JABATAN INI AKAN MEMBUAT SAYA BERDUSTA
Beberapa hari yang lalu, usai melaksanakan shalat Zhuhur,
entah kenapa mata saya terasa berat sekali. Tidak lama kemudian, tanpa saya
sadari sama sekali, saya terlempar jauh ke masa silam. Ya, jauh sekali, ke masa
sekitar abad ke 2 H/8 M. Yang lebih mengherankan lagi, tiba-tiba saya
seakan berada di Kufah, Irak. Jauh sekali. Berada di sebuah kota yang pertama
kali dibangun kaum Muslim itu, saya pun kebingungan. Kebingungan saya kian
membuncah setelah saya menyadari, ternyata saya tiba-tiba hidup di masa silam:
tujuh abad yang lalu. Karena kebingungan, saya kemudian segera menuju Masjid
Raya Kufah. Selepas melaksanakan shalat Tahiyyah Masjid di sana, eh saya
melihat seseorang berusia lanjut berwajah tampan dengan “nuansa” Afghanistan
dan memancarkan kewibawaan, sedang duduk tidak jauh dari mihrab masjid serta
dikitari banyak orang.
Melihat sekilas penampilan orang itu, entah kenapa saya
merasa, orang itu adalah seorang ulama besar. Menyadari hal yang demikian, saya
kemudian segera mendekati mereka dan duduk di belakang mereka. Tidak lama duduk
di situ, saya mendengar tokoh yang satu itu berucap pelan, “Saya akan menolak
jabatan qâdhî (hakim) ini.”
“Bagaimana cara menolak tawaran itu, Tuan Guru,” tanya
salah seorang di antara hadirin kala itu.
“Caranya sedang saya pikirkan,” jawab ulama yang
dipanggil Tuan Guru itu, dengan nada suara yang sangat berwibawa. “Saya akan
temui langsung penguasa itu di Baghdad. Saya tidak akan melarikan diri dari
penguasa itu, seperti yang dilakukan saudaraku Sufyan Al-Tsauri. Juga, saya
tidak akan pura-pura gila, seperti yang dilakukan saudaraku yang lain, Mis‘ar
ibn Kidam. “
“Tuan Guru,” sergah salah seorang yang hadir kala itu,
“sebaiknya jangan Anda lakukan ide itu. Lebih baik Anda menjauh ke negeri yang
jauh. Sebab, penguasa kita saat ini tidak pernah mau mendengar ada orang yang
menolak penawarannya. Bisa-bisa Tuan Guru dijatuhi hukuman berat.”
“Saya lebih baik dijatuhi hukuman daripada menjadi
seorang pendusta, saudaraku,” jawab ulama yang dipanggil Tuan Guru itu.
Tidak lama kemudian, Tuan Guru itu menuju Baghdad.
Penasaran dengan apa yang bakal terjadi, saya pun ikut dengan rombongan yang
mengantarkan Tuan Guru itu menuju ibu kota Dinasti ‘Abbasiyyah kala itu. Setiba
di kota itu, Tuan Guruyang senantiasa mengenakan busana terbaiknya ketika
shalat itu kemudian menuju istana. Mengetahui kedatangan sang ulama, penguasa yang
tinggal di istana itu pun menyambut kedatangannya dengan penuh kemegahan.
Kemudian, selepas berbagi sapa beberapa lama, Tuan Guru
itu berucap dengan suara yang sangat berwibawa, “Amir Al-Mu’minin, kiranya
Allah Swt. menganugerahkan kebijakan kepada Anda. Saya sudah menerima surat
Anda yang berisi penawaran untuk menjabat hakim. Namun, sungguh, saya tidak
kuasa menduduki jabatan itu.”
“Tuan Guru! Engkau harus bersedia menerima tawaran itu!”
sergah sang penguasa.
“Wahai Amir Al-Mukminin,” jawab ulama yang kelak, ketika
berpulang ke hadirat Allah Swt., di usia
tujuh puluh tahun pada 150
H/767 M, diantar ribuan anak manusia yang mencintainya dan menghormatinya. “Saya bukan orang Arab.
Para pemuka Arab tentu tidak akan menerima keputusan-keputusan yang akan saya
tetapkan sebagai qâdhî. Karena itu, saya merasa bahwa saya tidak cocok
dengan jabatan itu.”
“Tuan Guru!” sahut sang penguasa. “Jabatan itu tiada
kaitannya dengan masalah keturunan. Tetapi, jabatan itu berkaitan dengan
keahlian. Dan, engkau adalah seorang ulama terkemuka di masa ini!”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” sahut sang ulama, dengan nada
suara yang bijak. “Saya telah memutuskan, sepenuh hati, bahwa saya tidak kuasa
menduduki jabatan itu. Jabatan itu akan menyebabkan saya menjadi seorang
pendusta. Manakala saya menjadi seorang pendusta, tentu saya tidak pantas
menduduki jabatan itu. Sedangkan jika saya menjadi orang yang jujur, saya telah
menjelaskan kepada Anda, wahai Amir Al-Mukminin, saya tidak pantas menduduki
jabatan itu.”
Mendengar penolakan demikian, amarah sang penguasa pun
meledak. Ia pun memerintahkan agar ulama itu dihukum dera. Benar saja, ulama
yang telah berusia lanjut itu pun dihukum dera hingga mencapai bilangan seratus
tiga puluh cambukan. Saat itu, keluarlah ‘Abdurrahman ibn ‘Ali ibn
‘Abdullah ibn Al-‘Abbas ibn ‘Abdul Muththalib, pamanda sang penguasa, seraya
berteriak kepada kemenakannya itu, “Wahai Amir Al-Mukminin! Engkau telah
menghunus seratus ribu pedang yang mengancam jiwamu. Tokoh itu adalah seorang
ulama kondang penduduk negeri bagian timur. Dia dihukum dengan cambuk tanpa
dosa. Tidakkah engkau takut akan siksaan yang datang dari langit?”
Menerima sergahan keras demikian, sang penguasa pun
memerintahkan seorang pejabat agar melepaskan Tuan Guru dari bui. Mendengar
sergahan keras itu, saya pun terbangun dari mimpi. Ternyata, saya tidak sedang
berada di Baghdad Darusalam. Tapi, saya sedang berada di Bandung. Dan, ternyata,
apa yang saya alami tadi adalah mimpi belaka.
No comments:
Post a Comment