Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat menelpon saya. Dengan suara masih agak bergetar, ia menceritakan bahwa ia baru saja mengalami musibah: ketika ia dan sopirnya yang sedang mengantri di pintu gerbang tol, tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang remnya blong dan menghajar beberapa mobil di depannya. Mobil sahabat saya tersebut termasuk dalam rangkaian mobil-mobil tersebut. Akibatnya, bagian belakang dan depan mobilnya rusak berat. Namun, alhamdulillah, sahabat saya dan sopirnya selamat. Tidak lama selepas kejadian itu, ia menelpon saya dan mengemukakan bahwa malam kejadian itu ia akan mengadakan tasyakkuran atas keterhindaran dia dan sopir dari musibah. Ia juga bertanya, bolehkah ia melakukan tasyakurran atas keterhindaran dia dari musibah tersebut. Saya pun sepakat dengan tindakannya. Dan, di sisi lain, musibah itu sendiri tiba-tiba mengingatkan saya sebuah kejadian berikut.
Pada suatu hari, di bulan Desember, sebuah pesawat terbang Royal Air Maroc tinggal landas dari Jeddah International Airport. Dengan cepat dan gagahnya pesawat Boeing 727 itu menguak relung langit biru. Sementara bila memandang Bumi, tampak tergelar pemandangan Laut Merah yang kemerah-merahan membentang di antara dan membelah benua Asia-Afrika. Di sebelah barat Laut Merah itu tampak pelabuhan laut Yanbu‘, dan kadang muncul kilang-kilang minyak. Tampak pula jalur jalan-jalan panjang merobek padang pasir yang lengang. Sedang di sebelah timur Laut Merah itu berhamparan gurun sahara. Sejauh memandang hanya padang pasir belaka. Di dalam pesawat yang sedang menuju Kota Kairo itu para penumpang kelihatan senang dan cerita menikmati perjalanan. Apalagi, pelayanan para pramugara dan pramugi Royal Air Maroc cukup memuaskan.
Selepas beberapa lama mengangkasa, pesawat terbang dari Maroko itu telah berada di angkasa. Pemandangan yang tampak kini hanyalah langit biru, awan, dan Bumi di kejauhan. Kadang, pemandangan pekat belaka yang kelihatan, bila pesawat sedang awan tebal. Ketika pesawat itu telah melintasi memasuki wilayah Mesir dan mendekati Kota Kairo, tiba-tiba pengumuman fasten seat belt (pasang sabuk pengaman di tempat duduk) menyala. Pramugara dan pramugari pun sigap membantu para penumpang memasang sabuk pengaman.
Tiba-tiba telinga terasa tuli, perut mual sekali, dan kepala berkunang-kunang. Para penumpang yang sebelumnya tampak gembira, kini menampakkan wajah yang berbeda. Ada yang berdoa, ada yang yang terpaku diam, dan ada yang berwajah pucat pasi. Terasa sekali ketika itu Tuhan hadir di dalam pesawat terbang. Saat itu pesawat terbang terasa meluncur cepat sekali. Mungkin, pesawat itu terjerembab dalam ruang hampa udara. Belum lagi selesai meluncur, tiba-tiba pesawat terhempas keras sekali. Cuaca mendekati Kota Kairo benar-benar tak bersahabat. Musim dingin dengan badai sedang menghantui.
Hampir setengah jam lamanya pesawat terbang tersebut bermain akrobat. Bagaikan sabut di lautan diguncang prahara. Sebentar terhempas ke sana, sebentar terbanting ke sini. Pemandangan menarik Kota Kairo, dengan piramid-piramid dan sphinx menghiasi salah satu sudutnya serta Bukit Muqaththam dengan perbentengan yang didirikan Shalahuddin Al-Ayyubi di sudut lain, menjadi tidak menarik lagi. Yang membersit dalam benak dan kalbu hanyalah doa kiranya Allah Swt. melindungi.
Akhirnya, pesawat itu berhasil menguak mendung tebal dan mendapat lampu hijau untuk mendarat di Cairo International Airport. Begitu pesawat menjejakkan roda-rodanya di landasan dan kemudian berhenti, para penumpang pun berpelukan gembira. Ketika telah berada di dalam gedung bandara, tampak wajah mereka berseri kembali. Kejadian di angkasa yang belum lama mereka alami tinggal kenangan belaka.
Tak terasa bulan Ramadhan kini tiba kembali. Inilah bulan penuh berkah, bulan penempaan dan bulan penyadaran diri. Penempaan dan penyadaran tentang siapa kita dan untuk apa kita hidup. Bila direnungkan, bukankah betapa sering dalam hidup ini kita acap menghadapi keadaan seperti kejadian yang dialami sahabat saya dan kejadian dalam pesawat terbang tersebut. Tiba-tiba di hadapan kita muncul keadaan yang pada saat itu batas kehidupan kita di dunia tinggal selapis tipis sekali. Dalam keadaan itu, biasanya baru muncul kesadaran diri. Dan, biasanya pula, bila keadaan gawat itu berlalu, dengan segera kesadaran diri itu pun ikut tersapu.
Memang, itu manusiawi. Dengan kata lain, keadaan seperti itu acap menimpa banyak di antara kita. Karena itu, dalam Islam, proses penyadaran itu selalu ditumbuhkan lewat pengulangan ibadah. Setiap hari penyadaran itu ditumbuhkan lewat shalat lima waktu. Setiap minggu dibangkitkan melalui shalat jumat. Dan setiap tahun digelorakan lewat puasa, seperti yang sedang kita jalani.
Kini bulan Ramadhan menemui kita kembali. Kiranya hikmahnya membekas kuat pada diri kita.
Pada suatu hari, di bulan Desember, sebuah pesawat terbang Royal Air Maroc tinggal landas dari Jeddah International Airport. Dengan cepat dan gagahnya pesawat Boeing 727 itu menguak relung langit biru. Sementara bila memandang Bumi, tampak tergelar pemandangan Laut Merah yang kemerah-merahan membentang di antara dan membelah benua Asia-Afrika. Di sebelah barat Laut Merah itu tampak pelabuhan laut Yanbu‘, dan kadang muncul kilang-kilang minyak. Tampak pula jalur jalan-jalan panjang merobek padang pasir yang lengang. Sedang di sebelah timur Laut Merah itu berhamparan gurun sahara. Sejauh memandang hanya padang pasir belaka. Di dalam pesawat yang sedang menuju Kota Kairo itu para penumpang kelihatan senang dan cerita menikmati perjalanan. Apalagi, pelayanan para pramugara dan pramugi Royal Air Maroc cukup memuaskan.
Selepas beberapa lama mengangkasa, pesawat terbang dari Maroko itu telah berada di angkasa. Pemandangan yang tampak kini hanyalah langit biru, awan, dan Bumi di kejauhan. Kadang, pemandangan pekat belaka yang kelihatan, bila pesawat sedang awan tebal. Ketika pesawat itu telah melintasi memasuki wilayah Mesir dan mendekati Kota Kairo, tiba-tiba pengumuman fasten seat belt (pasang sabuk pengaman di tempat duduk) menyala. Pramugara dan pramugari pun sigap membantu para penumpang memasang sabuk pengaman.
Tiba-tiba telinga terasa tuli, perut mual sekali, dan kepala berkunang-kunang. Para penumpang yang sebelumnya tampak gembira, kini menampakkan wajah yang berbeda. Ada yang berdoa, ada yang yang terpaku diam, dan ada yang berwajah pucat pasi. Terasa sekali ketika itu Tuhan hadir di dalam pesawat terbang. Saat itu pesawat terbang terasa meluncur cepat sekali. Mungkin, pesawat itu terjerembab dalam ruang hampa udara. Belum lagi selesai meluncur, tiba-tiba pesawat terhempas keras sekali. Cuaca mendekati Kota Kairo benar-benar tak bersahabat. Musim dingin dengan badai sedang menghantui.
Hampir setengah jam lamanya pesawat terbang tersebut bermain akrobat. Bagaikan sabut di lautan diguncang prahara. Sebentar terhempas ke sana, sebentar terbanting ke sini. Pemandangan menarik Kota Kairo, dengan piramid-piramid dan sphinx menghiasi salah satu sudutnya serta Bukit Muqaththam dengan perbentengan yang didirikan Shalahuddin Al-Ayyubi di sudut lain, menjadi tidak menarik lagi. Yang membersit dalam benak dan kalbu hanyalah doa kiranya Allah Swt. melindungi.
Akhirnya, pesawat itu berhasil menguak mendung tebal dan mendapat lampu hijau untuk mendarat di Cairo International Airport. Begitu pesawat menjejakkan roda-rodanya di landasan dan kemudian berhenti, para penumpang pun berpelukan gembira. Ketika telah berada di dalam gedung bandara, tampak wajah mereka berseri kembali. Kejadian di angkasa yang belum lama mereka alami tinggal kenangan belaka.
Tak terasa bulan Ramadhan kini tiba kembali. Inilah bulan penuh berkah, bulan penempaan dan bulan penyadaran diri. Penempaan dan penyadaran tentang siapa kita dan untuk apa kita hidup. Bila direnungkan, bukankah betapa sering dalam hidup ini kita acap menghadapi keadaan seperti kejadian yang dialami sahabat saya dan kejadian dalam pesawat terbang tersebut. Tiba-tiba di hadapan kita muncul keadaan yang pada saat itu batas kehidupan kita di dunia tinggal selapis tipis sekali. Dalam keadaan itu, biasanya baru muncul kesadaran diri. Dan, biasanya pula, bila keadaan gawat itu berlalu, dengan segera kesadaran diri itu pun ikut tersapu.
Memang, itu manusiawi. Dengan kata lain, keadaan seperti itu acap menimpa banyak di antara kita. Karena itu, dalam Islam, proses penyadaran itu selalu ditumbuhkan lewat pengulangan ibadah. Setiap hari penyadaran itu ditumbuhkan lewat shalat lima waktu. Setiap minggu dibangkitkan melalui shalat jumat. Dan setiap tahun digelorakan lewat puasa, seperti yang sedang kita jalani.
Kini bulan Ramadhan menemui kita kembali. Kiranya hikmahnya membekas kuat pada diri kita.
No comments:
Post a Comment