Tuesday, April 24, 2007

Arsitektur Masjid a la Mesir

“Mas, bentuk masjid-masjid di Mesir ini kayaknya kok mirip semua ya?!” tanya istri tercinta saya seraya melangkahkan kaki menuju Masjid Abu Al-‘Abbas Al-Mursi, Alexandria. Hari di jam tangan saya saat itu masih menunjuk hari Jumat, 23 Maret 2007.
“Mirip semua sih tidak. Tapi, memang, masjid-masjid di negeri ini memiliki karakteristik yang hampir mirip. Karena itu, para arsitek kemudian mengatakan, masjid-masjid di negeri ini memiliki gaya arsitektural tersendiri,” jawab saya yang baru menyadari kalau banyak masjid di Mesir ini memang sekilas hampir mirip bentuknya (saya pun segera teringat dua kemenakan saya yang berada di Ubud, Bali, Ika dan Priyatna. Semestinya mereka berdua, sebagai arsitek, yang menjawab pertanyaan Bude mereka tersebut).

Bagaimanakah sih sejatinya gaya arsitektural masjid-masjid di Mesir ini? Walau sekilas mirip, sejatinya masing-masing masjid di negeri ini tidak sepenuhnya benar bentuknya mirip. Masing-masing sejatinya punya bentuk yang beda. Bentuk Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash di Fusthath, misalnya, tidak sama dengan bentuk Masjid Al-Azhar, atau Masjid Al-Husain bin ‘Ali, atau Masjid Sayyidah Zainab. Apalagi dengan bentuk Masjid Muhammad ‘Ali yang didominasi oleh gaya arsitektural Turki. Namun, secara keseluruhan, masjid-masjid di Negeri Piramid ini memiliki kesamaan karakteristik sebagai begikut:

Pertama, kecermatan bangunan dan kekokohan strukturnya. Hal yang demikian ini berlaku baik bagi masjid yang dibangun dengan memakai bahan batu maupun batu bata. Mengapa demikian? Ini karena para arsitek masjid-masjid tersebut bertolak dengan mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri yang besar. Tak aneh, karenanya, jika di Mesir tidak terdapat masjid yang punya dinding dengan ketebalan sampai dua atau meter, misalnya, seperti yang terdapat di beberapa negara lain.

Selain itu, para arsitek Mesir juga jarang memakai bahan bangunan yang mudah lapuk atau usang pada bangunan umum atau bangunan monumental. Walau banyak warga pedesaan Mesir mendirikan rumah mereka dari adonan air susu, namun tiada seorang arsitek Mesir pun yang memakai bahan tersebut dalam membangun masjid. Demikian halnya mereka tidak pernah memakainya dalam membangun dinding atau tembok. Padahal, yang demikian itu biasa dilakukan di Iraq, misalnya saja. Selain itu, orang-orang Mesir juga tidak pernah memakai batang-batang pohon kurma atau batu yang tidak dipahat untuk membangun rumah. Mereka pun terkenal sangat cermat dalam memakai adukan. Umumnya mereka hanya memakai sedikit sekali adukan. Mereka lebih suka memakai batu-batu besar yang dipahat cermat, dalam mendirikan bangunan besar, sehingga memperkecil pemakaian adukan.

Kedua, berupaya memelihara secermat mungkin keselarasan artistik pada bangunan yang mereka dirikan. Ini tampak jelas pada Masjid Ahmad bin Thulun, masjid tertua kedua di Kairo. Seluruh bentuk umum masjid yang didirikan oleh Dinasti Thuluniyyah (254-292 H/868-905 M) itu benar-benar selaras: seluruh lengkung masjid berbentuk lancip dan seluruh bukaan yang berada di atas diletakkan dengan posisi yang sama. Karakteristik yang demikian itu semakin tampak gamblang pada bangunan-bangunan yang didirikan di masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah (358-567 H/969-1171 M). Misalnya, Masjid Al-Aqmar atau Masjid Al-Shalih Thala‘i’ bin Ruzaik. Keselarasan artistik kedua masjid tersebut begitu menonjol. Arstitek kedua masjid tersebut mendayagunakan bentuk kerang-kerangan di pintu-pintu dan jendela-jendela kedua masjid tersebut. Selain itu, di seluruh dinding luar kedua masjid tersebut dibuat sarung berbentuk jendela-jendela tuli dalam bentuk kerang. Dengan kata lain, ketika kita sedang memandangi di kedua masjid tersebut, benar-benar terasakan kalau kita sedang berada di depan sebuah karya seni yang sangat selaras dan indah.

Ketiga, keseimbangan bentuk umum bangunan senantiasa dipelihara. Keseimbangan tersebut tidak dilakukan secara asal-asalan dan sekadar formalitas belaka. Misalnya, dengan membuat dua menara di kedua sisi bagian pintu masuk atau kedua pojok bagian depan. Namun, keseimbangan tersebut dilakukan di seluruh bangunan. Tampilan terindah keseimbangan tersebut, terutama pada masjid-masjid yang didirikan oleh Dinasti Mamluk (648-923 H/1250-1517 M), terpancar pada pembangunan kubah di sudut yang satu dan menara di sudut yang lain. Hasilnya, suatu keseimbangan yang benar-benar memukau. Padahal, kubah tersebut berbentuk bundar dan menara tersebut berbentuk lurus. Namun, keduanya membentuk suatu keterpaduan dan keseimbangan dalam pandangan dan cita rasa.

Keseimbangan itu sendiri merupakan corak utama yang oleh para arsitek Mesir selalu diupayakan untuk tetap dihadirkan pada setiap karya yang mereka hasilkan. Jika Masjid Al-Azhar di Kairo diperkecualikan, keseimbangan tersebut tampak gamblang pada masjid-masjid antik di Mesir. Di sisi lain, keseimbangan tersebut menjadi bukti, para arsitek masjid-masjid tersebut sebelum mendirikan masjid-masjid tersebut telah membuat rancangan secara keseluruhan bangunan masjid-masjid tersebut. Keseimbangan tersebut mencapai puncaknya pada masjid-masjid yang didirikan oleh Sultan Qait Bey, Sultan Barquq, dan Sultan Al-Hasan. Sayang, keseimbangan yang demikian itu tidak terdapat pada Masjid Al-Azhar. Mengapa hal itu terjadi? Ini karena Masjid Al-Azhar telah kehilangan keselarasan arsitekturalnya. Ini semua gara-gara sederet perbaikan dan pemugaran yang dialaminya. Semua itu terjadi karena para penguasa di Mesir bersaing dalam “memperbaiki dan memugar” Masjid Al-Azhar. Akibatnya, sayang sekali, masjid yang seusia dengan Kota Kairo itu pun menjadi berukuran besar, namun kehilangan keselarasan arsitekturalnya.

Keseimbangan yang demikian itu tidak hanya pada global bangunan saja. Tapi, juga pada rinci bangunan. Hal itu tampak gamblang pada menara-menara pelbagai masjid di Mesir. Menara-menara tersebut tampak sangat indah dan memikat. Hal itu terjadi karena menara-menara tersebut dirancang sedemikian imbang antara garis tengahnya, ketinggiannya, dan jumlah balkon-balkonnya yang dibuat dengan jarak yang dihitung secara sangat cermat. Karena itu, tidak aneh jika menara masjid-masjid Mesir merupakan salah satu menara-menara masjid terindah di dunia. Dan, tak aneh pula, seperti halnya bentuk mesalla yang banyak memberikan inspirasi bagi dunia arsitektur di pelbagai belahan dunia, menara masjid Mesir pun berhasil memberikan inspirasi ke pelbagai belahan dunia Islam. Termasuk ke Sudan selatan dan Amerika Latin.

Hal serupa juga berlaku pada kubah bergaya Mesir. Kubah dengan gaya tersebut juga memiliki keseimbangan dan keselarasan yang menawan. Tak aneh jika kubah dengan gaya tersebut tidak memiliki kepincangan pada panjang kakinya, seperti halnya yang ada pada kubah-kubah bergaya Saljuq, tidak pula memiliki lengkung-lengkung yang terlalu berlebihan lengkungannya, seperti halnya yang ada pada masjid-masjid di India, dan juga tidak mengenal bentuk yang terlalu besar sehingga kubah kehilangan posisinya sebagai salah satu karya arsitektural yang memikat. Di sisi lain, meski para arsitek Mesir tidak berupaya membuat menara masjid yang mereka bangun sarat dengan dekorasi berwarna-warni, namun menara tersebut tetap memancarkan keindahan dan keselarasan yang luar biasa. Sayangnya, sebagian besar masjid-masjid dari masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah kini telah sirna. Sedangkan sebagian besar yang masih tersisa telah rusak dan pelbagai aspek seni dan keindahannya pun telah tiada. Selain itu, sayang sekali, secara umum masjid-masjid di Mesir kurang terpelihara dengan baik. Tak aneh jika sebagian besar masjid-masjid tersebut kehilangan keindahannya, akibat kurang pemeliharan, kerusakan, dan proses kehancuran.

“Saya puas sekali dapat melihat masjid-masjid indah dan megah di Mesir ini. Sama dengan kepuasaan saya ketika melihat gereja-gereja indah di Eropa. Ini menunjukkan kualitas para arsitek Muslim tidak kalah dengan rekan-rekan sejawatnya yang non-Muslim,” ucap istri tercinta saya seraya menikmati keindahan Masjid Abu Al-‘Abbas Al-Mursi. “Ya. Tapi, ada satu hal yang kurang pada masjid-masjid di Mesir ini. Banyak masjid yang tidak dilengkapi dengan taman yang indah. Sayang sekali, ya!” jawab saya seraya mengajaknya melangkahkan kaki menuju mobil yang dikendarai Mas Norman Muttaqin untuk mengunjungi Benteng Qait Bey.

3 comments:

priyatnadp said...

memang sekilas hampir mirip bentuknya (saya pun segera teringat dua kemenakan saya yang berada di Ubud, Bali, Ika dan Priyatna. Semestinya mereka berdua, sebagai arsitek, yang menjawab pertanyaan Bude mereka tersebut).

waduh pa'de aku ngga bisa jawab. Soalnya blum liat langsung sih. Musti liat langsung, muter muter, megang temboknya, masuk, rasain ruangnya hehehe...ya jelas sih yang bagus di penjuru dunia lain belum tentu bagus kalo dibawa ke Indonesia. Bagus justru karena memang tempatnya sesuai dengan budaya, iklim, masyarakat, disana bahasa kerennya genius loci katanya.

ikeow said...

iya ga bisa komen abisnya blom pernah kesana sih...pakde kapan lagi kesana?kita ikut ya...hehehe

Anonymous said...

Baca juga kajian tentang beberapa arsitektur masjid yang dibangun di zaman khilafah di sini:

http://kalipaksi.wordpress.com/2009/03/09/salah-kaprah-foto-masjidil-aqsha/


Masjid Al-Azhar di sini:
http://kalipaksi.wordpress.com/2007/08/22/masjid-al-azhar-dibangun-oleh-syiah-digunakan-oleh-sunni/


Masjid Nabawi di sini:
http://kalipaksi.wordpress.com/2007/08/30/kisah-masjid-nabawi-bertiang-pohon-kurma-beratap-pelepah/


Masjid Ibnu Tulun di sini:
http://kalipaksi.wordpress.com/2009/03/08/arsitektur-masjid-ibnu-tulun-mesir/


Masjid Qayrawan, Tunisia di sini:
http://kalipaksi.wordpress.com/2009/03/08/arsitektur-masjid-qayrawan-tunisia/




Masjid Cordoba di sini:
http://kalipaksi.wordpress.com/2007/08/21/masjid-cordoba-disempurnakan-dua-abad/