
usia enam puluh tiga tahun kelak, ke Makkah.
Pulang menangis dengan hati yang pilu dan kini
hidup sebatang kara.
Muhammad
kecil, sebagai anak yatim, kian merasa kehilangan. Terasa olehnya hidup yang kian
sunyi, kian kelam, dan kian perih. Baru
beberapa hari yang lalu
ia mendengar dari
sang ibunda keluhan duka kehilangan ayahanda semasa ia masih
dalam kandungan. Kini, ia melihat
sendiri di hadapannya, sang ibunda pergi untuk tidak
kembali lagi, seperti ayahandanya dulu.
Tubuh yang masih
kecil itu kini mendapat cobaan dan ujian memikul beban hidup
yang berat, sebagai yatim-piatu. Akibatnya, dampak kenangan sedih
sebagai anak yatim-piatu itu menggores dalam sekali di jiwanya. Sehingga, belakangan
Al-Quran menuturkan kondisinya itu berikut pelajaran-pelajaran ruhaniah yang
terkait dengan pengalaman hidup di padang pasir, “Bukankah Dia mendapati engkau sebagai anak
yatim, lantas Dia melindungi? Dan Dia mendapati engkau tidak tahu jalan, lantas Ia memberi bimbingan?
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan. Karena itu, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang terhadap anak
yatim, tidak menghardik orang
yang minta-minta, dan hendaklah engkau
senantiasa bersyukur terhadap nikmat Tuhanmu. ” (QS Al-Dhuhâ
[93]: 6-11).
Betapa
getir kisah hidup Muhammad belia. Kala baru berusia sekitar enam tahun dia telah menjalani
pengalaman getir tidak berayah, kemiskinan, kesendirian, dan
kematian ibunda tercinta. Namun, di sepanjang perjalanan hidupnya dia
senantiasa menemukan tanda-tanda takdir yang–melalui manusia dan
lingkungan-menemani dan mempermudah
perkembangan dan pendidikan dirinya.
No comments:
Post a Comment