Wednesday, March 7, 2007

Gus Mus

Entah kenapa tadi pagi, ketika saya sedang asyik menulis dengan laptop sambil mendengarkan lagu-lagu dari Fez Sacred Music Festival, buku Canda Nabi & Tawa Sufi, sebuah buku bersampul kuning yang diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, Jakarta yang berada di antara deretan buku-buku yang terletak di sebelah kiri meja kerja saya, tiba-tiba memikat perhatian saya. Buku yang pertama kali terbit pada Juli 2002 itu semakin memaksa saya untuk mengambilnya ketika nama penulis buku itu terbaca oleh saya. Penulis buku yang diberi kata pengantar oleh Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) itu tidak lain adalah A. Mustofa Bisri yang lebih beken dengan sebutan Gus Mus. Sebuah nama seorang kiai yang sastrawan dan budayawan asal Desa Leteh yang berada di Kota Rembang, Jawa Tengah yang tak kenal letih dalam berdakwah lewat gaya-gayanya yang khas. Gaya berdakwah kiai yang pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, di samping juga seorang penyair, novelis, pelukis, dan cendekiawan Muslim ini benar-benar menyejukkan hati dan pikiran. Tak aneh jika saya sering mengintip dan mengunjungi “gubug” web ulama yang acap mendapat sebutan “Kiai Klelet” (klelet adalah endapan nikotin rokok yang menempel di pipa) serta lahir pada Kamis, 20 Sya‘ban 1363 H atau 10 Agustus 1944 M dalam lingkungan kiai ini tanpa kulo nuwun.

Segera saja bayang-bayang Kota Rembang dan sosok Gus Mus mengisi benak saya. Kota Rembang, sebuah kota di tepi pantai Laut Jawa dan terletak di antara Kota Juwana dan Lasem, telah saya kenal sejak kecil. Ingatan pertama saya tentang kota itu adalah saat saya ikut rombongan keluarga K.H. Usman, Cepu (kakek saya) yang datang ke kota itu untuk menikahkan paman saya dengan putri seorang kiai di kota itu pada awal tahun 1960-an. Selepas itu, antara 1965-1971, saya hampir tiap tiga bulan menginap di rumah orang tua dua sahabat asal kota itu yang bersama-sama saya menimba ilmu di Kudus dan Yogyakarta. Saya menginap di rumah itu setiap kali saya mau pulang dan liburan di Blora, di rumah orang tua saya.

Sementara pertemuan pertama saya dengan putra kiai yang orator, K.H. Bisri Mustofa, dan cucu K.H. Mustofa Bisri ini terjadi di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Kala saya sedang nyantri di ponpes tersebut, 1972-1975, saya sekamar dengan adik kandung kiai yang selepas merampungkan pendidikan formal di tingkat sekolah dasar di kampungnya dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, selama dua tahun, dan menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, di bawah bimbingan K. H. Ali Maksum selama hampir tiga tahun, Gus Adib Bisri (alm.). Sebagai seseorang yang pernah menimba ilmu di ponpes tersebut, sepulangnya dari menimba ilmu di Mesir Gus Mus kadang datang ke ponpes tersebut sambil menengok sang adik tercinta. Dari kunjungan tersebut, di samping dari sejumlah album Gus Mus (yang pernah memakai nama samaran M. Ustov A. Bisri) selama menimba ilmu di Kairo yang dibawa Gus Adib, saya mulai mengenal Kota Kairo. Masih teringat oleh saya bagaimana Gus Mus muda tampil di album-album tersebut, termasuk ketika sedang bergaya di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo. Wajah Gus Mus muda mirip dengan wajah adiknya. Adiknya, seperti halnya abang tercintanya, sangat menggemari karya-karya sastra. Karena itu, setiap kali Gus Adib membeli karya-karya sastra, saya pun ikut menikmatinya.

Kadang saya merasa bersalah terhadap Gus Mus. Ini karena saya belum pernah sowan ke ponpes kiai yang pernah belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang dirampungkannya pada 1390 H/1970 M dan seusai menimba ilmu di negeri orang lantas kembali ke kota kelahirannya untuk ikut menangani pondok pesantren, selain juga aktif berorganisasi di Nahdlatul Ulama sehingga mengantarkannya menjadi Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Karena itu, sebagai obat kangen saya kepada kiai yang sangat ramah, santun, tapi penuh humor dan yang terakhir kali saya temui di bulan Agustus 2006, di Rembang, tapi tak menyempatkan diri sowan ke ponpesnya itu, saya kadang menyempatkan diri membaca karya kiai yang fasih berbahasa Arab dan Inggris itu, antara lain Proses Kebahagiaan, Pokok-Pokok Agama, Saleh Ritual, Saleh Sosial, Pesan Islam Sehari-hari, Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem, Tadarus Antologi Puisi, Pahlawan dan Tikus, Rubaiyat Angin dan Rumput, Wekwekwek, dan Canda Nabi & Tawa Sufi.

Maaf Gus, saya belum dapat mengikuti sepenuhnya jejak langkah Gus Mus! Doakan kiranya jejak langkah Gus Mus dapat saya ikuti, suatu ketika, dan tidak hanya jadi santri mbeling terus menerus. Insya Allah.

No comments: