Tuesday, September 25, 2007

Sebuah Buku Lagi untuk Anda: Wangi Akhlak Nabi

Malcolm X, tentu Anda mengenalnya. Tokoh yang satu ini, seperti diketahui, adalah seorang tokoh Muslim Amerika Serikat (AS) yang namanya masih acap dikenang banyak orang hingga dewasa ini. Betapa perjalanan hidup tokoh yang satu ini, seperti halnya ditulis dan disunting oleh Alex Haley dengan sangat memikat dalam karyanya, The Authobiography of Malcolm X, sarat dengan pengalaman, pergolakan, dan perenungan. Seperti diketahui pula, tokoh yang berkulit hitam itu lahir di Omaha, Nebraska, pada Senin, 15 Syawwal 1342 Hijriah/19 Mei 1924 M dari pasangan Pendeta Earl Little dan Louise Little, dengan nama Malcolm Little. Pasangan suami-istri itu sendiri mempunyai enam anak: Wilfred, Hilda, Philbert, Malcolm, Yvonne, dan Reginald. Sebelum menikah dengan Louise, Earl Little yang berasal dari Reynold, Georgia telah mempunyai tiga anak dari istri pertamanya: Ella, Earl, dan Mary. Karena mendukung gerakan Marcus Garvey, yang menyerukan semua orang hitam Amerika agar kembali ke Afrika, keluarga Earl Little pun diteror oleh kelompok Ku Klux Klan. Untuk menghindari teror itu, mereka pun pindah ke Lansing, Michigan. Tapi, hal itu tidak banyak manfaatnya. Kepala keluarga itu akhirnya tewas oleh kelompok rasis kulit putih.

Malcolm sendiri meniti dunia pendidikan hingga kelas delapan, dengan hidup menumpang di sejumlah keluarga. Namun, ketika seorang guru menghalangi cita-citanya untuk menjadi seorang pengacara, ia pun keluar sekolah dan pergi menemui saudara perempuan tirinya, Ella, yang menetap di Boston. Di kota itu ia bekerja sebagai tukang sepatu. Namun, segera ia terjerembab dalam kelompok pengedar narkotika dengan nama panggilan Detroit Red. Akibatnya, pada Rabi‘ Al-Awwal 1365 H/Februari 1946 M, ia dijebloskan ke dalam bui dan dijatuhi hukuman selama tujuh tahun.

Selama meniti hidup di bui Colony di Norfolk, Massachusetts, Malcolm atas anjuran dua saudaranya, Philbert dan Reginald, menjadi pengikut Elijah Muhammad dengan gerakan Nation of Islamnya. Maka, ia pun mengimbuhi nama dengan “X”, yang menurutnya merupakan simbol: “Ex-smoker, Ex-drinker, Ex-Christian, Ex-slave”. Sehingga, namanya berubah menjadi Malcolm X. Selepas dari penjara, ia menjadi pengikut yang aktif gerakan itu. Namanya pun segera berkibar. Pada Rajab 1377 H/Januari 1958 M, ia menikah dengan Betty X, yang juga seorang pengikut gerakan itu. Lantas, pada 1384 H/1964 M, ia menunaikan ibadah haji. Betapa indah pengalaman yang ialaminya dalam langkah-langkahnya menuju ke Tanah Suci itu. Marilah sejenak kita ikuti penggalan kisah naik haji Malcolm X seperti diungkapkan dalam karya tersebut di atas sebagai berikut:

“.... Dari lantai tempat aku berada, ketika matahari telah terbit, aku dapat memandang ke seluruh kawasan bandara. Sebentar-sebentar pesawat terbang mendarat dan tinggal landas. Ribuan jamaah dari pelbagai belahan dunia membentuk pola gerakan yang indah. Aku melihat jamaah yang pergi ke Makkah, naik bus, truk, atau kendaraan lainnya. Tiba-tiba tumbuh perasaan khawatir, bagaimanakah bila aku ditolak sebagai jamaah haji?

Seharian, aku bolak-balik dari dan keluar ruanganku. Selepas melaksanakan shalat magrib barulah aku merebahkan diriku, dengan perasaan galau dan sendirian. Tiba-tiba dalam benakku muncul sebuah pikiran. Ketika aku berjalan-jalan di seputar tempat penginapanku, aku melihat empat petugas sedang duduk di seputar meja dengan sebuah telpon di atasnya. Teringat telpon, pikiranku pun melayang ke nomor telpon Dr. Omar Azzam yang diberikan Dr. Mahmud Yusuf Shawarbi kepadaku. Bukankah ia tinggal di kota ini?

Dalam beberapa menit saja aku telah berada di lantai bawah dan mencari tempat para petugas tadi. Salah seorang di antara mereka ternyata lancar berbahasa Inggris. Aku pun mengeluarkan surat Dr. Shawarbi. Usai membaca surat itu, ia pun berseru kepada teman-temannya, “Muslim Amerika!” Aku pun memintanya menghubungi Dr. Omar Azzam. Dengan senang hati ia pun menelpon Dr. Omar Azzam. Alhamdulillah ia sedang berada di tempat. Dan, tidak berapa lama kemudian, Dr. Omar Azzam muncul. “Mengapa tidak menelpon saya sebelumnya?” tanyanya ramah sambil menjabat hangat tanganku. Dia kemudian meminjam telpon dan berbicara dengan petugas di bandara, “Datang cepat ke sini,” ucapnya. Sekitar setengah jam kemudian ia telah membebaskanku, barang bawaanku, dan pasporku.

Dengan naik mobilnya, Dr. Omar Azzam membawaku menuju Kota Jeddah. Di tengah perjalanan aku tidak banyak bicara. Pagi telah menampilkan senyumnya ketika kami tiba di rumahnya. Ayahnya, saudara ayahnya, seorang ilmuwan lain, dan seorang temannya lagi menyambutku. Mereka memelukku bagaikan seorang anak yang lama hilang. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Tapi, mereka begitu baik terhadap diriku.

Dr. Abdurrahman Azzam, bila sedang berada di negerinya, tinggal di sebuah suite Jeddah Palace Hotel. Tapi kini, dengan kedatanganku, ia tinggal di rumah putranya dan mempersilakan aku tinggal di suitenya hingga aku berangkat ke Makkah. Sejatinya aku menolak untuk merepotkannya. Tapi, sia-sia belaka. Karena itu, begitu aku memasuki suite yang terdiri dari tiga kamar itu dan meninggalkanku sendirian, aku pun bersujud syukur: tak pernah dalam hidupku sebagai seorang kulit hitam AS menerima layanan istimewa apa pun. Naluriku segera mencoba menguak apa alasan dan motif tindakan seseorang terhadap orang lain yang semestinya bisa saja tak perlu dilakukannya. Sebelumnya, selama hidupku, aku memandang tindakan semacam itu, bila dilakukan oleh orang kulit putih, memiliki motif pribadi. Tapi, pagi itu, seorang berkulit putih-setidaknya di AS ia akan dipandang sebagai orang yang ber”kulit putih”-yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan penguasa negeri ini, malah juga sebagai penasihatnya, menyerahkan suitenya kepadaku untuk menyenangkan diriku. Padahal, ia tak meraih keuntungan apa pun. Dia juga tidak memerlukan aku. Dia memiliki segalanya. Malah, ia lebih banyak kehilangan daripada meraih keuntungan dengan tindakannya itu. Dia juga mengikuti pemberitaan media massa tentang diriku. Jelas, ia mengetahui tentang diriku yang “rasis” dan “anti orang kulit putih”. Jelas pula ia mengetahui aku tak punya uang, dan malah untuk pergi ke negerinya aku terpaksa pinjam uang dari Ella.

Di pagi hari itulah aku kembali menghormati “orang kulit putih”. Di pagi hari itulah mulai terjadi perubahan mendasar dalam pandanganku tentang orang “kulit putih”. Aku bersujud syukur kepada Allah atas karunia ini. Aku juga tidak lupa mendoakan istriku dan anak-anakku di AS. Selama beberapa jam kemudian aku tidur pulas, hingga suara telpon berdering membangunkan aku. Dr. Omar Azzam menelponku. Dia memberitahuku, ia akan menjemputku untuk menikmati makan malam di rumahnya. Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih saja. Dalam jamuan malam di rumah Dr. Omar Azzam aku menjadi tahu, persoalanku telah dibahas oleh Mahkamah Komisi Haji. Esok hari aku harus datang di sana. Keesokan harinya aku pun datang ke sana. Pagi itu persidangan dipimpin oleh Syeikh Muhammad Harkon (mungkin maksudnya Syeikh Muhammad ‘Ali Al-Harakan, mantan Sekretaris Jenderal Rabithah Al-‘Alam Al-Islami-penulis). Segera ia memutuskan, aku benar-benar seorang Muslim. Seusai dari persidangan itu aku kemudian balik ke Jeddah Palace Hotel, untuk menikmati makan siang di sana. Lalu tidur lagi selama beberapa jam sampai dering telpon membangunkanku. Muhammad Abdul Aziz, Deputi Kepala Protokol Raja Faisal memberitaku, “Sebuah mobil khusus akan menjemput dan membawa Anda ke Makkah, tepat selepas Anda usai makan malam.”

Dalam perjalanan menuju Makkah aku ditemani dua anak muda, dengan pengawalan pasukan khusus. Tiba di Makkah, mobil yang kami naiki diparkir di depan Masjid Al-Haram. Ketika berada di Rumah Allah itu, untuk melakukan tawaf dan sai, sulit aku kemukakan bagaimana perasaanku kala itu. Semalaman, dalam waktu yang terpisah, aku mengunjungi Rumah Allah tiga kali.

Hari berikutnya kami berangkat menuju Arafah untuk melakukan wukuf. Dari sana kemudian menuju Mina, untuk melempar jumrah. Ihram pun usai. Sebagian jamaah mencukur rambut dan janggut mereka. Aku sendiri memutuskan untuk membiarkan janggutku. Aku tidak tahu, bagaimana komentar istri dan anak-anakku bila mereka melihat janggutku nanti jika aku kembali ke New York...”

Demikianlah kisah perjalanan Malcolm X menuju Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah. Betapa indah kisah perjalanan naik haji Malcolm X tersebut. Sebuah perjalanan ibadah yang benar-benar mampu mengubah pandangan Malcolm X yang semula menolak integrasi kaum kulit hitam Amerika dengan masyarakat lainnya dan menjadi berpandangan bahwa kaum kulit hitam dan kulit putih dapat hidup dalam suasana persaudaraan. Manusia, menurut pandangannya selepas naik haji tersebut, tak pernah meminta agar dilahirkan sebagai kulit hitam, kulit putih, atau pun kulit berwarna. Kelahiran adalah takdir Allah atas manusia. Karena itu, manusia tidak mungkin dipilah berdasarkan ras dan warna kulit, karena asal manusia satu: Adam. Masing-masing manusia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. “Itulah semangat persaudaraan Islam,” ucapnya selepas merenungkan perjalanannya ke Tanah Suci tersebut.

Selepas menunaikan ibadah haji itu sendiri, Malcolm X mengubah namanya menjadi El-Hajj Malik El-Shabazz. Dan, perjalanan hidup di dunia pendiri organisasi Afro-American Unity ini usai pada Ahad, 19 Syawwal 1377 H/21 Februari 1965 M, pukul 3 sore, karena tewas ditembak, ketika sedang berpidato di Audobon Ballroom, Harlem yang terletak di antara Broadway dan St. Nicholas Avenue di Kota New York.

Ya, itulah penggalan dari prakata buku Wangi Akhlak Rasul yang diterbitkan oleh Penerbit Mizania, Bandung. Selamat menikmati!

No comments: