Monday, October 7, 2013

JABATAN INI AKAN MEMBUAT SAYA BERDUSTA

Beberapa hari yang lalu, usai melaksanakan shalat Zhuhur, entah kenapa mata saya terasa berat sekali. Tidak lama kemudian, tanpa saya sadari sama sekali, saya terlempar jauh ke masa silam. Ya, jauh sekali, ke masa sekitar abad ke 2 H/8 M. Yang lebih mengherankan lagi, tiba-tiba saya seakan berada di Kufah, Irak. Jauh sekali. Berada di sebuah kota yang pertama kali dibangun kaum Muslim itu, saya pun kebingungan. Kebingungan saya kian membuncah setelah saya menyadari, ternyata saya tiba-tiba hidup di masa silam: tujuh abad yang lalu. Karena kebingungan, saya kemudian segera menuju Masjid Raya Kufah. Selepas melaksanakan shalat Tahiyyah Masjid di sana, eh saya melihat seseorang berusia lanjut berwajah tampan dengan “nuansa” Afghanistan dan memancarkan kewibawaan, sedang duduk tidak jauh dari mihrab masjid serta dikitari banyak orang.

Melihat sekilas penampilan orang itu, entah kenapa saya merasa, orang itu adalah seorang ulama besar. Menyadari hal yang demikian, saya kemudian segera mendekati mereka dan duduk di belakang mereka. Tidak lama duduk di situ, saya mendengar tokoh yang satu itu berucap pelan, “Saya akan menolak jabatan qâdhî (hakim) ini.”
“Bagaimana cara menolak tawaran itu, Tuan Guru,” tanya salah seorang di antara hadirin kala itu.
“Caranya sedang saya pikirkan,” jawab ulama yang dipanggil Tuan Guru itu, dengan nada suara yang sangat berwibawa. “Saya akan temui langsung penguasa itu di Baghdad. Saya tidak akan melarikan diri dari penguasa itu, seperti yang dilakukan saudaraku Sufyan Al-Tsauri. Juga, saya tidak akan pura-pura gila, seperti yang dilakukan saudaraku yang lain, Mis‘ar ibn Kidam. “
“Tuan Guru,” sergah salah seorang yang hadir kala itu, “sebaiknya jangan Anda lakukan ide itu. Lebih baik Anda menjauh ke negeri yang jauh. Sebab, penguasa kita saat ini tidak pernah mau mendengar ada orang yang menolak penawarannya. Bisa-bisa Tuan Guru dijatuhi hukuman berat.”
“Saya lebih baik dijatuhi hukuman daripada menjadi seorang pendusta, saudaraku,” jawab ulama yang dipanggil Tuan Guru itu.

Tidak lama kemudian, Tuan Guru itu menuju Baghdad. Penasaran dengan apa yang bakal terjadi, saya pun ikut dengan rombongan yang mengantarkan Tuan Guru itu menuju ibu kota Dinasti ‘Abbasiyyah kala itu. Setiba di kota itu, Tuan Guruyang senantiasa mengenakan busana terbaiknya ketika shalat itu kemudian menuju istana. Mengetahui kedatangan sang ulama, penguasa yang tinggal di istana itu pun menyambut kedatangannya dengan penuh kemegahan.

Kemudian, selepas berbagi sapa beberapa lama, Tuan Guru itu berucap dengan suara yang sangat berwibawa, “Amir Al-Mu’minin, kiranya Allah Swt. menganugerahkan kebijakan kepada Anda. Saya sudah menerima surat Anda yang berisi penawaran untuk menjabat hakim. Namun, sungguh, saya tidak kuasa menduduki jabatan itu.”
“Tuan Guru! Engkau harus bersedia menerima tawaran itu!” sergah sang penguasa.
“Wahai Amir Al-Mukminin,” jawab ulama yang kelak, ketika berpulang ke hadirat  Allah Swt., di usia tujuh puluh  tahun  pada 150  H/767 M, diantar ribuan anak manusia yang mencintainya  dan menghormatinya. “Saya bukan orang Arab. Para pemuka Arab tentu tidak akan menerima keputusan-keputusan yang akan saya tetapkan sebagai qâdhî. Karena itu, saya merasa bahwa saya tidak cocok dengan jabatan itu.”
“Tuan Guru!” sahut sang penguasa. “Jabatan itu tiada kaitannya dengan masalah keturunan. Tetapi, jabatan itu berkaitan dengan keahlian. Dan, engkau adalah seorang ulama terkemuka di masa ini!”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” sahut sang ulama, dengan nada suara yang bijak. “Saya telah memutuskan, sepenuh hati, bahwa saya tidak kuasa menduduki jabatan itu. Jabatan itu akan menyebabkan saya menjadi seorang pendusta. Manakala saya menjadi seorang pendusta, tentu saya tidak pantas menduduki jabatan itu. Sedangkan jika saya menjadi orang yang jujur, saya telah menjelaskan kepada Anda, wahai Amir Al-Mukminin, saya tidak pantas menduduki jabatan itu.”

Mendengar penolakan demikian, amarah sang penguasa pun meledak. Ia pun memerintahkan agar ulama itu dihukum dera. Benar saja, ulama yang telah berusia lanjut itu pun dihukum dera hingga mencapai bilangan seratus tiga puluh cambukan. Saat itu, keluarlah ‘Abdurrahman ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn Al-‘Abbas ibn ‘Abdul Muththalib, pamanda sang penguasa, seraya berteriak kepada kemenakannya itu, “Wahai Amir Al-Mukminin! Engkau telah menghunus seratus ribu pedang yang mengancam jiwamu. Tokoh itu adalah seorang ulama kondang penduduk negeri bagian timur. Dia dihukum dengan cambuk tanpa dosa. Tidakkah engkau takut akan siksaan yang datang dari langit?”

Menerima sergahan keras demikian, sang penguasa pun memerintahkan seorang pejabat agar melepaskan Tuan Guru dari bui. Mendengar sergahan keras itu, saya pun terbangun dari mimpi. Ternyata, saya tidak sedang berada di Baghdad Darusalam. Tapi, saya sedang berada di Bandung. Dan, ternyata, apa yang saya alami tadi adalah mimpi belaka.


No comments: