Tadi pagi, ketika saya sedang menyiapkan pakaian dan pelbagai perlengkapan “ngluyur” selama sekitar 12 hari ke Mesir (insya Allah 21 Maret 2007 ini sampai 3 April2007), entah kenapa hati saya teraduk-aduk, antara sangat gembira dan sangat sedih. Sangat gembira karena Allah Swt. masih memberi kesempatan saya untuk menapakkan kembali ke Negeri Piramid tersebut, yang terakhir kali saya kunjungi pada 1995. Negeri yang satu itu, bagi saya, sulit untuk saya lupakan. Perjalanan hidup selama enam tahun (1978-1984) “menjadi santri” di negara yang membentang antara benua Asia dan Afrika itu benar-benar merupakan “a historical moment” bagi saya.
Di sisi lain, saya juga sangat sedih. Dalam perjalanan ke Mesir kali ini saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan seorang guru yang benar-benar saya hormati. Guru tersebut, yang seorang pemikir Muslim terkemuka di Mesir dan juga seorang pakar di bidang sejarah dan kebudayaan Islam, itu tidak lain adalah Prof. Dr. Ahmad Shalaby. Beliau telah berpulang ke hadirat Allah Swt. dua tahun yang lalu. Mengenang beliau, segera saja saya terkenang pertemuan saya pertama kali pada 1978 dengan beliau yang lahir di Desa ‘Ilim, sebuah desa kecil yang terletak di antara kota Zagaziq dan Abu Hammad, Mesir (tanggal kelahirannya tidak tercatat jelas) dan kala ia berumur empat tahun, ayahnya berpulang ke hadirat Allah, karena itu ibunya yang lebih banyak berperan dalam membesarkannya. Saat itu, ilmuwan yang “konon” anak keturunan Abu Bakar Al-Shiddiq yang kemudian bermukim di Turki dan selanjutnya merantau lagi ke Mesir serta mulai meniti pendidikan dasarnya di desa kelahirannya itu sedang menjabat Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di Fakultas Dar Al-‘Ulum, Universitas Kairo.
Betapa gembira guru besar yang selepas merampungkan pendidikan menengah di Ma‘had Zagaziq, sebuah perguruan di bawah naungan al-Azhar, sebuah perguruan tertua di dunia Islam, lantas memasuki Universitas Kairo dan pada 1365 H/1945 M, setelah meraih gelar sarjana di almamaternya, berhasil memperoleh bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas London dan kemudian di Universitas Cambridge itu menerima saya sebagai anak didiknya di program pascasarjana di bidang sejarah dan kebudayaan Islam. Saat itu saya bersama empat teman seangkatan (Dr. Wan Ahmad (alm.), seorang warga Malaysia yang mantan pensyarah di Universiti Kebangsaan Malaysia, Dr. Zaki Ahmad Brahim, seorang warga Malaysia yang kini menjadi Ketua Jurusan Tamadun Islam di Universiti Malaya, Malaysia, seorang teman asal Mesir, dan seorang teman asal Irak).
Entah kenapa ilmuwan Muslim yang meraih gelar PhD di bidang sejarah dan kebudayaan di universitas bergengsi di Inggris itu pada 1371 H/1951 M dengan disertasi berjudul “History of Muslim Education”, di bawah bimbingan seorang orientalis terkemuka Inggris kala itu: A.J. Arberry, itu lebih banyak memberi waktu dan membimbing saya ketimbang teman-teman saya. Beliau tak jemu-jemunya melatih saya untuk menulis dan menulis, di samping memberi tugas demi tugas untuk menerjemahkan karya-karya tulis beliau yang kemudian diterbitkan oleh sebuah penerbit di Singapura. Sehingga, acap kali saya merasa tidak enak hati terhadap teman-teman seangkatan. Malah, ketika beliau tahu saya tidak punya duit, beliau sering memberi saya uang. Mungkin, kerinduan beliau terhadap Indonesia yang sangat beliau cintai (seperti sering beliau ungkapkan secara lisan maupun dalam beberapa karya beliau) itulah yang membuat beliau merasa dekat dengan saya. Beliau memang pernah tinggal di Indonesia. Mengapa demikian?
Sekembalinya ke negerinya dari Inggris, beliau meniti karier ilmiahnya di almamaternya. Namun, pada 1374 H/1954 M, kala terjadi pembersihan yang dilakukan pemerintah Mesir di bawah pimpinan Presiden Gamal Abdel Nasser terhadap Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, meski beliau sendiri tidak tergabung dalam gerakan tersebut, beliau diberhentikan dari almamaternya. Setelah sempat selama setahun hidup serabutan, beliau kemudian “diselamatkan” Anwar Sadat yang kala itu menjabat Sekretaris Jenderal Organisasi Kongres Islam yang mengirimnya ke Indonesia. Selama sekitar enam tahun berada di Indonesia, beliau ditugaskan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai seorang staf pengajar di lingkungan Perguruan Agama Islam Negeri yang kemudian berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri (dan kini menjadi Universitas Islam Negeri).
Sekembalinya ke negerinya pada 1381 H/1961 M, suami Karimah Imam ini meniti karier di lingkungan Departemen Pendidikan dan Pengajaran. Tapi, akhirnya pada 1382 H/1962 M beliau kembali meniti karier ilmiahnya di lingkungan almamaternya. Di luar kesibukannya sebagai guru besar di berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah, antara lain di Sudan dan Arab Saudi, ilmuwan yang memiliki sosok seperti orang Eropa dan kala muda memiliki rambut berwarna blonde dan mata berwarna kehijau-hijauan ini terkenal sebagai seorang penulis yang sangat produktif. Karya-karya tulisnya, termasuk di antaranya yang mulai disusunnya kala tinggal di Jalan Sagan 20, Yogyakarta, antara lain Mausu‘ah Al-Tarikh Al-Islami, sebuah ensiklopedia sejarah Islam yang terdiri dari sepuluh jilid, dan Mausu'ah Al-Hadharah Al-Islamiyyah, sebuah ensiklopedia kebudayaan Islam yang juga terdiri dari sepuluh jilid.
Karena itu, hanya doa kepada Allah Swt. saja yang kali ini dapat saya panjatkan untuk beliau, “Ya Allah! Ampunilah dosa-dosa beliau, limpahkanlah kasih dan sayang-Mu kepada beliau, maafkanlah beliau, dan jadikanlah surga menjadi tempat peristirahatan abadi bagi beliau. Ya Allah! Jadikanlah ilmu yang beliau wariskan menjadi ilmu yang bermanfaat yang mampu menjadi lentera hati dan pikiran hamba-hamba-Mu di manapun. Amin ya Rabbal ‘Alamin.”
Di sisi lain, saya juga sangat sedih. Dalam perjalanan ke Mesir kali ini saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan seorang guru yang benar-benar saya hormati. Guru tersebut, yang seorang pemikir Muslim terkemuka di Mesir dan juga seorang pakar di bidang sejarah dan kebudayaan Islam, itu tidak lain adalah Prof. Dr. Ahmad Shalaby. Beliau telah berpulang ke hadirat Allah Swt. dua tahun yang lalu. Mengenang beliau, segera saja saya terkenang pertemuan saya pertama kali pada 1978 dengan beliau yang lahir di Desa ‘Ilim, sebuah desa kecil yang terletak di antara kota Zagaziq dan Abu Hammad, Mesir (tanggal kelahirannya tidak tercatat jelas) dan kala ia berumur empat tahun, ayahnya berpulang ke hadirat Allah, karena itu ibunya yang lebih banyak berperan dalam membesarkannya. Saat itu, ilmuwan yang “konon” anak keturunan Abu Bakar Al-Shiddiq yang kemudian bermukim di Turki dan selanjutnya merantau lagi ke Mesir serta mulai meniti pendidikan dasarnya di desa kelahirannya itu sedang menjabat Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di Fakultas Dar Al-‘Ulum, Universitas Kairo.
Betapa gembira guru besar yang selepas merampungkan pendidikan menengah di Ma‘had Zagaziq, sebuah perguruan di bawah naungan al-Azhar, sebuah perguruan tertua di dunia Islam, lantas memasuki Universitas Kairo dan pada 1365 H/1945 M, setelah meraih gelar sarjana di almamaternya, berhasil memperoleh bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas London dan kemudian di Universitas Cambridge itu menerima saya sebagai anak didiknya di program pascasarjana di bidang sejarah dan kebudayaan Islam. Saat itu saya bersama empat teman seangkatan (Dr. Wan Ahmad (alm.), seorang warga Malaysia yang mantan pensyarah di Universiti Kebangsaan Malaysia, Dr. Zaki Ahmad Brahim, seorang warga Malaysia yang kini menjadi Ketua Jurusan Tamadun Islam di Universiti Malaya, Malaysia, seorang teman asal Mesir, dan seorang teman asal Irak).
Entah kenapa ilmuwan Muslim yang meraih gelar PhD di bidang sejarah dan kebudayaan di universitas bergengsi di Inggris itu pada 1371 H/1951 M dengan disertasi berjudul “History of Muslim Education”, di bawah bimbingan seorang orientalis terkemuka Inggris kala itu: A.J. Arberry, itu lebih banyak memberi waktu dan membimbing saya ketimbang teman-teman saya. Beliau tak jemu-jemunya melatih saya untuk menulis dan menulis, di samping memberi tugas demi tugas untuk menerjemahkan karya-karya tulis beliau yang kemudian diterbitkan oleh sebuah penerbit di Singapura. Sehingga, acap kali saya merasa tidak enak hati terhadap teman-teman seangkatan. Malah, ketika beliau tahu saya tidak punya duit, beliau sering memberi saya uang. Mungkin, kerinduan beliau terhadap Indonesia yang sangat beliau cintai (seperti sering beliau ungkapkan secara lisan maupun dalam beberapa karya beliau) itulah yang membuat beliau merasa dekat dengan saya. Beliau memang pernah tinggal di Indonesia. Mengapa demikian?
Sekembalinya ke negerinya dari Inggris, beliau meniti karier ilmiahnya di almamaternya. Namun, pada 1374 H/1954 M, kala terjadi pembersihan yang dilakukan pemerintah Mesir di bawah pimpinan Presiden Gamal Abdel Nasser terhadap Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, meski beliau sendiri tidak tergabung dalam gerakan tersebut, beliau diberhentikan dari almamaternya. Setelah sempat selama setahun hidup serabutan, beliau kemudian “diselamatkan” Anwar Sadat yang kala itu menjabat Sekretaris Jenderal Organisasi Kongres Islam yang mengirimnya ke Indonesia. Selama sekitar enam tahun berada di Indonesia, beliau ditugaskan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai seorang staf pengajar di lingkungan Perguruan Agama Islam Negeri yang kemudian berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri (dan kini menjadi Universitas Islam Negeri).
Sekembalinya ke negerinya pada 1381 H/1961 M, suami Karimah Imam ini meniti karier di lingkungan Departemen Pendidikan dan Pengajaran. Tapi, akhirnya pada 1382 H/1962 M beliau kembali meniti karier ilmiahnya di lingkungan almamaternya. Di luar kesibukannya sebagai guru besar di berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah, antara lain di Sudan dan Arab Saudi, ilmuwan yang memiliki sosok seperti orang Eropa dan kala muda memiliki rambut berwarna blonde dan mata berwarna kehijau-hijauan ini terkenal sebagai seorang penulis yang sangat produktif. Karya-karya tulisnya, termasuk di antaranya yang mulai disusunnya kala tinggal di Jalan Sagan 20, Yogyakarta, antara lain Mausu‘ah Al-Tarikh Al-Islami, sebuah ensiklopedia sejarah Islam yang terdiri dari sepuluh jilid, dan Mausu'ah Al-Hadharah Al-Islamiyyah, sebuah ensiklopedia kebudayaan Islam yang juga terdiri dari sepuluh jilid.
Karena itu, hanya doa kepada Allah Swt. saja yang kali ini dapat saya panjatkan untuk beliau, “Ya Allah! Ampunilah dosa-dosa beliau, limpahkanlah kasih dan sayang-Mu kepada beliau, maafkanlah beliau, dan jadikanlah surga menjadi tempat peristirahatan abadi bagi beliau. Ya Allah! Jadikanlah ilmu yang beliau wariskan menjadi ilmu yang bermanfaat yang mampu menjadi lentera hati dan pikiran hamba-hamba-Mu di manapun. Amin ya Rabbal ‘Alamin.”