Saturday, September 21, 2013

MANNEKEN PIS PUN PERNAH MEMAKAI BLANGKON DAN SURJAN:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (9)

Waduh, ini sih “rapat gelap” ketiga namanya! Belum sehari semalam di Kota Brussels harus menghadapi tiga “rapat gelap”, hehehe.”

Itulah gumam pelan bibir saya ketika tiba di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brussels dan kemudian menghadiri jamuan makan siang bersama Pak Dubes Brussels di sebuah restoran yang terletak di Boulevard de la Woluwe.  Ternyata, lokasi restoran maupun gedung KBRI Brussels hanyalah sekitar sepuluh menit dari rumah Mas Andi Yudha Asfandiyar dan terletak di kampung yang sama.

Lantas, setelah duduk di kursi yang disediakan, dan melihat hadirin dan hadirat yang ada di situ, saya sudah memperkirakan, “rapat gelap” itu akan berlangsung lama. Namun, segera saya menyadari, pertemuan siang itu sangat penting dan positif, meski hasilnya mungkin baru dapat “dipanen” beberapa tahun kemudian. Lagi pula, selepas “mengintai” dan “mencermati” satu demi satu di antara hadirin dan hadirat yang ada di situ saat itu, juga isi perbincangan mereka, hati saya pun menjadi tenang: tidak jadi ‘kluyuran’ di seputar Kota Brussels pun tidak apa. Mereka semua  adalah orang-orang yang sedang berpikir keras, secara positif, demi negeri tercinta yang berada nun jauh di selatan. Mereka adalah orang-orang yang mencintai Indonesia tanpa mengharapkan imbalan apa pun dari negeri yang sedang mereka pikirkan nasib dan masa depannya. “Mungkin, para anggota dewan terhormat di Senayan pun tidak pernah berpikir sejauh yang sedang dipikirkan hadirin dan hadirat ini. Pernahkah para anggota dewan itu memikirkan, bagaimana cara menembus lebih jauh HTCE dan mendekati industri-industri canggih tingkat dunia, untuk kepentingan Indonesia, seperti yang sedang dipikirkan hadirin dan hadirat ini?” demikian protes hati saya saat itu.

Kemudian, ketika kian tahu tentang latar pendidikan hadirin dan hadirat saat itu, hati saya pun merasa “plong”. Dapat dikatakan, mereka semua berlatar pendidikan bagus dan memiliki “track record” bagus pula. Mereka semua berpendidikan pascasarjana, dengan latar belakang beragam: Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, TSM School, Belanda, Universitas Padjadjaran, Bandung, Universitas Toulouse, Perancis, dan Universitas Harvard, Amerika Serikat, di samping memiliki pengalaman kerja yang cukup bagus. Mereka berpandangan, “kini saatnya anak-anak Indonesia tampil di pelbagai industri canggih tingkat dunia. Betapa kerap kami, sebelum ini, dipandang sebelah mata. Namun, ternyata, kami dapat membuktikan, kami pun dapat menangani dan mengelola industri-industri canggih itu. Kini saatnya kami buktikan, anak-anak Indonesia pun mampu menangani industri-industri canggih. Di bidang apa pun.”

Setelah sekitar dua jam menikmati pelbagai hidangan, saya lihat Mas Andi Yudha Asfandiyar pamitan. Dia akan memimpin suatu kegiatan yang melibatkan anak-anak Indonesia di Kota Brussels. Dan, akhirnya, Pak Dubes pun menutup acara makan siang hari itu. Waktu, saat itu, telah menunjuk sekitar pukul 15.30. Kami pun segera pamitan kepada tuan rumah yang telah mengundang kami untuk menikmati makan siang. Meski hanya sebentar, dan sebelum kembali ke Eindhoven, dan kemudian balik ke Amsterdam, kami ingin menengok Grand-Place/Grote Markt dan Manneken Pis serta Menara Atomium.

Segera, dengan naik dua mobil, kami bertujuh bergerak menuju ke “jantung” Kota Brussels, Grand-Place de Bruxelles (dalam bahasa Perancis) atau Grote Markt  van Brussel (dalam bahasa Belanda), pusat Kota Brussels yang telah berusia lebih dari seribu tahun lebih. Kali ini, yang menjadi tour leader adalah sahabat kami yang seorang direktur perusahaan engineering di Brussels. Penunjuk jalan kami ini adalah seorang doktor di bidang penerbangan yang “warga” Brussels, Dr.Ing. Aji Purwanto. Dan, setelah menembus pelbagai jalan Kota Brussels, akhirnya kami tiba di jantung Kota Brussels.  Setelah Mas Aji Purwanto dan Mas Latif Gau memarkir mobil yang kami naiki, kami kemudian bergegas menuju “Alun-Alun” (kira-kira pas gak ya disebut demikian) Kota Brussels. “Alun-Alun” berbentuk persegi itu dikitari gedung-gedung indah yang bergaya gotik. Waktu yang terbatas membuat kami tidak lama di tempat itu.

Mas Aji Purwanto kemudian mengajak kami menyusuri Rue de l’Etuve. Setelah melintas perempatan Lombardstraat, akhirnya ketika tiba di perempatan berikut, di pojokan sebelah kiri kami ada sejumlah orang bule sedang mengitari pojokan itu. Ternyata, di situ terdapat sebuah patung berukuran kecil. Itulah Manneken Pis yang kondang di seantero dunia. Saya sendiri tidak habis pikir, kenapa patung anak kecil itu begitu terkenal. Ketika kami datang, patung yang dirancang Jerome Duquesnoy itu sedang mengenakan seragam tentara. Saya tidak tahu, seragam tentara mana yang dikenakannya saat itu. Kami kemudian berdiri di samping pagar yang membatasi sudut tempat si Manneken Pis berada.

Tidak lama kemudian, seorang laki-laki dengan mambawa tangga mendekati Manneken Pis. Segera, orang itu melukar seragam tentara yang dikenakan si Manneken Pis dan membuatnya telanjang. Alias tanpa baju apa pun, hehehe. Melihat hal itu, Mas Aji Purwanto berucap, “Manneken Pis ini juga pernah lo pakai blangkon dan surjan.”
“Yang bener saja?” kata Ibu Latifah (istri Mas Toyibi).
Bener kok, Mbak,” sahut saya. “Mbak gak melihat foto si Manneken Pis yang dipasang di ruang tamu Mas Andi? Di foto itu, patung itu memakai blangkon dan surjan lo.”

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar bunyi, “cur, cur,cur”, eh baju saya dan Dik Harca pun basah. Ternyata, setelah si Manneken Pis yang telanjang pipis kencang dan pipisnya membasahi baju saya dan Dik Harca. “Sialan, itu mesti ulah bapak yang mengganti bajunya tadi,” gerutu Dik Harca. Ketika saya melihat si bapak itu, orang itu hanya senyum-senyum saja. Tampaknya, orang itu mencandai kami. Untung saja, pipis si Manneken Pis bukan pipis beneran, tapi air biasa, hehehe.  

Setelah puas “berkenalan” dengan Manneken Pis yang telanjang dan kedinginan, hehehe, kami kemudian “digiring” (kaya bebek saja, hehehe) menuju Galeries Royales St. Hubert. Itulah pusat pertokoan paling bergengsi di Belgia. Di situ, beberapa orang di antara kami membeli cokelat di Toko “Pierre Marcolini Haute Chocolaterie”. Saya dan istri, yang tidak tertarik dengan cokelat, kemudian berfoto saja. Itu saja.

Usai dari Galeries Royales St. Hubert, kami kemudian diajak menuju Menara Atomium, sebuah ikon Kota Brussels yang dirancang André Waterkeyn. Menara yang terletak di pinggir Kota Brussels itu, di kawasan Heysel Park, terdiri dari sembilan bola baja raksasa (berdiameter 18 meter) yang membentuk struktur inti sebuah kristal. Sembilan bola raksasa itu tegak dengan bertumpu pada satu bola utama yang dilengkapi tiga tiang penunjang. Menakjubkan, meski menara itu dibikin untuk menyambut Expo 1958.

Di dekat Menara Atomium itulah kami kemudian berpisah dengan Dr. Ing. Aji Purwanto. Kami berenam kemudian melanjutkan perjalanan menuju Eindhoven, Belanda. Dan, setiba di Eindhoven, betapa terasa nikmatnya ketika berada di rumah Mas Latif Gau, ketika kami mendapatkan hidangan soto kudus dan kolak yang disiapkan istri Mas Latif Gau, Mbak Lili. Matur suwun sanget, Mbak. Lantas, setelah shalat, kemudian kami segera menuju Stasiun Eindhoven Centraal. Di stasiun itulah kami berpisah dengan Dik Harca dan Mas Latif.

Kemudian, setiba di Stasiun Amsterdam Centraal pukul 22.30, saya dan istri pun berpisah dengan Mas Toyibi dan istri yang melanjutkan perjalanan menuju Schiphol International Airport. Dan, hari berikut, Kamis 5 September 2013, saya dan istri kembali ke Negeri Tercinta. Entah kenapa, ketika saya menapakkan kedua kaki ke dalam perut pesawat terbang KLM, yang kemudian membawa kami menuju Jakarta dengan masa tempuh 14 jam, sebuah lagu merdu yang dinyanyikan Said Efendi, Nun Jauh di Sana, terngiang-ngiang di telinga saya:

Nun jauh di sana            
Di lembah Tanah Airku
Melambai bunga sekuntum
Berseri mewangi menghiasi ibu

Nun jauh di sana
Di lembah tanah nan hijau
Tersenyum bunga pujaan
Membisiki hatiku mengapa di rantau

Air mataku titik berlinang
Dusunku terkenang-kenang
Hasratku ingin segera kembali pulang
Ke pangkuan ibundaku sayang

Terasa betapa kurindu
Akan bunga nan indah ayu
Hasratku ingin segera menjelma kupu
Terbang malam menjelang kasihku.


THE END

No comments: