Ilâhî lastu li-l-Firdausi ahlâ
Wa lâ aqwâ ‘ala nâri-l-jahîmi
Fahab lî taubatan waghfir dzunûbî
Fa innaka ghâfiru-l-dzanbi-l-‘azhîmi
Tuhanku, surga Firdaus memang tak layak bagiku
Tapi, api neraka Jahim pun tak tertanggungkan olehku
Karena itu, ampunilah aku dan dosa-dosaku
Sungguh, Engkaulah Mahapengampun dosa besarku
Merupakan kebiasaan saya, hampir setiap hari dan selepas shalat subuh, saya sudah berada di depan laptop yang ada di ruang kerja saya. Ritual yang demikian itu sudah berlangsung lama. Di kamar tidur utama, biasanya selepas shalat subuh, istri saya suka mendengarkan lagu-lagu nasyid. Entah kenapa, kemarin pagi, di antara lagu-lagu nasyid yang didendangkan seorang penyanyi adalah syair tersebut di atas. Mendengar bait-bait syair tersebut, segera bayang-bayang sosok Abu Nuwas pun “hinggap” di benak saya. Seperti diketahui, syair di atas adalah gubahan Abu Nuwas. Syair yang telah saya hapal sejak kecil (ketika masih di Cepu, Jawa Tengah. Setiap selepas shalat Jumat, syair tersebut senantiasa didendangkan para jamaah Masjid Jami’ Cepu) itu memang merupakan “doa dan tobat nasuha” penyair, sastrawan,dan komedian terkemuka Irak yang oleh sebagian penulis dikategorikan sebagai seorang gay yang penyair ugal-ugalan yang akhirnya bertobat. Siapakah sejatinya Abu Nuwas ini?
Penyair terkenal pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dan Al-Amin, penguasa ke-5 dan ke-6 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, ini bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Tokoh yang dalam berbagai karya acap dituturkan sebagai komedian ini lahir di Ahwaz, Khuzistan sekitar 130-145 H/747-762 M. Ayahnya adalah seorang serdadu Marwan bin Muhammad, penguasa terakhir Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah dan wafat ketika ia masih kecil. Tak aneh bila ibunya, Gullaban (= Gulban yang berarti “Bunga Mawar”), seorang perempuan berdarah Persia yang bekerja sebagai pencuci bulu domba, yang kemudian lebih berperan dalam mengarahkan Abu Nuwas kala ia masih kecil. Mereka kemudian menetap di Bashrah, Irak.
Selama di kota yang pertama kali dibangun kaum Muslim itu, selain belajar, Anu Nuwas juga bekerja pada sebuah toko parfum. Dari Bashrah ia lalu melangkahkan kakinya ke Kufah. Di sana, ia menimba ilmu kepada Walibah bin Al-Habab Al-Asadi, seorang penyair yang terkenal berperilaku buruk. Lantas, setelah kembali ke Bashrah untuk menimba ilmu kepada Khalaf Al-Ahmar, ia hidup di lingkungan kaum Badui, untuk menghaluskan bahasanya. Kala itu namanya mulai berkibar.
Selanjutnya Abu Nuwas menapakkan kaki menuju Baghdad Darussalam, untuk menimba kembali ilmu pengetahuan. Di kota “Seribu Satu Malam” itu lah penyair yang puisi-puisinya merupakan pemberontakan terhadap puisi-puisi yang berkembang kala itu mulai berhubungan dengan para penguasa Dinasti ‘Abbasiyyah. Khususnya dengan Khalifah al-Amin, dan keluarga para pejabat tinggi, terutama keluarga Al-Baramikah, sehingga ia mendapat sebutan “Penyair Istana” (Sya‘ir Al-Balath). Kemudian kala terjadi Tragedi Keluarga Al-Baramikah pada 187 H/807 M, ia mengungsi ke Mesir. Namun, kemudian ia kembali lagi ke Baghdad dan meniti kehidupan yang lebih menjauhi pesona duniawi. Karya-karya puisi penyair yang meninggal dunia di Baghdad pada 200 H/815 M ini, untuk ukuran pada masanya, merupakan perpaduan antara puisi tradisional dan modern. Karya-karyanya, antara lain, adalah Khumrayyat dan Diwan Abi Nuwas.
Pertobatan seperti yang didendangkan Abu Nuwas tersebut di atas segera mendorong saya untuk kembali merenungkan makna tobat. Tobat, seperti diketahui, sejatinya adalah sikap memohon ampun dan maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan seorang hamba kepada Allah, dengan tekad tidak mengulangi lagi kesalahan dan kekhilafan tersebut. Dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad Saw. dapat ditemukan beberapa pertanda orang yang bertobat. Intinya, antara lain, perhatian orang tersebut tercurah kepada diri sendiri untuk mengingat seberapa jauh ia telah menyimpang dari kebenaran, seberapa banyak amanah yang tidak ia tunaikan, dan seberapa besar kesalahan yang telah ia lakukan. Di samping itu waktunya habis untuk memikirkan bagaimana memperbaiki kekurangan dirinya, bagaimana menutupi keburukannya dengan amal-amal saleh, bagaimana ia memohon kepada Allah Swt., agar melapangkan dadanya sehingga ia dapat menerima kebenaran.
Pintu tobat Allah sendiri beraneka ragam. Salah satu di antaranya adalah melaksanakan ibadah haji dengan memahami simbol-simbolnya serta konsisten dalam memelihara penghayatan itu. Beristighfar dengan tulus juga merupakan salah satu cara. Demikian juga meneladani Nabi Muhammad Saw. dan mencintainya, atau membuka lembaran baru dan memaafkan orang lain, melakukan amal saleh setelah melakukan dosa juga demikian juga dapat menghapus dosa, karena Nabi Muhammad Saw. berpesan, “Susullah keburukan dengan kebajikan. Niscaya kebajikan itu menghapus keburukan tersebut.”
Dalam Islam, Yang Mengampuni dosa hanyalah Allah semata. Tidak ada yang berwenang dalam hal itu kecuali Dia. Nabi Muhammad Saw. pun tidak. Malah, beliau pernah ditegur Allah, hanya karena komentar beliau pada Perang Uhud, “Bagaimana mungkin suatu kaum dapat memperoleh keberuntungan, padahal mereka telah menjadikan wajah nabi mereka berlumuran darah?” Allah menegur beliau dengan firman-Nya, “Tidak sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka; Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zalim .” (QS Ali ‘Imran [3]: 128).
Kiranya Allah Swt. menerima tobat Abu Nuwas yang lewat syairnya di atas telah membuat banyak orang menyadari kesalahan diri mereka dan kemudian bertobat. Juga, menerima pertobatan kita. Dan, selamat menunaikan ibadah puasa, kiranya kita dapat melaksanakan ibadah tersebut sepenuh hati dan seikhlas mungkin. Juga, mohon maaf lahir dan batin.
Wa lâ aqwâ ‘ala nâri-l-jahîmi
Fahab lî taubatan waghfir dzunûbî
Fa innaka ghâfiru-l-dzanbi-l-‘azhîmi
Tuhanku, surga Firdaus memang tak layak bagiku
Tapi, api neraka Jahim pun tak tertanggungkan olehku
Karena itu, ampunilah aku dan dosa-dosaku
Sungguh, Engkaulah Mahapengampun dosa besarku
Merupakan kebiasaan saya, hampir setiap hari dan selepas shalat subuh, saya sudah berada di depan laptop yang ada di ruang kerja saya. Ritual yang demikian itu sudah berlangsung lama. Di kamar tidur utama, biasanya selepas shalat subuh, istri saya suka mendengarkan lagu-lagu nasyid. Entah kenapa, kemarin pagi, di antara lagu-lagu nasyid yang didendangkan seorang penyanyi adalah syair tersebut di atas. Mendengar bait-bait syair tersebut, segera bayang-bayang sosok Abu Nuwas pun “hinggap” di benak saya. Seperti diketahui, syair di atas adalah gubahan Abu Nuwas. Syair yang telah saya hapal sejak kecil (ketika masih di Cepu, Jawa Tengah. Setiap selepas shalat Jumat, syair tersebut senantiasa didendangkan para jamaah Masjid Jami’ Cepu) itu memang merupakan “doa dan tobat nasuha” penyair, sastrawan,dan komedian terkemuka Irak yang oleh sebagian penulis dikategorikan sebagai seorang gay yang penyair ugal-ugalan yang akhirnya bertobat. Siapakah sejatinya Abu Nuwas ini?
Penyair terkenal pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dan Al-Amin, penguasa ke-5 dan ke-6 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, ini bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Tokoh yang dalam berbagai karya acap dituturkan sebagai komedian ini lahir di Ahwaz, Khuzistan sekitar 130-145 H/747-762 M. Ayahnya adalah seorang serdadu Marwan bin Muhammad, penguasa terakhir Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah dan wafat ketika ia masih kecil. Tak aneh bila ibunya, Gullaban (= Gulban yang berarti “Bunga Mawar”), seorang perempuan berdarah Persia yang bekerja sebagai pencuci bulu domba, yang kemudian lebih berperan dalam mengarahkan Abu Nuwas kala ia masih kecil. Mereka kemudian menetap di Bashrah, Irak.
Selama di kota yang pertama kali dibangun kaum Muslim itu, selain belajar, Anu Nuwas juga bekerja pada sebuah toko parfum. Dari Bashrah ia lalu melangkahkan kakinya ke Kufah. Di sana, ia menimba ilmu kepada Walibah bin Al-Habab Al-Asadi, seorang penyair yang terkenal berperilaku buruk. Lantas, setelah kembali ke Bashrah untuk menimba ilmu kepada Khalaf Al-Ahmar, ia hidup di lingkungan kaum Badui, untuk menghaluskan bahasanya. Kala itu namanya mulai berkibar.
Selanjutnya Abu Nuwas menapakkan kaki menuju Baghdad Darussalam, untuk menimba kembali ilmu pengetahuan. Di kota “Seribu Satu Malam” itu lah penyair yang puisi-puisinya merupakan pemberontakan terhadap puisi-puisi yang berkembang kala itu mulai berhubungan dengan para penguasa Dinasti ‘Abbasiyyah. Khususnya dengan Khalifah al-Amin, dan keluarga para pejabat tinggi, terutama keluarga Al-Baramikah, sehingga ia mendapat sebutan “Penyair Istana” (Sya‘ir Al-Balath). Kemudian kala terjadi Tragedi Keluarga Al-Baramikah pada 187 H/807 M, ia mengungsi ke Mesir. Namun, kemudian ia kembali lagi ke Baghdad dan meniti kehidupan yang lebih menjauhi pesona duniawi. Karya-karya puisi penyair yang meninggal dunia di Baghdad pada 200 H/815 M ini, untuk ukuran pada masanya, merupakan perpaduan antara puisi tradisional dan modern. Karya-karyanya, antara lain, adalah Khumrayyat dan Diwan Abi Nuwas.
Pertobatan seperti yang didendangkan Abu Nuwas tersebut di atas segera mendorong saya untuk kembali merenungkan makna tobat. Tobat, seperti diketahui, sejatinya adalah sikap memohon ampun dan maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan seorang hamba kepada Allah, dengan tekad tidak mengulangi lagi kesalahan dan kekhilafan tersebut. Dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad Saw. dapat ditemukan beberapa pertanda orang yang bertobat. Intinya, antara lain, perhatian orang tersebut tercurah kepada diri sendiri untuk mengingat seberapa jauh ia telah menyimpang dari kebenaran, seberapa banyak amanah yang tidak ia tunaikan, dan seberapa besar kesalahan yang telah ia lakukan. Di samping itu waktunya habis untuk memikirkan bagaimana memperbaiki kekurangan dirinya, bagaimana menutupi keburukannya dengan amal-amal saleh, bagaimana ia memohon kepada Allah Swt., agar melapangkan dadanya sehingga ia dapat menerima kebenaran.
Pintu tobat Allah sendiri beraneka ragam. Salah satu di antaranya adalah melaksanakan ibadah haji dengan memahami simbol-simbolnya serta konsisten dalam memelihara penghayatan itu. Beristighfar dengan tulus juga merupakan salah satu cara. Demikian juga meneladani Nabi Muhammad Saw. dan mencintainya, atau membuka lembaran baru dan memaafkan orang lain, melakukan amal saleh setelah melakukan dosa juga demikian juga dapat menghapus dosa, karena Nabi Muhammad Saw. berpesan, “Susullah keburukan dengan kebajikan. Niscaya kebajikan itu menghapus keburukan tersebut.”
Dalam Islam, Yang Mengampuni dosa hanyalah Allah semata. Tidak ada yang berwenang dalam hal itu kecuali Dia. Nabi Muhammad Saw. pun tidak. Malah, beliau pernah ditegur Allah, hanya karena komentar beliau pada Perang Uhud, “Bagaimana mungkin suatu kaum dapat memperoleh keberuntungan, padahal mereka telah menjadikan wajah nabi mereka berlumuran darah?” Allah menegur beliau dengan firman-Nya, “Tidak sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka; Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zalim .” (QS Ali ‘Imran [3]: 128).
Kiranya Allah Swt. menerima tobat Abu Nuwas yang lewat syairnya di atas telah membuat banyak orang menyadari kesalahan diri mereka dan kemudian bertobat. Juga, menerima pertobatan kita. Dan, selamat menunaikan ibadah puasa, kiranya kita dapat melaksanakan ibadah tersebut sepenuh hati dan seikhlas mungkin. Juga, mohon maaf lahir dan batin.
No comments:
Post a Comment