Pelbagai kesibukan di bulan Agustus tahun ini membuat saya tidak sempat menyiapkan banyak tulisan di blog ini. Kesibukan untuk menyelesaikan sebuah buku dan menyiapkan materi manasik ibadah haji membuat saya tidak sempat meluangkan waktu untuk “hadir bersama Anda” di blog ini. Sejatinya, banyak hal menarik yang cukup menjadi bahan untuk diolah dan disajikan.
Sabtu yang lalu, tepatnya pada 1 September 2007, selepas memberikan uraian tentang “Sejarah dan Filosofi Ibadah Haji” di Bogor, dan ketika sedang melepas lelah di Wisma Puspitek, Serpong, karena keesokan harinya akan meneruskan perjalanan ke Serang, entah kenapa tiba-tiba pikiran saya melayang-layang menuju Makkah. Benak saya pun segera menghadirkan “film” ketika saya selepas tawaf dan melaksanakan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim di bulan Juli 2007 yang lalu. Selepas itu, saat itu menjelang waktu shalat isya, saya mendapat tempat dua baris di belakang Imam shalat yang berada di samping kiri Maqam Ibrahim. Tak lama kemudian, waktu shalat isya pun tiba.
Begitu sang Imam memimpin shalat, orang-orang yang sedang tawaf pun segera menghentikan langkah-langkah mereka dan bergabung dengan jamaah yang sedang shalat. Dan, begitu sang Imam mengucapkan salam, tiba-tiba sejumlah orang yang berada tidak jauh dari Hajar Aswad pun meloncat dan “menerkam” batu itu bersamaan dan berebutan. Melihat “pemandangan tak sedap” tersebut, saya pun hanya dapat menekurkan kepala. Tampaknya saudara-saudara saya seiman itu “terlalu” berlebihan dalam usaha mereka untuk mencium batu hitam itu. Mungkin mereka tidak tahu, batu hitam berbentuk bulat telur yang menghiasi salah satu sudut Ka‘bah dan bergaristengah sekitar 18 sentimeter itu pernah “pergi” dari tempatnya tersebut selama selama 22 tahun ke Bahrain. Saya tidak dapat membayangkan, apa yang bakal dilakukan saudara-saudara saya seiman itu andai Hajar Aswad pergi lagi dari tempatnya kini.
Seperti diketahui, Hajar Aswad merupakan batu yang menjadi penanda permulaan awal tawaf dan putaran-putaran tawaf berikutnya. Ada yang mengatakan, asal batu ini dari Gunung Abu Qubais. Ada pula yang mengatakan, batu ini adalah sisa meteor yang jatuh ke bumi. Sementara catatan sejarah Islam mengemukakan, batu ini telah menghiasi Ka‘bah ketika Nabi Muhammad Saw. belum diangkat sebagai Rasulullah. Malah, ketika Ka‘bah dipugar, beliaulah yang meletakkan batu ini ke tempatnya. Batu ini mulai dilapisi perak, agar tidak pecah, sejak 140 H/757 M, atas perintah Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak.
Seperti saya kemukakan di atas, batu yang satu ini pernah “berjalan-jalan” selama sekitar 22 tahun ke Bahrain, karena dibawa lari oleh Abu Thahir Sulaiman, pemimpin Gerakan Qaramithah. Peristiwa tersebut terjadi pada 317 H/929 M. Peristiwa tersebut memicu kemarahan umat Islam di berbagai penjuru Dunia Islam kala itu. Melihat reaksi umat Islam yang demikian itu, Al-Qa’im, penguasa ke-2 Dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara kala itu yang memiliki hubungan dengan gerakan tersebut, meminta Abu Thahir untuk mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Namun, permintaan Al-Qa’im ditolak mentah-mentah oleh pemimpin Gerakan Qaramithah tersebut.
Gerakan Qaramithah ini, menurut catatan sejarah Islam, adalah suatu gerakan yang berakar pada ide-ide mesianis radikal dan didirikan seorang tokoh sekte Isma‘iliyyah wilayah Kufah: Hamdan bin Al-Asy‘ats, yang digelari Qarmath, di luar kota Wasith setelah berakhirnya pemberontakan Zanj pada 264 H/877 M. Gerakan ini bertujuan membangun suatu masyarakat yang mengarah pada kebersamaan dan keadilan yang didasarkan pada persamaan. Sedang tujuan politiknya untuk menopang Dinasti Fathimiyyah yang didirikan ‘Ubaidullah bin Al-Hasan Al-Mahdi.
Untuk merealisasikan cita-cita kemasyaratan yang mereka cita-citakan, mereka mendirikan satu pemukiman yang diberi nama Dar Al-Hijrah. Dalam pemukiman ini, semua anggota masyarakat harus mendahulukan kepentingan umum. Tidak boleh ada perbedaan, baik dalam hal bertempat tinggal maupun dalam hal makan. Karena itu, rumah dan makanan disediakan bersama. Dana untuk mengorganisasikan masyarakat yang seperti itu dipungut dari kewajiban membayar zakat fitrah, seperlima dari seluruh penghasilan (khums), sumbangan wajib (infaq) untuk membangun tempat kediaman dan sumbangan wajib untuk makan bersama.
Karena asas gerakan yang berdasarkan kebersamaan dan keadilan dalam persamaan inilah, maka para pengikut gerakan ini banyak terdiri dari kalangan petani dan pengrajin Nabatiyyah. Pada masa puncak kejayaannya, gerakan ini mampu mendirikan sebuah negara di Al-Hasa’, Bahrain, di bawah pimpinan Abu Sa‘id Al-Hasan bin Bahram Al-Jannabi, yang bebas dari kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyyah di Baghdad. Sedang di Khurasan, Suriah, dan Yaman mereka mempunyai pengaruh yang memusingkan pemerintahan dinasti tersebut.
Yang lebih berat lagi adalah peristiwa dilarikannya Hajar Aswad seperti dikemukakan di atas. Peristiwa ini sendiri terjadi ketika kekuasaan politik Dinasti ‘Abbasiyyah di bawah pimpinan Al-Mu‘tadhid mengalami kemunduran. Maka, Gerakan Qaramithah di bawah pimpinan Abu Thahir Sulaiman pun menyerang wakil pemerintah Dinasti ‘Abbasiyyah yang berkedudukan di Makkah, membunuh tidak kurang dari 30.000 jamaah haji dan warga setempat, merampas harta benda mereka, dan melarikan Hajar Aswad dari Ka‘bah dan membawanya ke Hajar, Bahrain, pusat kekuasaan mereka. Gerakan ini sendiri masih bertahan hingga tahun 422 H/1030 M, meski sudah tidak lagi memiliki kekuasaan militer dan politik. Malah, secara lokal mereka masih ada sampai abad ke-12 H atau ke-18 M yang kemudian menjelma dalam tubuh kelompok Makramiyyah yang berpusat di Hajar yang diberi nama baru dengan kelompok Mu‘miniyyah, terletak di Hufuf, Arab Saudi.
Hajar Aswad baru berhasil dikembalikan ke tempatnya semula pada 339 H/951 M, setelah penguasa ke-3 Dinasti Fathimiyyah, Al-Manshur, meminta kepada pengganti Abu Thahir Sulaiman, yaitu Ahmad bin Abu Sa‘id Al-Qarmathi, untuk mengembalikan Hajar Aswad ke Ka‘bah. Permintaan tersebut dipenuhi pemimpin ke-5 Gerakan Qaramitah tersebut. Sejak itu, Hajar Aswad tetap berada di tetap berada di tempatnya hingga dewasa ini.
Tentu, kita tidak mengharapkan Hajar Aswad pergi lagi dari tempatnya kini. Namun, tidak semestinya kita saling berebutan ketika akan menciumnya. Apalagi sampai mengomersialkannya, seperti halnya kini dilakukan oleh beberapa saudara saya seiman yang sengaja menjadi calo bagi kaum Muslim yang ingin mencium batu itu!
Sabtu yang lalu, tepatnya pada 1 September 2007, selepas memberikan uraian tentang “Sejarah dan Filosofi Ibadah Haji” di Bogor, dan ketika sedang melepas lelah di Wisma Puspitek, Serpong, karena keesokan harinya akan meneruskan perjalanan ke Serang, entah kenapa tiba-tiba pikiran saya melayang-layang menuju Makkah. Benak saya pun segera menghadirkan “film” ketika saya selepas tawaf dan melaksanakan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim di bulan Juli 2007 yang lalu. Selepas itu, saat itu menjelang waktu shalat isya, saya mendapat tempat dua baris di belakang Imam shalat yang berada di samping kiri Maqam Ibrahim. Tak lama kemudian, waktu shalat isya pun tiba.
Begitu sang Imam memimpin shalat, orang-orang yang sedang tawaf pun segera menghentikan langkah-langkah mereka dan bergabung dengan jamaah yang sedang shalat. Dan, begitu sang Imam mengucapkan salam, tiba-tiba sejumlah orang yang berada tidak jauh dari Hajar Aswad pun meloncat dan “menerkam” batu itu bersamaan dan berebutan. Melihat “pemandangan tak sedap” tersebut, saya pun hanya dapat menekurkan kepala. Tampaknya saudara-saudara saya seiman itu “terlalu” berlebihan dalam usaha mereka untuk mencium batu hitam itu. Mungkin mereka tidak tahu, batu hitam berbentuk bulat telur yang menghiasi salah satu sudut Ka‘bah dan bergaristengah sekitar 18 sentimeter itu pernah “pergi” dari tempatnya tersebut selama selama 22 tahun ke Bahrain. Saya tidak dapat membayangkan, apa yang bakal dilakukan saudara-saudara saya seiman itu andai Hajar Aswad pergi lagi dari tempatnya kini.
Seperti diketahui, Hajar Aswad merupakan batu yang menjadi penanda permulaan awal tawaf dan putaran-putaran tawaf berikutnya. Ada yang mengatakan, asal batu ini dari Gunung Abu Qubais. Ada pula yang mengatakan, batu ini adalah sisa meteor yang jatuh ke bumi. Sementara catatan sejarah Islam mengemukakan, batu ini telah menghiasi Ka‘bah ketika Nabi Muhammad Saw. belum diangkat sebagai Rasulullah. Malah, ketika Ka‘bah dipugar, beliaulah yang meletakkan batu ini ke tempatnya. Batu ini mulai dilapisi perak, agar tidak pecah, sejak 140 H/757 M, atas perintah Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak.
Seperti saya kemukakan di atas, batu yang satu ini pernah “berjalan-jalan” selama sekitar 22 tahun ke Bahrain, karena dibawa lari oleh Abu Thahir Sulaiman, pemimpin Gerakan Qaramithah. Peristiwa tersebut terjadi pada 317 H/929 M. Peristiwa tersebut memicu kemarahan umat Islam di berbagai penjuru Dunia Islam kala itu. Melihat reaksi umat Islam yang demikian itu, Al-Qa’im, penguasa ke-2 Dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara kala itu yang memiliki hubungan dengan gerakan tersebut, meminta Abu Thahir untuk mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Namun, permintaan Al-Qa’im ditolak mentah-mentah oleh pemimpin Gerakan Qaramithah tersebut.
Gerakan Qaramithah ini, menurut catatan sejarah Islam, adalah suatu gerakan yang berakar pada ide-ide mesianis radikal dan didirikan seorang tokoh sekte Isma‘iliyyah wilayah Kufah: Hamdan bin Al-Asy‘ats, yang digelari Qarmath, di luar kota Wasith setelah berakhirnya pemberontakan Zanj pada 264 H/877 M. Gerakan ini bertujuan membangun suatu masyarakat yang mengarah pada kebersamaan dan keadilan yang didasarkan pada persamaan. Sedang tujuan politiknya untuk menopang Dinasti Fathimiyyah yang didirikan ‘Ubaidullah bin Al-Hasan Al-Mahdi.
Untuk merealisasikan cita-cita kemasyaratan yang mereka cita-citakan, mereka mendirikan satu pemukiman yang diberi nama Dar Al-Hijrah. Dalam pemukiman ini, semua anggota masyarakat harus mendahulukan kepentingan umum. Tidak boleh ada perbedaan, baik dalam hal bertempat tinggal maupun dalam hal makan. Karena itu, rumah dan makanan disediakan bersama. Dana untuk mengorganisasikan masyarakat yang seperti itu dipungut dari kewajiban membayar zakat fitrah, seperlima dari seluruh penghasilan (khums), sumbangan wajib (infaq) untuk membangun tempat kediaman dan sumbangan wajib untuk makan bersama.
Karena asas gerakan yang berdasarkan kebersamaan dan keadilan dalam persamaan inilah, maka para pengikut gerakan ini banyak terdiri dari kalangan petani dan pengrajin Nabatiyyah. Pada masa puncak kejayaannya, gerakan ini mampu mendirikan sebuah negara di Al-Hasa’, Bahrain, di bawah pimpinan Abu Sa‘id Al-Hasan bin Bahram Al-Jannabi, yang bebas dari kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyyah di Baghdad. Sedang di Khurasan, Suriah, dan Yaman mereka mempunyai pengaruh yang memusingkan pemerintahan dinasti tersebut.
Yang lebih berat lagi adalah peristiwa dilarikannya Hajar Aswad seperti dikemukakan di atas. Peristiwa ini sendiri terjadi ketika kekuasaan politik Dinasti ‘Abbasiyyah di bawah pimpinan Al-Mu‘tadhid mengalami kemunduran. Maka, Gerakan Qaramithah di bawah pimpinan Abu Thahir Sulaiman pun menyerang wakil pemerintah Dinasti ‘Abbasiyyah yang berkedudukan di Makkah, membunuh tidak kurang dari 30.000 jamaah haji dan warga setempat, merampas harta benda mereka, dan melarikan Hajar Aswad dari Ka‘bah dan membawanya ke Hajar, Bahrain, pusat kekuasaan mereka. Gerakan ini sendiri masih bertahan hingga tahun 422 H/1030 M, meski sudah tidak lagi memiliki kekuasaan militer dan politik. Malah, secara lokal mereka masih ada sampai abad ke-12 H atau ke-18 M yang kemudian menjelma dalam tubuh kelompok Makramiyyah yang berpusat di Hajar yang diberi nama baru dengan kelompok Mu‘miniyyah, terletak di Hufuf, Arab Saudi.
Hajar Aswad baru berhasil dikembalikan ke tempatnya semula pada 339 H/951 M, setelah penguasa ke-3 Dinasti Fathimiyyah, Al-Manshur, meminta kepada pengganti Abu Thahir Sulaiman, yaitu Ahmad bin Abu Sa‘id Al-Qarmathi, untuk mengembalikan Hajar Aswad ke Ka‘bah. Permintaan tersebut dipenuhi pemimpin ke-5 Gerakan Qaramitah tersebut. Sejak itu, Hajar Aswad tetap berada di tetap berada di tempatnya hingga dewasa ini.
Tentu, kita tidak mengharapkan Hajar Aswad pergi lagi dari tempatnya kini. Namun, tidak semestinya kita saling berebutan ketika akan menciumnya. Apalagi sampai mengomersialkannya, seperti halnya kini dilakukan oleh beberapa saudara saya seiman yang sengaja menjadi calo bagi kaum Muslim yang ingin mencium batu itu!
No comments:
Post a Comment