Ketika saya sedang asyik membaca ulang buku Islam and Politics: Emergence of Reformative Movement in Indonesia, yang diterbitkan oleh International Islamic University Malaysia dan ditulis oleh Prof. Dr. Sohirin Solihin, tiba-tiba pikiran saya pun melayang ke Gombak, Kuala Lumpur. Terkenang oleh saya, buku yang ditandatangani langsung dan dikasih catatan “Ahda Hadza Al-Juhd Al-Mutawadhi’ li Al-Akh Al-‘Aziz Al-Ustadz Rofi’ ‘Usmani min Al-Faqir ila ‘Afw Rabbih, Dr. Sohirin Mohammad Solihin” ini saya terima langsung dari penulis buku tersebut ketika saya bersilaturahmi ke rumah beliau dan menginap di komplek perumahan para pensyarah universitas Islam tersebut pada Juni 2006.
Sahabat saya yang berasal dari keluarga sangat bersahaja di Ciamis, Jawa Barat dan pernah mengaji di Pesantren Kebarongan, Cilacap ini sangat akrab dengan saya sejak kami menimba ilmu di Mesir. Jika saya bermukim di Distrik Manial, Rawdhah, tidak jauh dari RS Kasr El Aini dan Sungai Nil, sedangkan Ayahanda dua putri: Azizah dan Afifah, itu bermukim di Ruwaq Indonesia (Ruang atau Gotakan Indonesia). Yang namanya Ruwaq Indonesia tersebut saat itu, yang ada di dalam komplek Masjid Al-Azhar, Kairo dapat dikatakan sebagai asrama mahasiswa Indonesia di Kairo yang “tong pes” (kantong kempes). Meski demikian, dalam perjalanan sejarahnya, gotakan yang sangat sederhana tersebut telah melahirkan sejumlah tokoh Muslim Indonesia, seperti halnya Prof.Dr. H.M. Rasjidi.
Saya dan sahabat tersebut sering bergantian bersilaturahmi dengan kondisi seadanya, karena sama-sama mahasiswa kelompok “Ahlush Shuffah” alias tong pes. Saya sering datang ke Ruwaq Indonesia, selain bersilaturahmi, untuk memesan beras yang kala itu (1978-1984) sulit didapatkan di Kairo. Selain itu, sahabat saya itu punya kesenangan memasak kawari’, sup khas Mesir yang dibuat dari kikil sapi. Atau kalau kami lagi punya sedikit rezeki, kami pun menikmati sebuah restoran kawari’ di kawasan Khan Khalili, sebuah pasar kerajinan tradisional di dekat Masjid Sayyidina Al-Husan bin ‘Ali.
Ketika saya pulang ke Indonesia pada 1984, karena tidak boleh menimba ilmu di Prancis oleh Ibunda saya, sahabat saya tersebut kemudian melanjutkan “kelana ilmiah”nya di Inggris. Selama sekitar 13 tahun dia harus berjibaku, dengan segala kepedihan, kesulitan, keceriaan, keindahan, dan khazanah ilmiah kaya yang dimiliki negeri Tony Blair tersebut. Tapi, akhirnya, Allah Swt. memberinya anugerah gelar PhD lewat sebuah universitas bergengsi di negeri itu. Selepas itu, dia berusaha menebarkan ilmunya di Indonesia. Tapi, dia hanya mampu bertahan selama sekitar enam bulan. Pada 1996, dia mendapat tawaran untuk menjadi pensyarah universitas yang kini tegak dengan megahnya di kawasan Gombak, Kuala Lumpur itu. Dua minggu berada di KL, sebuah musibah menimpanya: seluruh bukunya yang dibawanya pulang dari Inggris, yang dititipkan di rumah mertuanya yang tidak jauh dari Terminal Kampung Melayu, Jakarta, disapu bersih oleh banjir besar yang menghajar Jakarta saat itu. Masya Allah. Walau sangat sedih, sahabat ini tetap tegak untuk melaksanakan amanah yang disangganya sebagai pensyarah. Ketegaran, kesabaran, keuletan, dan keprihatinnya selama bertahun-tahun akhirnya kini diganjar Allah Swt. dengan posisi penting di Dept. of Quran and Sunnah di IIU Malaysia.
Setiap kali merenungkan perjalanan hidup sahabat saya yang satu ini, saya senantiasa teringat dengan firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa “Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa selama mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri”. Kiranya Antum dapat melaksanakan sebaik-baiknya amanah yang dibebankan kepada Antum, wahai sahabatku! Amin.
Sahabat saya yang berasal dari keluarga sangat bersahaja di Ciamis, Jawa Barat dan pernah mengaji di Pesantren Kebarongan, Cilacap ini sangat akrab dengan saya sejak kami menimba ilmu di Mesir. Jika saya bermukim di Distrik Manial, Rawdhah, tidak jauh dari RS Kasr El Aini dan Sungai Nil, sedangkan Ayahanda dua putri: Azizah dan Afifah, itu bermukim di Ruwaq Indonesia (Ruang atau Gotakan Indonesia). Yang namanya Ruwaq Indonesia tersebut saat itu, yang ada di dalam komplek Masjid Al-Azhar, Kairo dapat dikatakan sebagai asrama mahasiswa Indonesia di Kairo yang “tong pes” (kantong kempes). Meski demikian, dalam perjalanan sejarahnya, gotakan yang sangat sederhana tersebut telah melahirkan sejumlah tokoh Muslim Indonesia, seperti halnya Prof.Dr. H.M. Rasjidi.
Saya dan sahabat tersebut sering bergantian bersilaturahmi dengan kondisi seadanya, karena sama-sama mahasiswa kelompok “Ahlush Shuffah” alias tong pes. Saya sering datang ke Ruwaq Indonesia, selain bersilaturahmi, untuk memesan beras yang kala itu (1978-1984) sulit didapatkan di Kairo. Selain itu, sahabat saya itu punya kesenangan memasak kawari’, sup khas Mesir yang dibuat dari kikil sapi. Atau kalau kami lagi punya sedikit rezeki, kami pun menikmati sebuah restoran kawari’ di kawasan Khan Khalili, sebuah pasar kerajinan tradisional di dekat Masjid Sayyidina Al-Husan bin ‘Ali.
Ketika saya pulang ke Indonesia pada 1984, karena tidak boleh menimba ilmu di Prancis oleh Ibunda saya, sahabat saya tersebut kemudian melanjutkan “kelana ilmiah”nya di Inggris. Selama sekitar 13 tahun dia harus berjibaku, dengan segala kepedihan, kesulitan, keceriaan, keindahan, dan khazanah ilmiah kaya yang dimiliki negeri Tony Blair tersebut. Tapi, akhirnya, Allah Swt. memberinya anugerah gelar PhD lewat sebuah universitas bergengsi di negeri itu. Selepas itu, dia berusaha menebarkan ilmunya di Indonesia. Tapi, dia hanya mampu bertahan selama sekitar enam bulan. Pada 1996, dia mendapat tawaran untuk menjadi pensyarah universitas yang kini tegak dengan megahnya di kawasan Gombak, Kuala Lumpur itu. Dua minggu berada di KL, sebuah musibah menimpanya: seluruh bukunya yang dibawanya pulang dari Inggris, yang dititipkan di rumah mertuanya yang tidak jauh dari Terminal Kampung Melayu, Jakarta, disapu bersih oleh banjir besar yang menghajar Jakarta saat itu. Masya Allah. Walau sangat sedih, sahabat ini tetap tegak untuk melaksanakan amanah yang disangganya sebagai pensyarah. Ketegaran, kesabaran, keuletan, dan keprihatinnya selama bertahun-tahun akhirnya kini diganjar Allah Swt. dengan posisi penting di Dept. of Quran and Sunnah di IIU Malaysia.
Setiap kali merenungkan perjalanan hidup sahabat saya yang satu ini, saya senantiasa teringat dengan firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa “Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa selama mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri”. Kiranya Antum dapat melaksanakan sebaik-baiknya amanah yang dibebankan kepada Antum, wahai sahabatku! Amin.
No comments:
Post a Comment