Wednesday, October 2, 2013

DAN, MUHAMMAD PUN MENJADI YATIM-PIATU

Entah kenapa, ketika membaca “gerakan” sebagian para jamaah haji dari Makkah menuju Madinah, tadi pagi, tiba-tiba yang muncul dalam benak saya justru kisah Nabi Muhammad Saw. ketika muda usia: ketika tiba-tiba dia menghadapi kenyataan yang sangat perih. Ya, sangat perih, karena ibundanya berpulang tidak lama selepas “menjenguk” makam ayahandanya, ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muththalib. Membayangkan suasana hati Muhammad muda usia itu, tiba-tiba bibir saya bergumam, sangat pelan, “Wahai Muhammad, betapa berat derita yang engkau lintasi sejak engkau lahir.”

Menjadi yatim sejak lahir dan menjadi yatim-piatu ketika baru berusia sekitar 6 tahun, itulah “nasib” yang dialami Muhammad. Kini, mari kita simak kembali perjalanan hidup Muhammad ketika kehilangan ibundanya, Aminah binti Wahb.

Setelah sekitar lima tahun tinggal bersama keluarga Halimah Al-Sa‘diyyah, Muhammad tumbuh sehat dan berkembang pesat walau ia harus menjalani kehidupan orang Badui di alam  tandus nan keras dan sejauh memandang hanya terlihat hamparan pemandangan yang menyadarkan hati tentang kerapuhan manusia serta menggugah diri untuk merenung dan menyendiri. Selama masa kecil di lingkungan Bani Sa‘d ini tidak terjadi sesuatu yang layak dicatat sebagai peristiwa besar, kecuali suatu peristiwa yang di kemudian hari terkenal dengan nama “Peristiwa Pembedahan Dada”.

Tentang peristiwa pembedahan dada itu dituturkan, ketika Muhammad berusia empat tahun, dua malaikat membuka dadanya dan menyucikannya dengan salju. Ini berarti batinnya telah dimurnikan di usia muda oleh malaikat Allah Swt. Selepas itu, ia didudukkan di atas timbangan dan ditimbang terhadap orang-orang biasa. Berapa pun banyaknya orang yang ditambahkan di sisi lain timbangan tersebut, ternyata ia masih saja lebih berat. Ini berarti, dialah yang paling penting dalam pandangan Allah Swt. dan kelak ia akan membimbing umatnya ke jalan-Nya.

Selepas beberapa tahun tinggal di lingkungan gurun pasir nan kerontang, Muhammad kecil pun pulang ke Makkah untuk menjumpai ibundanya tercinta yang senantiasa sangat merindukannya. Juga, sang kakek yang senantiasa memandang cucunya yang yatim itu sebagai pengganti putranya yang telah berpulang. Tentu, ibundanya sangat bahagia menerima kembali putra tunggalnya itu.

Tidak lama selepas itu, sang ibunda mengajak putra tersayang itu, disertai Ummu Aiman, berangkat meninggalkan Makkah dan menempuh perjalanan sekitar empat ratus lima puluh kilometer ke Yatsrib, untuk mengenalkan putranya tersebut dengan kaum kerabat ibunda kakeknya, di samping berziarah ke makam ayahandanya, ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muththalib, yang dimakamkan di sana.

Aminah binti Wahb bukannya tidak tahu betapa sulitnya perjalanan yang akan ditempuhnya itu: mengarungi padang pasir nan kerontang dengan pasir-pasirnya yang membatu. Juga, ia bukannya tidak tahu pelbagai kesulitan yang kerap dialami oleh mereka yang melintasi jantung padang pasir dengan lembah-lembahnya nan sunyi dan tanah tandusnya yang menggetarkan hati. Namun, kerinduannya untuk berkunjung ke Yatsrib dan berziarah ke makam suaminya sedemikian kuat, sehingga kuasa menundukkan pelbagai kesulitan yang sejatinya merupakan semacam siksaan. Ya, istri mana yang tidak ingin mengetahui dan mengunjungi makam sang suami tercinta yang tidak pernah dikunjunginya semenjak sang suami berpulang.

Setiba  mereka  di  Yatsrib, kepada  anak  itu diperlihatkan rumah tempat ayahandanya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama  kalinya Muhammad merasakan  sebagai  anak yatim. Dan, barang kali, ibundanya juga pernah menceritakan dengan panjang lebar perihal sang ayahanda tercinta,   yang   selepas beberapa  waktu  tinggal  bersama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamandanya dari  pihak ibu.  Selepas  berhijrah ke Kota Suci, Rasulullah  Saw. pernah menceritakan kepada para sahabat kisah perjalanannya yang pertama ke Yatsrib dengan  ibundanya itu. Kisah yang penuh cinta pada Yatsrib dan kisah yang penuh duka orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sang ibunda dan putranya itu tinggal di Yatsrib, di lingkungan sanak kerabat, sekitar satu bulan. Di kota itu, Muhammad kecil sempat memanfaatkan waktunya untuk belajar berenang di kolam pemandian. Dan, ketika mereka dalam perjalanan pulang dari Yatsrib menuju Makkah, tiba-tiba badai kencang menghajar rombongan yang sedang di tengah perjalanan itu dengan suhu udara yang tinggi membakar, sehingga menyebabkan pasir-pasir di sekeliling mereka beterbangan laksana bunga api yang membara. Perjalanan jadinya terpaksa dihentikan selama beberapa hari, menanti redanya badai itu dan mengendap kembalinya pasir-pasir yang diterbangkannya. Tetapi, tidak lama kemudian Aminah merasa, daya tahan tubuh dan kondisi psikisnya runtuh serta tidak lagi kuasa lagi menghadapi beratnya perjalanan yang sangat meletihkan itu. Dan, ketika merasa perjalanan hidupnya di dunia yang fana ini akan usai, Bunga Quraisy yang masih muda usia itu pun mendoakan, dalam bentuk puisi, putranya yang ada di dekapannya:

Wahai putra seorang ayahanda yang telah tiada selamanya
Ayah yang selamat dari sembelihan karena pertolongan Yang Mahabijaksana
Ditebus dengan penyembelihan seratus unta
Wahai putraku, kiranya Allah memberkahimu, selamanya

Tidak lama kemudian Aminah binti Wahb berpulang di usia muda.  Dan, kemudian, Ummu Aiman membungkus tubuh yang telah terbaring membujur itu, menutup wajah yang telah lesu itu, dan memejamkan kedua mata yang telah padam itu. Sedangkan Muhammad kecil hanya kuasa mengikuti pelayannya yang berkulit hitam sangat legam itu dengan menundukkan kepala dan pasrah, menghadapi kenyataan tentang kematian ibundanya tercinta. Mereka kemudian membawa jenazah itu menuju Abwa’, untuk dikebumikan di tempat pembaringannya yang terakhir. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn!

Lengkaplah kini Muhammad sebagai anak yatim-piatu. Tanpa ayahanda dan ibunda yang membimbingnya dan mengasihinya. Muhammad kemudian dibawa  pulang  oleh  Ummu  Aiman,  yang kini menjadi “ibunda pengganti” yang senantiasa menyertai Muhammad  hingga berpulang di usia enam puluh tiga tahun kelak, ke  Makkah. Pulang menangis dengan hati yang pilu dan kini hidup sebatang kara.

Muhammad kecil, sebagai anak yatim, kian merasa kehilangan. Terasa olehnya hidup yang kian sunyi,  kian  kelam, dan kian perih.  Baru  beberapa hari   yang   lalu  ia  mendengar  dari  sang ibunda  keluhan  duka kehilangan ayahanda semasa ia masih dalam kandungan.  Kini,  ia melihat  sendiri  di hadapannya,  sang ibunda pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayahandanya dulu.  Tubuh  yang  masih  kecil  itu  kini mendapat cobaan dan ujian memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu. Akibatnya, dampak kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu menggores dalam sekali di jiwanya. Sehingga, belakangan Al-Quran menuturkan kondisinya itu berikut pelajaran-pelajaran ruhaniah yang terkait dengan pengalaman hidup di padang pasir, Bukankah Dia mendapati engkau sebagai anak yatim, lantas Dia melindungi? Dan Dia mendapati engkau tidak tahu jalan, lantas Ia memberi bimbingan? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Karena itu, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, tidak menghardik orang yang minta-minta, dan  hendaklah engkau senantiasa bersyukur terhadap nikmat Tuhanmu. ” (QS Al-Dhuhâ [93]: 6-11).

Betapa getir kisah hidup Muhammad belia. Kala baru berusia sekitar enam tahun dia telah menjalani pengalaman getir tidak berayah, kemiskinan, kesendirian, dan kematian ibunda tercinta. Namun, di sepanjang perjalanan hidupnya dia senantiasa menemukan tanda-tanda takdir yang–melalui manusia dan lingkungan-menemani  dan mempermudah perkembangan dan pendidikan dirinya.


No comments: