AKHIRNYA, IBRAHIM MENEMUKAN TUHAN SEMESTA
ALAM
Selepas terjadinya “Peristiwa Banjir dan Badai Nuh”, dengan segera, masa demi masa pun berlalu. Kemudian, ketika
masa telah memasuki sekitar 2.100 tahun sebelum Masehi, muncul seorang Nabi dan
Rasul lain yang namanya disebut
40 kali
dalam Al-Quran. Nabi yang satu ini, dalam menebarkan risalah yang diembannya, juga
mengalami perjuangan yang tidak kalah “seru” dengan perjuangan Nabi Nuh
a.s. Malah, Rasul yang satu ini, dalam Al-Quran, digambarkan sebagai orang yang menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah. Sehingga, perintah apa pun dia lakukan, meski hal itu bertentangan dengan pikiran dan perasaannya.
Kini, siapakah sejatinya Nabi Ibrahim a.s. ini?
“Garis keturunan Nabi Ibrahim a.s.,” jawab Ibn Katsir dalam sebuah
karyanya berjudul Qashash Al-Anbiyâ’, “adalah
sebagai berikut: Ibrahim bin Tarikh bin Nahur bin Sarugh
bin Raghuh bin Faligh bin Ahr bin Syalih
bin Arfghshand bin Sam bin Nuh. Dengan kata lain, Nabi Ibrahim
a.s., menurut Ibn Katsir, adalah anak keturunan Nabi Nuh a.s. Wallâhu
a‘lam.
Lain halnya dengan pendapat Dr. Shauqi Abu Khalil
tentang nama ayahanda Nabi Ibrahim a.s. Menurut Dr. Shauqi Abu Khalil, nama
ayahanda Nabi Ibrahim a.s. bukan Tarikh, tapi Azar. Tulis Dr. Shauqi Abu Khalil dalam karyanya di atas, Atlas
of the Qur’an, tentang sang Nabi, “Lahir di kawasan Irak selatan, Nabi Ibrahim
a.s. semula tinggal di Kota Ur, Chaldea. Ayahnya adalah Azar bin Nahûr, meski
ada yang menyatakan bahwa Azar adalah pamannya. Kekaburan itu berpangkal dari kebiasaan
memanggil paman seseorang (yaitu salah seorang saudara kandung lelaki ayah
seseorang) dengan panggilan “ayah”. Azar adalah seorang warga Kutha, sebuah
desa di pinggiran Kota Kufah.”
Nabi dan Rasul yang lahir di kawasan Babylonia ini, menurut Ibn Katsir
dalam karyanya yang sama, adalah anak nomor dua dari dua bersaudara. Kedua
saudaranya bernama Tahur dan Haran. Nah, Haran mempunyai seorang
putra bernama Luth, yang kelak juga menjadi seorang Rasul sebagaimana Nabi Ibrahim
a.s. Dengan kata lain, Nabi Luth a.s. adalah keponakan Nabi Ibrahim a.s.
Kini, marilah kita tinggalkan perbedaan pendapat tentang siapa jati diri
ayahanda Nabi Ibrahim a.s. Kini, mari
kita simak kisah pencarian Ibrahim untuk menemukan Tuhan. Suatu pencarian yang kemudian
benar-benar membuatnya kalbunya damai dan tenang.
Ketika masih muda usia, Ibrahim adalah seorang anak muda yang senantiasa
gelisah. Dia senantiasa gelisah, karena menyaksikan pelbagai penyimpangan dan
kesesatan yang berkembang dalam masyarakatnya. Kegelisahan itu kian lama kian
membara. Sehingga, akhirnya, kegelisahannya itu memacunya untuk mencari Tuhan
yang menurutnya selayaknya disembah. Lewat kegelisahan yang berangkat dari
keraguan, namun tidak berhenti pada keraguan itu selamanya, Ibrahim akhirnya
menemukan Tuhan kala itu dia sedang menyendiri di sebuah gunung. Kisah indah
yang disajikan dalam Al-Quran itu, menurut Dr. Muhammad ‘Utsman Najati
dalam sebuah karyanya berjudul Al-Qur’ân wa ‘Ilm Al-Nafs, sejatinya “merupakan
contoh yang gamblang tentang langkah-langkah berpikir ilmiah dalam memecahkan
suatu problem”. Benarkah demikian? Untuk membuktikan hal itu, kini, mari kita
ikuti kisah pencarian Ibrahim tersebut.
Berkenaan dengan kisah pencarian tersebut, pertama-tama dalam Al-Quran
dikemukakan dengan memikat kisah tentang keraguan Ibrahim yang diharapkan sang
ayahanda, Azar, agar suatu saat menjadi pendeta: suatu saat dia bertanya kepada
ayahandanya, perihal berhala yang disembahnya dan prosesnya menemukan Tuhan,
“Dan (ingatlah) ketika waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar,
‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sungguh, aku
melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.’ Dan demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit
dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang. (Lalu,) dia berkata,
‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi, tatkala bintang itu tenggelam, dia (pun) berkata,
‘Saya tidak suka pada (sesuatu) yang tenggelam.’ Kemudian tatkala dia melihat
bulan terbit, dia (pun) berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu
terbenam, Dia berkata, ‘Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu,
pastilah aku termasuk orang yang sesat.’ Kemudian, tatkala dia melihat matahari
terbit, dia (pun) berkata, ‘Inilah Tuhanku. Ini yang lebih besar.’ Maka, tatkala
matahari itu terbenam, dia (pun) berkata, ‘Wahai kaumku, sungguh aku berlepas
diri dari apa yang kalian persekutukan. Sungguh, aku menghadapkan diriku kepada
Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung pada agama yang benar,
dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS
Al-An‘âm [6]: 74-79).
Dengan keraguan dan pencarian itu, akhirnya Ibrahim menyadari kelirunya penyembahan
berhala seperti yang dilakukan kaumnya. Sebab, manusialah yang menciptakan berhala
itu. Bagaimana manusia dapat menyembah sesuatu yang dibuatnya sendiri? Karena
itu, Ibrahim menyanggah tindakan kaumnya yang demikian itu, “Kemudian
Ibrahim berkata, ‘Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat?’”
(QS Al-Shaffât [37]: 95).
Apalagi, menurut Ibrahim, berhala sama sekali tidak memiliki kekuatan.
Karena itu, patung-patung itu tidak layak diberi predikat ketuhanan. Sebab,
Tuhan adalah Zat Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, Pengendali semesta alam,
Pemberi karunia, dan Pemberi rezeki. Menyadari semua itu, protes Ibrahim pun
kian lantang, “Karena itu, mengapakah kalian menyembah selain Allah sesuatu
yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudharat
kepada kalian? Duh, (celakalah) kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah.
Maka, apakah kalian tidak memahami?” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 66-67).
Kesadaran Ibrahim akan kelirunya penyembahan berhala dan ketidaklayakan
berhala itu untuk disebut sebagai tuhan membangkitkan dalam dirinya problem
yang mendesaknya dan menguasai pikirannya, “Siapakah Tuhan semesta alam ini?”
Nah, ketika Ibrahim merasakan “adanya problem” itu, dia pun merasakan
adanya dorongan yang memaksanya memikirkan problem itu, dengan tujuan untuk
mengetahui Tuhan dan Pencipta semesta alam ini. Timbulnya dorongan yang semacam
itu ditopang oleh fitrahnya yang benar, jiwanya yang bening, dan akal budinya
yang kuat. Tentu, juga, atas hidâyah dan karunia Allah Swt.
Selepas melintasi proses yang demikian, kisah pencarian Ibrahim kemudian
beralih pada tahap pengamatan dan penghimpunan data dan informasi. Dia pun
mulai mengamati pelbagai gejala alam. Baik di langit maupun di bumi. Harapannya:
dia dapat memeroleh pengetahuan tentang Tuhan. Karena itu, kini, dia pun gemar
memandang ke arah bintang, bulan, dan matahari. Proses pencariannya yang
demikian itu ditampilkan dengan gamblang dalam ayat Al-Quran berikut, “Kami
perlihatkan kepada Ibrahim, tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di
langit dan di bumi. Dan, (Kami memperlihatkannya agar dia termasuk orang-orang
yang yakin.” (QS Al-An‘âm [6] 75).
Selama dalam tahap pengamatan dan penghimpunan data dan informasi
tentang pelbagai gejala alam tersebut, Ibrahim menyusun beberapa hipotesa.
Ketika malam datang dan dia menyaksikan bintang-bintang gemerlap di langit yang
kelam, dia membuat hipotesa bahwa bintang-bintang itulah tuhan. Namun, ketika
tampak olehnya bintang-bintang itu tenggelam dan tidak tampak lagi, dia pun
menyingkirkan hipotesa itu, karena hipotesa itu bukan merupakan hipotesa yang
tepat. Sebab, jika bintang-bintang itu adalah tuhan, tentu bintang-bintang itu
akan tetap dan tidak berubah: selalu ada dan tidak menghilang.
Kemudian, ketika tengah malam datang, Ibrahim pun menyaksikan bulan.
Segera, dia pun membuat hipotesa baru bahwa bulan itulah tuhan. Namun, ketika
dia menyaksikan bulan juga tenggelam, dia pun menyingkirkan hipotesa itu. Ini
juga karena bulan tidak dapat diberi predikat ketuhanan. Lantas, ketika dia
menyaksikan matahari dan pendar cahayanya memenuhi seluruh penjuru bumi, lagi
lebih besar ketimbang bintang-bintang lainnya, dia pun membuat hipotesa lain
dan menyatakan bahwa matahari itulah tuhan. Namun, lagi-lagi, ketika dia menyaksikan
matahari juga tenggelam, dia pun menyingkirkan hipotesa terakhir itu. Sebab,
matahari juga tidak layak diberi predikat ketuhanan.
Selepas semua hipotesa itu disingkirkannya, karena semuanya tidak layak
diberi predikat ketuhanan, Ibrahim kemudian menyusun sebuah hipotesa baru:
Tuhan adalah Zat yang menciptakan semua bintang, langit, bumi, dan semua
makhluk yang ada di dalamnya. Ucap Ibrahim, “Sungguh, aku menghadapkan diriku
kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung pada agama yang
benar. Dan, aku tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.”
Tidak syak lagi, dalam membuat hipotesa terakhir itu, di mana akhirnya
Ibrahim memeroleh hidâyah, dia berpikir dan menghimpun banyak pengamatan
lainnya tentang pelbagai gejala semesta alam. Ternyata, dia tidak mendapatkan
adanya sesuatu yang dapat menggugurkan hipotesa terakhirnya itu. Malah, dia
mendapatkan, semua keindahan ciptaan Allah Swt. yang dia saksikan dan sistem
yang sangat teratur dalam semesta alam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha
Perkasa, Maha Kuasa, dan Maha Bijaksana. Dialah yang menciptakan semesta alam
itu. Juga, semua makhluk yang ada dalam sistem yang begitu teratur itu.
Kisah pencarian Ibrahim tersebut, yang dikemukakan secara terinci dalam
Al-Quran tersebut, memberikan suatu pelajaran indah: betapa cermatnya Al-Quran
dalam memaparkan langkah-langkah berpikir dalam memecahkan suatu problem. Di
samping itu, dalam Kitab Suci itu juga dikemukakan, bila para nabi sebelum Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan kepada kaumnya agar
menyembah Allah “Tuhan kalian”, lain halnya dengan Nabi yang satu itu: dia mengajarkan, Tuhan yang disembahnya adalah Tuhan semesta alam.
Dengan kata lain, Tuhan
yang menyertai manusia saat tidur atau
sadarnya, sebelum dan saat
keberadaannya di dunia, dan
setelah kematiannya. Dia mengajarkan demikian setelah menemukan dan membina
keyakinannya melalui pengalaman pribadi seperti dikemukakan di atas: setelah mengamati bintang, bulan, dan matahari, akhirnya ia berkesimpulan bahwa yang layak disembah bukanlah patung, tidak juga benda-benda,
tapi Tuhan semesta alam.
No comments:
Post a Comment