Pada Ahad, 4 Maret 2007 yang lalu, sekitar jam 08.00 pagi, kami berenam: saya, istri saya tercinta, seorang ipar dari Madura dan putrinya, seorang ipar saya yang lain dari Jakarta, dan seorang sopir dari Surabaya berangkat meninggalkan Jl. Embong Malang, Surabaya, menuju Pelabuhan Tanjung Perak, dengan tujuan ke Pulau Madura. Setibanya di pelabuhan tersebut, alhamdulillah antrian menuju pulau tersebut sedang sepi. Karena itu, segera saja kami naik feri yang akan membawa kami ke Pulau Madura. Suasana pagi yang masih segar dan penumpang yang tidak hiruk pikuk, membuat saya benar-benar menikmati perjalanan menyeberangi laut yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Madura itu. Pemandangan di sekitar pelabuhan tampak indah sekali. Sayang, air laut di antara kedua pula itu tampak keruh. Betapa andaikan air laut tersebut jernih. Tentu akan semakin menambah indah di sekitar lokasi tersebut.
Setibanya di Pelabuhan Kamal, Bangkalan, selepas menikmati perjalanan laut selama sekitar setengah jam, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Bangkalan. Tujuan perjalanan kami adalah sebuah pondok pesantren yang didirikan oleh seorang kiai terkemuka yang sejumlah muridnya menjadi kiai-kiai terkemuka di Indonesia. Misalnya, K.H. Hasyim Asy‘ari, tokoh dan pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, K.H. Bisri Mustofa, ayahanda Gus Mus Rembang, K.H. As‘ad Syamsul Arifin Asembagus, Jawa Timur, dan K.H. Abdul Hadi Langitan, Jawa Timur. Kakek saya, K.H. Usman, seorang kiai dari Cepu, Jawa Tengah, pun pernah menimba ilmu di ponpes tersebut. Kiai terkemuka yang saya maksudkan tersebut adalah K.H. M. Khalil bin ‘Abdul Lathif, Bangkalan, Madura.
Selepas menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit dari Pelabuhan Kamal, dari jauh Kota Bangkalan menyambut kami. Setelah melewati Kota Bangkalan, kami meneruskan perjalanan ke Burneh, untuk mengunjungi pondok pesantren seorang sahabat saya di Kairo. Selepas itu, kami balik ke Kota Bangkalan. Sekitar seratus meter menjelang Masjid Agung Bangkalan, mobil yang kami naiki pun berbelok ke kiri dan memasuki sebuah pondok pesantren yang kami tuju itu. Bagi saya, kunjungan kali ini merupakan kunjungan yang kedua kalinya. Kami disambut putra kesepuluh K.H. Abdullah Sahal (yang sedang berkunjung ke Malaysia), yaitu Gus Nasih Aschal, yang masih muda usia. Walau saya ini hanya seorang “tukang ngluyur” dan “tukang ketik”, Gus Nasih menyambut kami dengan ramah, santun, dan penuh penghormatan. Tiga kamar dengan ruang tamu khusus yang dari situ kita dapat melihat ke pelbagai sudut ponpes, telah disiapkan untuk kami. Jazakumullah Ahsanal Jaza’, Gus Nasih Aschal.
Di “Ponpes Syaikhona Kholil” tersebut, sebagai cucu dan putra kiai dan lahir di lingkungan pondok pesantren, saya segera merasa at home dan merasa di rumah sendiri. Budaya pesantren sebenarnya banyak mewarnai hidup saya. Tak aneh, begitu memandangi dan merenungi sejenak ponpes kiai terkemuka tersebut, saya dapat merasakan bahwa ponpes ini didirikan dengan niat sangat tulus dan ikhlas. Di sinilah sebenarnya “ruh” kehidupan dan “manajemen” ponpes. Sedangkan manajemen modern seperti halnya yang acap saya baca dari buku-buku yang diajarkan kepada putri pertama saya, Mona Luthfina, di Dept. Teknik Industri ITB, hanyalah sebagai penunjang. Karena itu, setiap kali mengunjungi ponpes, saya selalu menggunakan “indra keenam” saya untuk menilai ponpes tersebut. Dan, harapan saya, “ruh” kehidupan dan “manajemen” utama ponpes tersebut tetap mewarnai pelbagai ponpes di Indonesia. Amin.
Monday, March 5, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment