Selepas melepas lelah semalam di Pharaohs Hotel, yang terletak di Lutfi Hassouna St., Dokki, Kairo, yang terletak tidak jauh dari Sungai Nil, pagi hari sekitar jam 08.00 kami dijemput Mas Muhyiddin (lebih akrab dengan panggilan Mas Oyik) dan Mas M. Norman Muttaqin, keduanya mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo. Mereka berdua berasal dari Jawa Timur. Pagi hari itu, Jumat 23 Maret 2007, kami bermaksud melakukan perjalanan ke sebuah kota yang terleletak sekitar 220 kilometer di sebelah utara Kairo. Kota itu tidak lain adalah Kota Alexandria, sebuah kota pantai nan indah yang terletak memanjang sekitar 15 kilometer di tepi Laut Tengah. Ada dua jalur menuju kota tersebut. Yaitu jalur pertanian (zira’i) dan jalur padang pasir (shakhrawi). Dalam perjalanan pagi itu, kami memilih jalur pertanian. Sedangkan pulangnya kami memilih jalur padang pasir.
Ada suatu pertimbangan khusus bagi saya memilih kota ini dikunjungi, selama kami Mesir, selain Kota Kairo. Kami memang tidak memilih Luxor, pusat kerajaan lama Mesir Purba, yang terletak sekitar 720 kilometer di sebelah selatan Kota Kairo. Selain indah, kota yang satu ini adalah ibukota musim panas Mesir. Dengan kata lain, ketika musim panas musim panas, yang kadang mencapai sekitar 42 derajat celcius, pemerintah Mesir menjadikan kota ini sebagai ibukota pemerintahan. Di samping itu, saya ingin sekali melihat Perpustakaan Alexandria yang diresmikan beberapa tahun yang lalu.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam, naik mobil Verna buatan Hyundai Korea yang dikendarai Mas Oyik dengan melintasi Kota Thanta, segera batas Kota Alexandria muncul di pelupuk mata. Melihat Kota Alexandria di kejauhan, entah kenapa tiba-tiba pikiran saya disergap oleh bayang-bayang sosok jenderal Muslim yang pertama kali menundukkan kota ini, yaitu Jenderal ‘Amr bin Al-‘Ash. Seperti tercatat dalam lembaran sejarah Islam, jenderal yang terkenal sebagai penakluk Mesir ini bernama lengkap ‘Amr bin Al-‘Ash bin Wail bin Hasyim bin Sa‘id bin Sahm bin ‘Amr bin Hasis bin Ka‘b bin Luay bin Ghalib Al-Qurasyi. Ia lahir sekitar 50 sebelum Hijrah atau 574 M. Ibunya, Al-Nabighah binti Harmalah, adalah seorang perempuan tawanan dari Bani Anazah yang kemudian dijual di Pasar ‘Ukazh dan dibeli oleh keluarga Al-‘Ash. Sahabat Nabi Muhammad Saw. dari keluarga berkecukupan ini memeluk Islam pada 8 H/629 M, menjelang penaklukan Makkah di masa Nabi Muhammad Saw. Ia berhijrah ke Madinah bersama Khalid bin Al-Walid. Selanjutnya, ia ikut dalam berbagai ekspedisi militer, baik apakah di masa Nabi Saw., Abu Bakar Al-Shiddiq, maupun ‘Umar bin Al-Khaththab.
Pada 18 H/639 M ‘Amr bin Al-‘Ash diangkat ‘Umar bin Al-Khaththab sebagai Gubernur Palestina dan Yordania. Pada masa inilah ia memimpin pasukan kaum Muslim yang berupaya menaklukkan Mesir. Upaya itu, yang berlangsung selama tiga tahun, baru berhasil pada 20 H/642 M, dengan jatuhnya Kota Alexandria yang kala itu merupakan sebuah kota metropolis Bizantium dan pusat kebudayaan Yunani. Pada tahun itu pulalah ia diangkat sebagai Gubernur Mesir. Jabatan ini ia pangku selama empat tahun beberapa bulan. Setelah menaklukkan negeri ini, ia kemudian mendirikan Kota Fusthath di luar Benteng Babilon, dan menjadikannya sebagai ibukota wilayah itu sebagai ganti Kota Alexandria yang berhasil ia duduki pada 21 H/642 M. Ia tidak memilih kota terakhir yang terletak di tepi pantai ini sebagai ibukota, karena khawatir mendapat gempuran dari angkatan laut Romawi yang kala itu masih menguasai Laut Tengah dan berpangkalan di Konstantinopel yang kini berubah nama menjadi Istanbul, Turki. Kala ‘Utsman bin ‘Affan menjabat khalifah, ‘Amr bin Al-Ash diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur.
Sekitar 14 tahun kemudian, saudara seibu ‘Uqbah bin Nafi‘ yang terkenal sebagai organisator dan administrator ulung ini diangkat kembali oleh Mu‘awiyah bin Abu Sufyan sebagai gubernur negeri yang sama, antara lain karena peran politiknya yang cemerlang (dan menguntungkan bagi Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang kemudian menjadi penguasa Dinasti Umawiyah dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah) dalam Peristiwa Tahkim. Jabatan ini ia pangku selama sekitar lima tahun. Dan, pendiri kota Fusthath ini meninggal dunia pada 1 Syawwal 43 H/6 Januari 664 M di usia sekitar 93 tahun dan dimakamkan di puncak Bukit Muqaththam, Kairo.
“Wahai Alexandria, lihat kini saya datang lagi! Tapi, wahai Alexandria, saya datang lagi kali ini bukan sebagai seorang jenderal Muslim yang ingin menundukkan dirimu. Saya datang lagi kali ini sebagai seorang Muslim Indonesia yang ingin merangkai silaturahmi denganmu dan memperkenalkan dirimu yang cantik nan memikat itu kepada saudara-saudara kami di mana pun berada!” gumam saya seraya memandangi Kota Alexandria di kejauhan.
Ada suatu pertimbangan khusus bagi saya memilih kota ini dikunjungi, selama kami Mesir, selain Kota Kairo. Kami memang tidak memilih Luxor, pusat kerajaan lama Mesir Purba, yang terletak sekitar 720 kilometer di sebelah selatan Kota Kairo. Selain indah, kota yang satu ini adalah ibukota musim panas Mesir. Dengan kata lain, ketika musim panas musim panas, yang kadang mencapai sekitar 42 derajat celcius, pemerintah Mesir menjadikan kota ini sebagai ibukota pemerintahan. Di samping itu, saya ingin sekali melihat Perpustakaan Alexandria yang diresmikan beberapa tahun yang lalu.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam, naik mobil Verna buatan Hyundai Korea yang dikendarai Mas Oyik dengan melintasi Kota Thanta, segera batas Kota Alexandria muncul di pelupuk mata. Melihat Kota Alexandria di kejauhan, entah kenapa tiba-tiba pikiran saya disergap oleh bayang-bayang sosok jenderal Muslim yang pertama kali menundukkan kota ini, yaitu Jenderal ‘Amr bin Al-‘Ash. Seperti tercatat dalam lembaran sejarah Islam, jenderal yang terkenal sebagai penakluk Mesir ini bernama lengkap ‘Amr bin Al-‘Ash bin Wail bin Hasyim bin Sa‘id bin Sahm bin ‘Amr bin Hasis bin Ka‘b bin Luay bin Ghalib Al-Qurasyi. Ia lahir sekitar 50 sebelum Hijrah atau 574 M. Ibunya, Al-Nabighah binti Harmalah, adalah seorang perempuan tawanan dari Bani Anazah yang kemudian dijual di Pasar ‘Ukazh dan dibeli oleh keluarga Al-‘Ash. Sahabat Nabi Muhammad Saw. dari keluarga berkecukupan ini memeluk Islam pada 8 H/629 M, menjelang penaklukan Makkah di masa Nabi Muhammad Saw. Ia berhijrah ke Madinah bersama Khalid bin Al-Walid. Selanjutnya, ia ikut dalam berbagai ekspedisi militer, baik apakah di masa Nabi Saw., Abu Bakar Al-Shiddiq, maupun ‘Umar bin Al-Khaththab.
Pada 18 H/639 M ‘Amr bin Al-‘Ash diangkat ‘Umar bin Al-Khaththab sebagai Gubernur Palestina dan Yordania. Pada masa inilah ia memimpin pasukan kaum Muslim yang berupaya menaklukkan Mesir. Upaya itu, yang berlangsung selama tiga tahun, baru berhasil pada 20 H/642 M, dengan jatuhnya Kota Alexandria yang kala itu merupakan sebuah kota metropolis Bizantium dan pusat kebudayaan Yunani. Pada tahun itu pulalah ia diangkat sebagai Gubernur Mesir. Jabatan ini ia pangku selama empat tahun beberapa bulan. Setelah menaklukkan negeri ini, ia kemudian mendirikan Kota Fusthath di luar Benteng Babilon, dan menjadikannya sebagai ibukota wilayah itu sebagai ganti Kota Alexandria yang berhasil ia duduki pada 21 H/642 M. Ia tidak memilih kota terakhir yang terletak di tepi pantai ini sebagai ibukota, karena khawatir mendapat gempuran dari angkatan laut Romawi yang kala itu masih menguasai Laut Tengah dan berpangkalan di Konstantinopel yang kini berubah nama menjadi Istanbul, Turki. Kala ‘Utsman bin ‘Affan menjabat khalifah, ‘Amr bin Al-Ash diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur.
Sekitar 14 tahun kemudian, saudara seibu ‘Uqbah bin Nafi‘ yang terkenal sebagai organisator dan administrator ulung ini diangkat kembali oleh Mu‘awiyah bin Abu Sufyan sebagai gubernur negeri yang sama, antara lain karena peran politiknya yang cemerlang (dan menguntungkan bagi Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang kemudian menjadi penguasa Dinasti Umawiyah dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah) dalam Peristiwa Tahkim. Jabatan ini ia pangku selama sekitar lima tahun. Dan, pendiri kota Fusthath ini meninggal dunia pada 1 Syawwal 43 H/6 Januari 664 M di usia sekitar 93 tahun dan dimakamkan di puncak Bukit Muqaththam, Kairo.
“Wahai Alexandria, lihat kini saya datang lagi! Tapi, wahai Alexandria, saya datang lagi kali ini bukan sebagai seorang jenderal Muslim yang ingin menundukkan dirimu. Saya datang lagi kali ini sebagai seorang Muslim Indonesia yang ingin merangkai silaturahmi denganmu dan memperkenalkan dirimu yang cantik nan memikat itu kepada saudara-saudara kami di mana pun berada!” gumam saya seraya memandangi Kota Alexandria di kejauhan.
3 comments:
kapan ya bisa kesana :)...
pakde mana oleh2nya? kapan lagi mau kemana?aku ikut ya...kan diongkosin obat huehehe
Mas... Ini bulan madu kedua ya...?!
Ikut donk :)
-wiga-
keluargasakina@cbn.net.id
Post a Comment