Friday, March 7, 2014

SUAMIKU, TEGAKAH ENGKAU MENINGGALKAN KAMI?

Betapa pedih dan perih hati Nabi Ibrahim a.s. ketika menyadari kegagalan misinya di tempat kelahirannya. Kemudian, ketika kian menyadari bahwa kesempatan menyampaikan seruannya yang sangat terbatas di Babylonia, Nabi Ibrahim a.s., yang kala itu telah menikah dengan Sarah, lantas meninggalkan tanah airnya. Kini, pandangannya terarah ke Haran, suatu wilayah yang terletak di bagian utara Semenanjung Arab. Jauh dari tanah kelahirannya.

Dengan diam-diam Nabi Ibrahim a.s. pun meninggalkan tanah airnya. Sang Nabi, menurut Dr. Shauqi Abu Khalil dalam sebuah karyanya berjudul Atlas of the Qur’an, berhijrah ke Haran bersama istrinya dan Luth, juga seorang Nabi, yang juga disertai istrinya. Di sana, mereka menemukan penduduk yang menyembah bintang.  Dan, ternyata, seperti halnya penduduk Babylonia, penduduk Haran pun menolak seruan Nabi Ibrahim a.s. Karena itu, di Haran sang Nabi dan rombongannya tinggal hanya beberapa lama. Sang Nabi, istrinya, Nabi Luth, dan juga istrinya, kemudian menuju Palestina. Namun, karena kondisi Palestina kala itu sedang paceklik, mereka lantas melanjutkan perjalanan mereka ke arah barat, menuju Mesir.

Mudahkah perjalanan jauh Nabi Ibrahim a.s. dan rombongannya itu?

Tentu saja tidak mudah. Sebagai perbandingan, hingga pada tahun 1930-an, sekitar 3.900 tahun selepas masa Nabi Ibrahim a.s., perjalanan dari Mali, sebuah negara di Afrika, menuju Makkah, masih demikian sulit. “Enam tahun, itulah waktu yang diperlukan ayah ketika berziarah ke Makkah pada tahun 1930-an,” demikian tulis Jean Couteau dalam tulisannya berjudul “Lagu Para ‘Griot’ dari Afrika” (Kompas, 27 Januari 2013), mengutip penuturan Daouda, bekas asisten ayah Jean Couteau. “Dari Segou ke-10 peziarah itu mencapai Gao dengan menumpang perahu nelayan Bozo di Sungai Niger. Lalu masuk wilayah tak dikenal, menuju Makkah, apakah dengan berjalan kaki atau dengan naik unta, pertama sampai ke Danau Chad, lalu melalui Darfur, sampai ke Omdurman dengan sungai Nilnya. Akhirnya, setelah melewati sungai raksasa itu, sampai Port Sudan. Diperlukan waktu tempuh enam tahun pulang pergi. Di seberang Laut Merah itu, terletak Tanah Suci, dengan tawaf dan Ka‘bah yang dinanti-nantikannya. Dari sepuluh peziarah Segou dua tahun sebelumnya, tinggal tujuh. Empat tahun kemudian, yang kembali tinggal lima. Yang lainnya hilang di jalan, diculik suku Perazzia Songhai di Niger dan Arab di Sudan, atau meninggal karena sakit.”

Di Mesir, sang Nabi dan Sarah tinggal di sekitar Memphis yang letaknya tidak jauh dari Kota Kairo dewasa ini. Di Negeri Piramid itu, mereka berniaga, bertani, dan beternak. Selama berada di Mesir, sang Nabi juga mendapat hadiah seorang pelayan, Hajar, dari penguasa Mesir kala itu. Setelah beberapa lama di Negeri Piramid, mereka kemudian kembali ke Palestina selatan. Di sini, Nabi Luth a.s. dan istrinya berpisah dengan Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya, Sarah dan pelayannya, Hajar. Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya kemudian menetap di B’ir Sheba (Al-Saba’). Sedangkan Nabi Luth a.s. dan istrinya kemudian melanjutkan perjalanan dan kemudian menetap di wilayah selatan Laut Mati. Di wilayah itu, Nabi Luth a.s. menyampaikan seruannya kepada penduduk Sodom dan Gomorah.

Di sisi lain, setelah bertahun-tahun menikah, pasangan Nabi Ibrahim a.s. dan Sarah tidak kunjung dikaruniai anak. Karena itu, untuk memeroleh keturunan, Sarah pun mengizinkan suaminya untuk menikahi Hajar, pelayan mereka. Dari perkawinan ini lahirlah kemudian Isma‘il, ketika Nabi Ibrahim a.s. berusia sekitar 68 tahun. Ternyata, kehadiran Isma‘il, membuat rasa cemburu Sarah kepada Hajar bersemi. Akhirnya, tidak tahan dengan rasa cemburu yang kian membara itu, kemudian Sarah meminta sang suami tercinta agar memindahkan Hajar beserta anaknya yang masih menyusu ke suatu tempat yang sangat jauh. Ya, ke tempat yang sangat jauh, sehingga kuasa meredam rasa cemburu Sarah yang kian lama kian membara.

Sejatinya siapakah Hajar, hingga Nabi Ibrahim a.s. berkenan menikahinya dan dicemburui Sarah?

Hajar,” jawab Dr. Ali Syariati dalam sebuah karyanya berjudul  Hajj, “adalah seorang perempuan miskin, budak Ethiopia yang dipandang rendah, dan pelayan bagi Sarah. Semua ini menunjukkan kualifikasinya dalam sistem sosial manusia-dalam sistem politeisme, tapi tidak dalam sistem monoteisme. Budak ini adalah seorang penyeru Allah, ibunda para nabi yang utama, dan wakil makhluk-makhluk Allah yang paling cantik dan disayang.”

Suatu pelajaran indah tergelar dalam kisah menawan ini: seorang Nabi yang mendapat gelar “Khalil Allah” (Orang yang Dikasihi Allah) tidak segan menikahi seorang perempuan dari strata yang paling rendah dalam masyarakat kala itu: seorang budak hitam dari Ethiopia. Namun, meski berasal dari strata masyarakat paling rendah, dia mendapatkan anugrah dari Allah Swt. sebagai “penyeru Allah, ibunda para nabi yang utama, dan wakil para Allah yang paling cantik dan disayang.” Indah sekali.

Atas wahyu dari Allah Swt., permintaan Sarah pun dipenuhi Nabi Ibrahim a.s.: membawa pergi sangat jauh Hajar dan putranya. Sang Nabi kemudian mengajak Hajar dan putranya, Isma‘il, menempuh perjalanan sangat jauh ke tengah padang pasir  yang kini menjadi Kota Makkah, dekat sebuah bangunan suci yang kemudian dikenal sebagai Ka‘bah. Di tempat yang kering kerontang itu, tanpa penghuni, sang Nabi meninggalkan istri dan putranya yang masih kecil di atas Zamzam (sebuah tempat yang kemudian tegak Masjidil Haram kini). Sang Nabi meninggalkan keduanya dengan bekal hanya sekantung makanan dan minuman.

Kemudian, ketika Nabi Ibrahim a.s. dengan langkah-langkah yang sangat berat meninggalkan istri dan putranya di tempat yang kering kerontang itu, sang istri pun segera bangkit, memburunya, dan kemudian memegangi bajunya kuat-kuat seraya berucap, “Wahai Ibrahim, suamiku. Tegakah engkau meninggalkan kami berdua di tempat yang kering kerontang dan sangat sunyi ini, sedangkan kami tidak memiliki perbekalan sama sekali?”

Suami manakah yang tidak perih hatinya mendengar ucapan sang istri yang demikian. Mendengar ucapan yang demikian, Nabi Ibrahim a.s. tidak kuasa berucap sepatah kata pun. Termenung dan mulutnya tersekat. Melihat sang suami tidak menjawab, sang istri pun kemudian bertanya dengan suara lirih dan penasaran, “Wahai Ibrahim, suamiku. Apakah Allah Swt. yang memerintahkan semua ini?”
“Ya,” jawab Nabi Ibrahim a.s. dengan suara sangat lirih seraya menundukkan kepala.
“Bila demikian,” ucap penuh percaya diri Hajar, seperti dituturkan Al-Bukhari dalam sebuah karyanya berjudul Shahîh Al-Bukhârî, “tentu Dia tidak akan menyia-nyiakan kami. Silakan engkau kembali ke Bumi Kana‘an.”

Usai berucap demikian, Hajar kemudian memeluk sang suami dan menyilakan suaminya tercinta meninggalkan dirinya dan putranya yang masih kecil, Isma‘il, di tempat nan kering kerontang dan sunyi itu. Nabi Ibrahim a.s. pun menapakkan kedua kakinya. Tetap dengan langkah-langkah yang sangat berat. Namun, perintah Sang Pemberi Perintah tetap dia laksanakan. Karena itu, ketika langkahnya tiba di sebuah bukit (konon Bukit Abu Qubais atau Jabal Abu Qubais yang kini menjadi Istana Kerajaan di samping Masjid Al-Haram), tidak jauh dari tempat istri dan putranya dia tinggalkan, sang Nabi kemudian berhenti beberapa lama dan berdoa dengan sepenuh hati, 

Ya Allah, Tuhan kami. Sungguh, aku telah meninggalkan sebagian dari anak keturunanku di lembah yang tidak terdapat tetumbuhan apa pun, di dekat Rumah-Mu yang dihormati. Ya Allah, Tuhan kami. (Yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Karena itu, jadikanlah sebagian hati manusia cenderung kepada mereka dan karuniakanlah rezeki dari buah-buahan kepada mereka. Kiranya mereka senantiasa bersyukur.” (QS Ibrâhîm [14]: 37).

Usai berdoa demikian, Nabi Ibrahim a.s. kemudian meninggalkan Hajar dan Isma‘il di tempat kering kerontang itu, karena harus kembali ke Bumi Kana‘an untuk menemui Sarah. Dalam perjalanan itu sang Nabi tidak henti-hentinya berdoa: memohon keselamatan bagi istri dan putranya yang ditinggalkannya di bumi nan kering kerontang itu. Di sisi lain, selepas perbekalan yang ditinggalkan habis, Hajar bersusah payah mencari air. Atas pertolongan Allah Swt., melalui Malaikat Jibril, tiba-tiba di dekat Isma‘il muncul sebuah mata air yang bening. Dan, hingga kini, mata air itu dikenal dengan sebutan Sumur Zamzam.

Beberapa tahun kemudian, Isma‘il yang telah beranjak menjadi remaja menggembirakan hati Nabi Ibrahim a.s. Tetapi, suatu saat, kegembiraan sang ayahanda yang telah lanjut usia itu tiba-tiba buyar. Lewat mimpi, Allah Swt. memerintah sang Nabi agar anak kesayangannya itu disembelih. Mula-mula sang Nabi sangat sedih menerima mimpi yang demikian itu. Namun, sebagai orang yang saleh dan taat, dia berniat melaksanakan perintah Allah Swt. itu dan kemudian menyampaikan berita itu kepada putranya. Ternyata, tanpa ragu-ragu sang putra meminta sang ayahanda untuk melaksanakan perintah itu. Akhirnya, ketika perintah itu dilaksanakan, Allah Swt. mengganti Isma‘il dengan seekor domba.

Kemudian, ketika Nabi Ibrahim a.s. berusia 90 tahun, datang perintah dari Allah Swt. agar sang Nabi mengkhitan dirinya sendiri, Isma‘il, putranya yang ketika itu berusia 13 tahun, dan seluruh anggota keluarganya.

Selain itu, suatu saat, Nabi Ibrahim a.s. menerima kabar gembira dengan kehamilan Sarah. Menurut kabar gembira tersebut, sang putra dari perkawinan sang Nabi dengan Sarah itu, seperti halnya Isma‘il, juga akan menjadi seorang Nabi yang saleh (lihat QS Al-Shaffât [37]: 112-0113).Tentu, kabar gembira itu disambut sang Nabi dan istrinya, Sarah dengan penuh rasa suka cita yang diwarnai seribu tanda tanya. Pekik Sarah, ketika menerima kabar gembira itu, penuh rasa gembira dan tidak percaya, “Sungguh mengherankan! Apakah aku akan melahirkan anak? Padahal, aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun sudah dalam keadaan tua pula? Sungguh, ini merupakan hal yang benar-benar sangat aneh.” (QS Hûd [11]: 72).

Tentu saja Nabi Ibrahim a.s. dan Sarah terkaget-kaget dan keheranan menerima kabar gembira yang aneh itu. Kala itu, mereka telah lanjut usia. Namun, tiada yang mustahil bagi Allah Yang Maha Kuasa. Jawab malaikat yang membawa kabar gembira atas pertanyaan mereka berdua, “Apakah kalian merasa heran atas ketetapan Allah? (Itu merupakan) rahmat Allah dan keberkahan-Nya yang dikaruniakan kepada kalian, wahai ahlul bait. Sungguh, Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS Hûd [11: 73).

Ya, tiada yang mustahil bagi Allah Yang Maha Kuasa: suatu pelajaran indah tentang kekuasaan Sang Pencipta. Dan, kemudian, sesuai dengan kabar gembira tersebut, lahirlah sang putra yang sangat dinantikan kehadirannya oleh kedua orang tuanya. 

Di sisi lain, selain menerima kabar gembira tersebut, “Ayah Para Nabi” yang nenek moyang bangsa Arab dan Israel itu juga menerima perintah untuk membangun Rumah Allah (Bait Allâh) di Makkah. Segera, sang Nabi pun pergi ke Makkah. Kemudian, bersama putranya yang telah tumbuh dewasa, sang Nabi pun membangun Ka‘bah. Dan, ketika pembangunan Rumah Allah itu usai, mereka berdua kemudian berdoa, “Ya Allah, Tuhan kami. Terimalah (amal dari) kami (ini). Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Allah, Tuhan kami. Jadikanlah kami berdua orang-orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikankanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu serta tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkau adalah Zat Yang Maha Penerima toba lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah [2]: 128-129).

Usai melaksanakan perintah mulia itu, Nabi yang tangguh dan memiliki  anak keturunan yang banyak menjadi Nabi itu kemudian balik ke Palestina. Di sana, di Palestina, pulalah sang Nabi menetap hingga berpulang. Konon, menurut Ibn Katsir dalam sebuah karyanya berjudul Qashash Al-Anbiyâ’, sang Nabi berpulang dalam usia antara 175 hingga 200 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Gua Machpelah, Al-Khalil (Hebron).

Nah, bila Anda berziarah ke Palestina, jangan lupa berkunjung ke Kota Al-Khalil, sebuah kota yang terletak 30 kilometer di sebelah selatan Kota Al-Quds Al-Syarif, alias Jerusalem. Di kota yang terletak di kawasan Tepi Barat itu terdapat makam Kekasih Allah yang satu ini. Di makam itu, konon, dikebumikan Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya, Sarah, Nabi Ishaq a.s. dan istrinya, Ribqah (atau Rebecca), dan Nabi Ya‘qub a.s. dan istrinya, Leah (Lia).


No comments: