Tahun ini, entah kenapa Allah Swt. memberi kesempatan saya acap melakukan perjalanan ke pelbagai negara dan kota. Kadang, perjalanan itu telah saya rencanakan jauh hari. Tapi, kadang tiba-tiba saja saya diberi kesempatan Allah bertolak ke suatu negara atau kota. Nah, pada Sabtu, 15 September 2007 yang lalu, saya tiba-tiba hanya dalam sehari berada di Kota Surabaya. Pagi hari tiba di Kota Buaya itu dan sore harinya balik lagi ke Bandung. Perjalanan yang sangat pendek bagi saya: karena di Surabaya sejatinya saya memiliki banyak saudara dan sahabat. Sehingga hari itu saya tidak sempat bersilaturahmi ke banyak tempat.
Sore hari itu, ketika dalam perjalanan menuju Bandara Juanda, yang kini tampil cantik dan berkilau, untuk balik ke Jakarta dan kemudian menuju Bandung, dengan diantar sebuah keluarga muda yang perwira marinir, dan ketika melewati sebuah rumah sakit islam di Wonokromo, entah kenapa tiba-tiba saya teringat seorang senior saya ketika saya masih menjadi mahasiswa di Kairo pada tahun-tahun 1980-an. Senior saya tersebut, seorang pemegang gelar PhD di bidang tasawuf dari Universitas Al-Azhar, Mesir, adalah putra seorang kiai besar dan menantu seorang kiai besar yang rumahnya di belakang rumah sakit tersebut. Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang sastrawan yang salah satu karyanya berjudul Arafah. Ketika masih menjadi mahasiswa di Kairo, saya sering mampir ke flat senior saya tersebut yang terletak di Distrik Garden City, tidak jauh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo yang terletak di Aisha Taimouriyya St.
Tentang senior saya yang berwajah menyejukkan hati dan berakhlak indah ini, ada suatu hal yang sangat menyentuh hati saya: yaitu hubungan dirinya dengan ayahandanya yang seorang kiai terkemuka asal Pulau Madura. Kala itu, perjalanan panjang kehidupan telah dilintasi sang ayahanda: dari hanya sebagai seorang kiai di Pulau Madura hingga menjadi seorang direktur jenderal di sebuah departemen. Namun, jabatan tinggi yang akhirnya dijabatnya itu tidak mengubah kekiaiannya. Kesederhanaan, keramahan, kelapangdadaan, dan keteguhan sikap tetap memancar dari pribadinya. Bila Ramadhan tiba, di tengah kesibukannya, ada suatu pertanyaan yang senantiasa mengusik benaknya, “Masihkah hafalan Al-Quran anakku terpelihara baik? Bukankah bila lupa hafalannya, aku yang pertama bertanggungjawab di hadapan Sang Pemilik Kitab itu?”
Ya, karena kecintaannya pada Al-Quran, sejak kecil sang putra ia arahkan untuk menghafalnya. Akhirnya, seluruh ayat-ayat kitab suci itu berhasil dihafal sang putra. Malah, karena merasa bertanggungjawab atas hafalan sang putra, pendidikan sang putra ia alihkan haluannya. Selepas sang putra merampungkan pendidikannya di sekolah menengah umum, sang putra ia perintahkan untuk berangkat ke sebuah negeri yang jauh. Ke mana lagi kalau bukan untuk belajar di sebuah universitas yang menjadikan hafalan Al-Quran sebagai kewajiban. Benar, akhirnya sang putra memasuki universitas yang usianya lebih dari seribu tahun di Negeri Piramid itu.
Ketika sang putra telah berada jauh di negeri orang, dan bila bulan Ramadhan tiba, pertanyaan yang mengusik benaknya itu senantiasa muncul. Malah, ketika sang putra telah menjadi “orang” dan sastrawan di negeri ini, pertanyaan itu tetap mengusik benaknya. Maka bila bulan Ramadhan tiba, beberapa tahun sekali, ia sempatkan untuk mengunjungi sang putra di Kairo itu. Ribuan kilometer ia tempuh walau tubuh telah rapuh. Ia melakukannya hanya dengan satu tujuan utama, yakni untuk mengetahui “hafalan Al-Quran sang putra”. Bukan untuk menikmati pendar Kota Kairo di malam hari. Walau flat sang putra terletak hanya beberapa ratus meter dari pusat keindahan itu. Bukan pula untuk menikmati keindahan gedung-gedung di kitar flat sang putra yang terletak di kawasan elit kota itu: Garden City. Bukan, kewajibannya dan tanggung jawab atas terpeliharanya hafalan Al-Quran putranya melebihi semua itu.
Selama kunjungannya yang singkat di kota yang didirikan Jauhar Al-Shiqilli pada 972 M itu, sebagian besar waktunya ia gunakan untuk menyimak hafalan Al-Quran sang putra. Bila perlu, tegoran ia lontarkan. Sang putra, walau telah menjadi “orang”, dengan patuh memenuhi keinginan sang ayahanda. Setiap kali sang ayahanda mengunjunginya, dengan penuh hormat ia duduk bersimpuh di depan ayahandanya: menghafal Al-Quran dari awal hingga akhir surah Al-Quran. Baginya, betapa nikmat dan indahnya saat-saat yang demikian. Apalagi saat mendapat teguran sang ayahanda. Ia merasa, kedatangan ayahandanya jauh-jauh dari tanah air demi niat yang ikhlas dan tak ternilai: “perasaan tanggung jawab atas kemurnian dan keterpeliharaan Al-Quran”.
Tak terasa kini lebih dari 1400 tahun telah berlalu sejak Al-Quran pertama kali diturunkan. Walau perjalanan panjang telah dilintasi Al-Quran di Bumi ini, namun keasliannya tetap terpelihara dan murni. Lepas dari janji Allah yang akan memelihara kitab-Nya, ada pelbagai faktor yang membuat Al-Quran tetap terpelihara kemurniannya. Salah satu faktor itu adalah peran para penghafal Al-Quran (huffazh). Peran mereka tidak kecil dalam memelihara kemurnian dan keterpeliharaan Al-Quran.
Seperti diketahui, untuk menjadi seorang penghafal Al-Quran tidak mudah dan ringan. Ada pelbagai syarat yang harus dipenuhi. Kesiapan mental dan moral salah satu di antaranya. Selain itu, juga kesabaran dan keajegan dalam menghafal. Yang paling penting adalah tanggung jawab dalam menjaga hafalan. Tampaknya ini ringan, tapi kenyataannya tidak demikian. Rasa tanggung jawab ini pulalah yang mendorong kiai kita menempuh jarak ribuan kilometer walau tubuh telah rapuh.
Kini, bulan Ramadhan, bulan Al-Quran, datang kembali. Namun, kiai kita sudah tidak lagi akan mengecek hafalan Al-Quran sang putra lagi. Ia telah kembali kepada Sang Pemilik Al-Quran. Tapi, barangkali, semangatnya dalam memelihara Al-Quran bisa menjadi teladan. Di bulan suci ini, akankah kita meneliti kembali hafalan Al-Quran kita?
Sore hari itu, ketika dalam perjalanan menuju Bandara Juanda, yang kini tampil cantik dan berkilau, untuk balik ke Jakarta dan kemudian menuju Bandung, dengan diantar sebuah keluarga muda yang perwira marinir, dan ketika melewati sebuah rumah sakit islam di Wonokromo, entah kenapa tiba-tiba saya teringat seorang senior saya ketika saya masih menjadi mahasiswa di Kairo pada tahun-tahun 1980-an. Senior saya tersebut, seorang pemegang gelar PhD di bidang tasawuf dari Universitas Al-Azhar, Mesir, adalah putra seorang kiai besar dan menantu seorang kiai besar yang rumahnya di belakang rumah sakit tersebut. Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang sastrawan yang salah satu karyanya berjudul Arafah. Ketika masih menjadi mahasiswa di Kairo, saya sering mampir ke flat senior saya tersebut yang terletak di Distrik Garden City, tidak jauh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo yang terletak di Aisha Taimouriyya St.
Tentang senior saya yang berwajah menyejukkan hati dan berakhlak indah ini, ada suatu hal yang sangat menyentuh hati saya: yaitu hubungan dirinya dengan ayahandanya yang seorang kiai terkemuka asal Pulau Madura. Kala itu, perjalanan panjang kehidupan telah dilintasi sang ayahanda: dari hanya sebagai seorang kiai di Pulau Madura hingga menjadi seorang direktur jenderal di sebuah departemen. Namun, jabatan tinggi yang akhirnya dijabatnya itu tidak mengubah kekiaiannya. Kesederhanaan, keramahan, kelapangdadaan, dan keteguhan sikap tetap memancar dari pribadinya. Bila Ramadhan tiba, di tengah kesibukannya, ada suatu pertanyaan yang senantiasa mengusik benaknya, “Masihkah hafalan Al-Quran anakku terpelihara baik? Bukankah bila lupa hafalannya, aku yang pertama bertanggungjawab di hadapan Sang Pemilik Kitab itu?”
Ya, karena kecintaannya pada Al-Quran, sejak kecil sang putra ia arahkan untuk menghafalnya. Akhirnya, seluruh ayat-ayat kitab suci itu berhasil dihafal sang putra. Malah, karena merasa bertanggungjawab atas hafalan sang putra, pendidikan sang putra ia alihkan haluannya. Selepas sang putra merampungkan pendidikannya di sekolah menengah umum, sang putra ia perintahkan untuk berangkat ke sebuah negeri yang jauh. Ke mana lagi kalau bukan untuk belajar di sebuah universitas yang menjadikan hafalan Al-Quran sebagai kewajiban. Benar, akhirnya sang putra memasuki universitas yang usianya lebih dari seribu tahun di Negeri Piramid itu.
Ketika sang putra telah berada jauh di negeri orang, dan bila bulan Ramadhan tiba, pertanyaan yang mengusik benaknya itu senantiasa muncul. Malah, ketika sang putra telah menjadi “orang” dan sastrawan di negeri ini, pertanyaan itu tetap mengusik benaknya. Maka bila bulan Ramadhan tiba, beberapa tahun sekali, ia sempatkan untuk mengunjungi sang putra di Kairo itu. Ribuan kilometer ia tempuh walau tubuh telah rapuh. Ia melakukannya hanya dengan satu tujuan utama, yakni untuk mengetahui “hafalan Al-Quran sang putra”. Bukan untuk menikmati pendar Kota Kairo di malam hari. Walau flat sang putra terletak hanya beberapa ratus meter dari pusat keindahan itu. Bukan pula untuk menikmati keindahan gedung-gedung di kitar flat sang putra yang terletak di kawasan elit kota itu: Garden City. Bukan, kewajibannya dan tanggung jawab atas terpeliharanya hafalan Al-Quran putranya melebihi semua itu.
Selama kunjungannya yang singkat di kota yang didirikan Jauhar Al-Shiqilli pada 972 M itu, sebagian besar waktunya ia gunakan untuk menyimak hafalan Al-Quran sang putra. Bila perlu, tegoran ia lontarkan. Sang putra, walau telah menjadi “orang”, dengan patuh memenuhi keinginan sang ayahanda. Setiap kali sang ayahanda mengunjunginya, dengan penuh hormat ia duduk bersimpuh di depan ayahandanya: menghafal Al-Quran dari awal hingga akhir surah Al-Quran. Baginya, betapa nikmat dan indahnya saat-saat yang demikian. Apalagi saat mendapat teguran sang ayahanda. Ia merasa, kedatangan ayahandanya jauh-jauh dari tanah air demi niat yang ikhlas dan tak ternilai: “perasaan tanggung jawab atas kemurnian dan keterpeliharaan Al-Quran”.
Tak terasa kini lebih dari 1400 tahun telah berlalu sejak Al-Quran pertama kali diturunkan. Walau perjalanan panjang telah dilintasi Al-Quran di Bumi ini, namun keasliannya tetap terpelihara dan murni. Lepas dari janji Allah yang akan memelihara kitab-Nya, ada pelbagai faktor yang membuat Al-Quran tetap terpelihara kemurniannya. Salah satu faktor itu adalah peran para penghafal Al-Quran (huffazh). Peran mereka tidak kecil dalam memelihara kemurnian dan keterpeliharaan Al-Quran.
Seperti diketahui, untuk menjadi seorang penghafal Al-Quran tidak mudah dan ringan. Ada pelbagai syarat yang harus dipenuhi. Kesiapan mental dan moral salah satu di antaranya. Selain itu, juga kesabaran dan keajegan dalam menghafal. Yang paling penting adalah tanggung jawab dalam menjaga hafalan. Tampaknya ini ringan, tapi kenyataannya tidak demikian. Rasa tanggung jawab ini pulalah yang mendorong kiai kita menempuh jarak ribuan kilometer walau tubuh telah rapuh.
Kini, bulan Ramadhan, bulan Al-Quran, datang kembali. Namun, kiai kita sudah tidak lagi akan mengecek hafalan Al-Quran sang putra lagi. Ia telah kembali kepada Sang Pemilik Al-Quran. Tapi, barangkali, semangatnya dalam memelihara Al-Quran bisa menjadi teladan. Di bulan suci ini, akankah kita meneliti kembali hafalan Al-Quran kita?
1 comment:
Assalam Alaikum,
Masya Allah,,, betapa merindukan aku bisa juga menghafal ayat Alquran,, betapa rindu aku agar Allah segera mengkaruniai aku keutamaaNya menjadikanku hamba yang Sholih kekasihNya,, betapa berbagai maksiat dan hijab dariNya yang ternyata aku pilih,,, ya Allah,, terimakasih engkau beri kesempatan hamba dahulu bisa belajar sekedar membaca Alqur`an, yg terkadang samar-samar engkau pahamkan aku akan bacaan yg engkau izinkan keluar dari mulut pendusta dan mata pezina yang masih bisa basah berderai kala kau ingatkan dalam bacaanMu,,, aku ridlo ya Allah kujalani jalan terhijab ini,,, hatiku merindukanMu,,, duhai yang dipelupuk mataku,,, berat nian hati ini bersegera,,, astaghfirullah,,, terimakasih kepada penulis blok ini, sudi kiranya bersilaturahmi dengan aku,, salaam alaikum
Muhammad Muslih
moeslov@gmail.com
Post a Comment