Thursday, March 6, 2014

KARENA CERDAS, NAMRUDZ PUN MENJADI SOMBONG DAN TAKABUR!

Selepas menuntaskan keraguan dan pencarian ruhaniah, yang membuat Nabi Ibrahim a.s. akhirnya meyakini adanya Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, dan Maha Bijaksana, dan kemudian setelah diangkat sebagai Nabi dan Rasul, kini langkah sang Nabi mulai terarah untuk melaksanakan risalah seperti tugas yang pernah diemban Nabi Nuh a.s.: menyerukan kepada kaumnya supaya kembali pada ajaran yang dibawa Nabi Adam a.s. Yaitu ajaran yang mengumandangkan  bahwa  Allah  Swt. adalah Tuhan semesta alam. Bukan Tuhan satu ras dan bangsa. Juga, bukan Tuhan yang terbatas untuk satu periode tertentu.

Menerima tugas berat sebagai seorang Rasul, Nabi Ibrahim a.s. pertama-tama menebarkan seruannya kepada ayahandanya tercinta, Azar. Sang ayahanda, seperti halnya masyarakat di mana mereka menetap, adalah seorang penyembah berhala. Ketika menebarkan seruannya kepada sang ayahanda, sang Nabi senantiasa menyampaikan seruannya dengan penuh kasih sayang dan bahasa yang sangat santun. Namun, usaha sang Nabi menemui jalan buntu, sebagaimana yang dialami Nabi Nuh a.s. ketika menyeru istrinya untuk beriman: Azar dengan tegas menolak beriman. Tutur Al-Quran, tentang seruan sang Nabi kepada ayahanda tercintanya itu,

Ceritakanlah (wahai Muhammad), kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Quran) ini. Sungguh, dia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah, ketika dia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, mengapakah kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai ayahku, sungguh telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Karena itu, ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.’” (QS Maryam [19]: 41-43).

Lagi, sebuah pelajaran indah tersaji dalam Al-Quran, lewat kisah Nabi Ibrahim a.s. ini: perjuangan menuju jalan lurus tidak senantiasa mudah. Dan, kerap berliku. Malah, ajakan Nabi Ibrahim a.s. itu kemudian membangkitkan amarah membara sang ayahanda. Demikian membara amarah sang ayahanda, hingga akhirnya sang ayahanda mengancam akan melempari sang putra  dengan batu dan mengusirnya. Ternyata, meyakinkan orang lain tidak mudah, meski bagi seorang Nabi sekalipun. Apalagi, manakala hal itu berkaitan dengan keimanan.

Gagal dengan usaha mulianya tersebut, Nabi Ibrahim a.s. tidak putus asa. Sang Nabi kemudian mengarahkan ajakannya kepada warga Babylonia. Ternyata, sambutan mereka tidak beda jauh dengan sambutan yang ditunjukkan ayahandanya: menolak sepenuhnya  ajakannya itu, meski sang Nabi telah mengemukakan pelbagai argumen tentang kebatilan menjadikan berhala sebagai tuhan. Alasan mereka, “Sejatinya, kami mendapatkan nenek moyang kami melakukan hal yang sama.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 72-74).

Sejatinya, kami mendapatkan nenek moyang kami melakukan hal yang sama,” adalah alasan yang sejatinya lemah dan mudah dipatahkan. Tetapi, mereka tetap bersikeras menyembah berhala. Meski Nabi Ibrahim a.s. pun telah mengingatkan mereka untuk “merenungkan apa yang senantiasa mereka sembah.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 75-77). Juga, menyatakan kepada mereka bahwa “sejatinya Tuhan kalian adalah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakan semua itu. Dan, aku termasuk orang-orang dapat membuktikan atas yang demikian itu.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 56).

Di sini, Al-Quran menyajikan suatu pelajaran indah: betapa banyak orang, dari pelbagai kurun sejarah, yang berpegang teguh pada agama dan kepercayaan nenek moyang mereka,  juga ketidakmampuan mereka mengkaji akidah tauhîd, yang diserukan para Nabi dan Rasul kepada mereka dengan pikiran yang bebas dari ikatan kebiasaan, tradisi, dan pikiran lama. Banyak orang kerap tidak menyadari, sikap mengekor pada para pendahulu dan keteguhan dalam berpegang teguh pada tradisi dan kebiasaan merupakan faktor utama yang membuat statisnya pemikiran mereka.

Gagal dengan usahanya tersebut, Nabi Ibrahim a.s. kemudian merencanakan untuk membuktikan kepada kaumnya tentang kesalahan mereka dalam menyembah berhala. Nah, kesempatan itu diperoleh sang Nabi ketika penduduk Babylonia sedang merayakan suatu hari raya dengan tinggal di luar kota. Selama berhari-hari. Ketika penduduk Babylonia sedang berada di luar kota dan sedang bersuka ria, sang Nabi, yang tidak ikut bersama mereka, lantas memasuki tempat peribadahan kaumnya dalam kota dan merusak semua berhala yang ada, kecuali satu: sebuah patung yang paling besar. Selepas itu, di leher patung itu sang Nabi mengalungkan sebuah kapak.

Betapa kaget dan bingung penduduk Babylonia, ketika mereka kembali dari luar kota dan mendapatkan sembahan-sembahan mereka hancur. Semua berhala yang mereka sembah lebur, berkeping-keping, kecuali satu patung besar. Kebingungan, kejengkelan, dan amarah mereka pun meledak. Segera, pandangan mereka pun segera tertuju kepada Nabi Ibrahim a.s. Sang Nabi pun ditangkap dan diadili. Lantas, tanya mereka kepadanya (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 62-67), “Benarkah kamu yang menghancurkan patung-patung yang kami sembah itu?”
“Silakan tanyakan kepada patung raksasa itu,” jawab sang Nabi. “Sejatinya, patung raksasa itulah yang melakukan tindakan penghancuran itu. Silakan tanyakan kepada patung raksasa itu.”

Jawaban yang sangat cerdas, tapi menjatuhkan mental. Tentu saja penduduk Babylonia kian geram dan menyalahkan Nabi Ibrahim a.s. Jengkel dengan sikap mereka yang demikian itu, sang Nabi pun berucap kepada mereka, “Mengapakah kalian menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberikan mudarat kepada kalian?”

Mendengar ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang demikian, amarah penduduk Babylonia pun kian menggelegak dan membara. Segera, mereka menyiapkan tungku api besar untuk membakar hidup-hidup sang Nabi. Tentu, sebagai hukuman atas penghinaan dan pelecehan atas tuhan-tuhan mereka (QS Al-Shaffât [37]: 97-98). Selepas itu, mereka mengumpulkan kayu bakar. Sebanyak-banyaknya. Kemudian, setelah api dinyalakan hingga membara besar, sang Nabi pun diikat pada sebuah pelontar dan dilontarkan ke dalam kobaran api tersebut. Kala itu, sang Nabi pun berucap, “Cukuplah Allah bagi kami. Dan, Dia adalah sebaik-baik pelindung.”

Ketika itu pula Allah Swt. menganugrahkan kemuliaan kepada Nabi Ibrahim a.s. Sang Nabi pun selamat. Karena atas perintah Allah Swt., bara api itu tiba-tiba menjadi dingin dan tidak membakar sang Nabi (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 61). Menyaksikan kejadian itu, sejumlah orang mulai tertarik pada seruan sang Nabi. Peristiwa itu sendiri mendapat komentar Al-Quran sebagai berikut, “Mereka hendak berbuat makar atas diri Ibrahim. Maka, Kami pun menjadikan mereka orang-orang yang paling merugi.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 70).

Tentu saja kejadian luar biasa tersebut, akhirnya, sampai ke telinga Namrudz, penguasa Babylonia kala itu. Namrudz, siapakah penguasa yang satu itu?

Raja Namrudz (hidup sekitar tahun 2275 SM- 1943 SM), menurut wikipedia, adalah salah seorang raja yang memerintah Mesopotamia Purba (kini Irak). Nama lengkap raja yang mendapat sebutan “Sang Pemburu nan Perkasa”, karena kepiawaiannya dalam berburu, ini adalah Namrudz bin Kana‘an bin Kush bin Ham bin Nuh. Selain itu, raja yang juga mendapat sebutan sebagai  Dewa Bacchus atau Dewa Wain adalah seorang raja yang cerdas. Namun, kecerdasannya membuatnya bersikap sombong dan takabur. Malah, penguasa yang kondang sebagai pendiri Menara Babel (pencakar langit pertama di dunia) itu kemudian menyatakan dirinya sebagai tuhan. Dan, dia menyatakan, sebagai seorang manusia dia lebih mengetahui kelemahan manusia lain daripada Tuhan yang jauh terpisah dari makhluk-Nya sendiri. Itulah Namrudz, seorang penguasa yang lupa diri, meski dia anak keturunan seorang Nabi: Nabi Nuh a.s..

Mendengar peristiwa pembakaran hidup-hidup Nabi Ibrahim a.s., Raja Namrudz kemudian memanggil sang Nabi. Lantas, ketika bertemu dengan sang Raja dan ditanya tentang misi yang diembannya, sang Nabi pun memaparkan tentang Tuhan yang dia sembah, yaitu Tuhan yang kuasa menghidupkan dan mematikan. Mendengar paparan sang Nabi, Namrudz pun dengan menepuk dada menyatakan, dia pun kuasa menghidupkan dan mematikan: seperti Tuhannya sang Nabi. Namrudz, untuk membuktikan ucapannya, kemudian mendatangkan dua orang tahanan yang telah dijatuhi hukuman mati. Kemudian, ucapnya kepada Nabi Ibrahim a.s., “Ibrahim, saya akan buktikan, seperti Tuhanmu, saya pun kuasa menghidupkan dan mematikan seseorang!”

Selepas menyatakan demikian, Namrudz kemudian memerintahkan kepada para bawahannya untuk membunuh salah satu tahanan itu dan memaafkan tahanan yang satunya lagi. Dengan tindakannya yang demikian, seakan dia kuasa menghidupkan dan mematikan siapa pun. Padahal, sejatinya tindakannya yang demikian itu hanya merupakan ungkapan kesombongan dan penentangan sang penguasa yang tiran.

Mendengar jawaban sang penguasa yang demikian itu, para pejabat dan kaki tangannya pun bertepuk tangan. Lama dan membahana. Mereka kagum dengan kepiawaian sang penguasa dalam mematahkan argumentasi Nabi Ibrahim a.s. Padahal, sejatinya mereka tidak menyadari lemahnya jawaban sang penguasa. Menghadapi suasana yang demikian, sang Nabi pun berucap, “Allah adalah Zat yang menerbitkan matahari dari sebelah barat. Kuasakah Anda membuat matahari terbit dari sebelah barat?”
Mendengar ucapan sang demikian, sang penguasa pun terbungkam: tidak kuasa sama sekali mengemukakan jawaban apa-apa. Kisah dialog antara sang Nabi dan Namrudz tersebut dikemukakan dalam ayat berikut,

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah), karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata, ‘Saya (pun) dapat menghidupkan dan mematikan. Ibrahim (pun) berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat.’ Lalu, terdiamlah orang kafir itu. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.’” (QS Al-Baqarah [2]: 258).

Berkenaan dengan kisah perjuangan Nabi Ibrahim a.s. di Babylonia tersebut, Dr. Ali Shariati, dalam sebuah karyanya berjudul Hajj, menulis, “Ibrahim bukan hanya melawan pemberhalaan dan Namrudz, melainkan juga melawan kebodohan dan penindasan. Sebagai pemimpin gerakan ini, dia berjuang melawan penghinaan. Dia merupakan sumber harapan dan dambaan, berkeyakinan teguh, dan penegak tauhîd yang sejati.”

Gagal mematahkan argumen Nabi Ibrahim a.s., amarah Raja Namrudz pun kian membara. Karena itu, akhirnya, sang penguasa pun membatasi langkah Nabi Ibrahim a.s.


No comments: