KARENA CERDAS, NAMRUDZ PUN MENJADI SOMBONG DAN TAKABUR!
Selepas menuntaskan keraguan dan pencarian ruhaniah, yang membuat Nabi
Ibrahim a.s. akhirnya meyakini adanya Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, dan
Maha Bijaksana, dan kemudian setelah diangkat sebagai Nabi dan Rasul, kini
langkah sang Nabi mulai terarah untuk melaksanakan risalah seperti tugas yang
pernah diemban Nabi Nuh a.s.: menyerukan
kepada kaumnya supaya kembali pada ajaran yang dibawa Nabi Adam a.s. Yaitu
ajaran yang mengumandangkan bahwa Allah Swt.
adalah Tuhan semesta alam. Bukan Tuhan satu ras dan bangsa. Juga, bukan Tuhan yang terbatas untuk satu periode tertentu.
Menerima tugas berat sebagai seorang Rasul, Nabi Ibrahim a.s.
pertama-tama menebarkan seruannya kepada ayahandanya tercinta, Azar. Sang
ayahanda, seperti halnya masyarakat di mana mereka menetap, adalah seorang
penyembah berhala. Ketika menebarkan seruannya kepada sang ayahanda, sang Nabi
senantiasa menyampaikan seruannya dengan penuh kasih sayang dan bahasa yang
sangat santun. Namun, usaha sang Nabi menemui jalan buntu, sebagaimana yang
dialami Nabi Nuh a.s. ketika menyeru istrinya untuk beriman: Azar dengan
tegas menolak beriman. Tutur Al-Quran, tentang seruan sang Nabi kepada ayahanda
tercintanya itu,
“Ceritakanlah (wahai Muhammad), kisah Ibrahim di dalam
Al-Kitab (Al-Quran) ini. Sungguh, dia adalah seorang yang sangat membenarkan
lagi seorang Nabi. Ingatlah, ketika dia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku,
mengapakah kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan
tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai ayahku, sungguh telah datang
kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Karena itu,
ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.’” (QS
Maryam [19]: 41-43).
Lagi, sebuah pelajaran indah tersaji dalam Al-Quran, lewat kisah Nabi
Ibrahim a.s. ini: perjuangan menuju jalan lurus tidak senantiasa mudah. Dan, kerap
berliku. Malah, ajakan Nabi Ibrahim a.s. itu kemudian membangkitkan amarah
membara sang ayahanda. Demikian membara amarah sang ayahanda, hingga akhirnya
sang ayahanda mengancam akan melempari sang putra dengan batu dan mengusirnya. Ternyata,
meyakinkan orang lain tidak mudah, meski bagi seorang Nabi sekalipun. Apalagi,
manakala hal itu berkaitan dengan keimanan.
Gagal dengan usaha mulianya tersebut, Nabi Ibrahim a.s. tidak putus asa.
Sang Nabi kemudian mengarahkan ajakannya kepada warga Babylonia. Ternyata,
sambutan mereka tidak beda jauh dengan sambutan yang ditunjukkan ayahandanya:
menolak sepenuhnya ajakannya itu, meski
sang Nabi telah mengemukakan pelbagai argumen tentang kebatilan menjadikan
berhala sebagai tuhan. Alasan mereka, “Sejatinya, kami mendapatkan nenek
moyang kami melakukan hal yang sama.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 72-74).
“Sejatinya, kami mendapatkan nenek moyang kami melakukan hal yang
sama,” adalah alasan yang sejatinya lemah dan mudah dipatahkan. Tetapi,
mereka tetap bersikeras menyembah berhala. Meski Nabi Ibrahim a.s. pun telah
mengingatkan mereka untuk “merenungkan apa yang senantiasa mereka sembah.”
(QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 75-77). Juga, menyatakan kepada mereka bahwa “sejatinya
Tuhan kalian adalah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakan semua itu.
Dan, aku termasuk orang-orang dapat membuktikan atas yang demikian itu.”
(QS Al-Anbiyâ’ [21]: 56).
Di sini, Al-Quran menyajikan suatu pelajaran indah: betapa banyak orang,
dari pelbagai kurun sejarah, yang berpegang teguh pada agama dan kepercayaan
nenek moyang mereka, juga ketidakmampuan
mereka mengkaji akidah tauhîd, yang diserukan para Nabi dan Rasul
kepada mereka dengan pikiran yang bebas dari ikatan kebiasaan, tradisi, dan
pikiran lama. Banyak orang kerap tidak menyadari, sikap mengekor pada para
pendahulu dan keteguhan dalam berpegang teguh pada tradisi dan kebiasaan
merupakan faktor utama yang membuat statisnya pemikiran mereka.
Gagal dengan usahanya tersebut, Nabi Ibrahim a.s. kemudian merencanakan
untuk membuktikan kepada kaumnya tentang kesalahan mereka dalam menyembah
berhala. Nah, kesempatan itu diperoleh sang Nabi ketika penduduk Babylonia
sedang merayakan suatu hari raya dengan tinggal di luar kota. Selama
berhari-hari. Ketika penduduk Babylonia sedang berada di luar kota dan sedang
bersuka ria, sang Nabi, yang tidak ikut bersama mereka, lantas memasuki tempat
peribadahan kaumnya dalam kota dan merusak semua berhala yang ada, kecuali
satu: sebuah patung yang paling besar. Selepas itu, di leher patung itu sang
Nabi mengalungkan sebuah kapak.
Betapa kaget dan bingung penduduk Babylonia, ketika mereka kembali dari
luar kota dan mendapatkan sembahan-sembahan mereka hancur. Semua berhala yang
mereka sembah lebur, berkeping-keping, kecuali satu patung besar. Kebingungan,
kejengkelan, dan amarah mereka pun meledak. Segera, pandangan mereka pun segera
tertuju kepada Nabi Ibrahim a.s. Sang Nabi pun ditangkap dan diadili. Lantas,
tanya mereka kepadanya (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 62-67), “Benarkah kamu yang
menghancurkan patung-patung yang kami sembah itu?”
“Silakan tanyakan kepada patung raksasa itu,” jawab sang Nabi.
“Sejatinya, patung raksasa itulah yang melakukan tindakan penghancuran itu.
Silakan tanyakan kepada patung raksasa itu.”
Jawaban yang sangat cerdas, tapi menjatuhkan mental. Tentu saja penduduk
Babylonia kian geram dan menyalahkan Nabi Ibrahim a.s. Jengkel dengan sikap mereka
yang demikian itu, sang Nabi pun berucap kepada mereka, “Mengapakah kalian
menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun
dan tidak (pula) memberikan mudarat kepada kalian?”
Mendengar ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang demikian, amarah penduduk
Babylonia pun kian menggelegak dan membara. Segera, mereka menyiapkan tungku
api besar untuk membakar hidup-hidup sang Nabi. Tentu, sebagai hukuman atas
penghinaan dan pelecehan atas tuhan-tuhan mereka (QS Al-Shaffât [37]: 97-98). Selepas
itu, mereka mengumpulkan kayu bakar. Sebanyak-banyaknya. Kemudian, setelah api
dinyalakan hingga membara besar, sang Nabi pun diikat pada sebuah pelontar dan
dilontarkan ke dalam kobaran api tersebut. Kala itu, sang Nabi pun berucap, “Cukuplah
Allah bagi kami. Dan, Dia adalah sebaik-baik pelindung.”
Ketika itu pula Allah Swt. menganugrahkan kemuliaan kepada Nabi Ibrahim
a.s. Sang Nabi pun selamat. Karena atas perintah Allah Swt., bara api itu
tiba-tiba menjadi dingin dan tidak membakar sang Nabi (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 61).
Menyaksikan kejadian itu, sejumlah orang mulai tertarik pada seruan sang Nabi.
Peristiwa itu sendiri mendapat komentar Al-Quran sebagai berikut, “Mereka
hendak berbuat makar atas diri Ibrahim. Maka, Kami pun menjadikan mereka
orang-orang yang paling merugi.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 70).
Tentu saja kejadian luar biasa tersebut, akhirnya, sampai ke telinga
Namrudz, penguasa Babylonia kala itu. Namrudz, siapakah penguasa yang satu itu?
Raja Namrudz (hidup sekitar tahun 2275 SM- 1943 SM), menurut wikipedia,
adalah salah seorang raja yang memerintah Mesopotamia Purba (kini Irak). Nama
lengkap raja yang mendapat sebutan “Sang Pemburu nan Perkasa”, karena
kepiawaiannya dalam berburu, ini adalah Namrudz bin Kana‘an bin Kush bin Ham
bin Nuh. Selain itu, raja yang juga mendapat sebutan sebagai Dewa Bacchus atau Dewa Wain adalah seorang
raja yang cerdas. Namun, kecerdasannya membuatnya bersikap sombong dan takabur.
Malah, penguasa yang kondang sebagai pendiri Menara Babel (pencakar langit
pertama di dunia) itu kemudian menyatakan dirinya sebagai tuhan. Dan, dia
menyatakan, sebagai seorang manusia dia lebih mengetahui kelemahan manusia lain
daripada Tuhan yang jauh terpisah dari makhluk-Nya sendiri. Itulah Namrudz,
seorang penguasa yang lupa diri, meski dia anak keturunan seorang Nabi: Nabi Nuh
a.s..
Mendengar peristiwa pembakaran hidup-hidup Nabi Ibrahim a.s., Raja
Namrudz kemudian memanggil sang Nabi. Lantas, ketika bertemu dengan sang Raja
dan ditanya tentang misi yang diembannya, sang Nabi pun memaparkan tentang
Tuhan yang dia sembah, yaitu Tuhan yang kuasa menghidupkan dan mematikan.
Mendengar paparan sang Nabi, Namrudz pun dengan menepuk dada menyatakan, dia
pun kuasa menghidupkan dan mematikan: seperti Tuhannya sang Nabi. Namrudz,
untuk membuktikan ucapannya, kemudian mendatangkan dua orang tahanan yang telah
dijatuhi hukuman mati. Kemudian, ucapnya kepada Nabi Ibrahim a.s., “Ibrahim,
saya akan buktikan, seperti Tuhanmu, saya pun kuasa menghidupkan dan mematikan
seseorang!”
Selepas menyatakan demikian, Namrudz kemudian memerintahkan kepada para
bawahannya untuk membunuh salah satu tahanan itu dan memaafkan tahanan yang
satunya lagi. Dengan tindakannya yang demikian, seakan dia kuasa menghidupkan
dan mematikan siapa pun. Padahal, sejatinya tindakannya yang demikian itu hanya
merupakan ungkapan kesombongan dan penentangan sang penguasa yang tiran.
Mendengar jawaban sang penguasa yang demikian itu, para pejabat dan kaki
tangannya pun bertepuk tangan. Lama dan membahana. Mereka kagum dengan kepiawaian
sang penguasa dalam mematahkan argumentasi Nabi Ibrahim a.s. Padahal, sejatinya
mereka tidak menyadari lemahnya jawaban sang penguasa. Menghadapi suasana yang
demikian, sang Nabi pun berucap, “Allah adalah Zat yang menerbitkan matahari
dari sebelah barat. Kuasakah Anda membuat matahari terbit dari sebelah barat?”
Mendengar ucapan sang demikian, sang penguasa pun terbungkam: tidak
kuasa sama sekali mengemukakan jawaban apa-apa. Kisah dialog antara sang Nabi
dan Namrudz tersebut dikemukakan dalam ayat berikut,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya (Allah), karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku adalah yang menghidupkan dan
mematikan,’ orang itu berkata, ‘Saya (pun) dapat menghidupkan dan mematikan.
Ibrahim (pun) berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur,
Maka terbitkanlah Dia dari barat.’ Lalu, terdiamlah orang kafir itu. Dan, Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.’” (QS Al-Baqarah [2]:
258).
Berkenaan dengan kisah perjuangan Nabi Ibrahim a.s. di Babylonia
tersebut, Dr. Ali Shariati, dalam sebuah karyanya berjudul Hajj,
menulis, “Ibrahim bukan hanya melawan pemberhalaan dan Namrudz, melainkan juga
melawan kebodohan dan penindasan. Sebagai pemimpin gerakan ini, dia berjuang
melawan penghinaan. Dia merupakan sumber harapan dan dambaan, berkeyakinan
teguh, dan penegak tauhîd yang sejati.”
Gagal mematahkan argumen Nabi Ibrahim a.s., amarah Raja Namrudz pun kian
membara. Karena itu, akhirnya, sang penguasa pun membatasi langkah Nabi Ibrahim
a.s.
No comments:
Post a Comment