SEPENGGAL CERITA CAK SHON
Tadi malam, ketika malam kian beringsut pelan, dan suasana
di rumah tiada lagi diwarnai keriuhan suara anak-anak yang mengaji Al-Quran,
sementara istri berada jauh di Pulau Seram, Maluku serta dua putri saya sedang “menikmati
perjuangan mereka” di Jakarta, saya pun duduk di depan laptop yang menyala
sejak dini hari. Kemudian, entah kenapa, tiba-tiba muncul pikiran untuk
menelusuri kehidupan para mahasiswa Indonesia di negeri orang. Dan, selepas
lama “berkelana”, pencarian itu akhirnya berakhir di sebuah blog milik seorang
mahasiswa Indonesia yang menyebut dirinya Cak Shon. Lembar demi lembar blog
mahasiswa s-3 University of Nottingham, Inggris itu pun saya simak. Entah
kenapa, mungkin karena saya orang yang dikaruniai usia lebih dari 60 tahun, pandangan
saya tertarik dengan tulisannya tentang masa tua.
“Kawan, apa yang kau pikirkan tentang sebuah hari tua?,”
tulis Cak Shon ketika memulai tulisannya tentang sepenggal cerita di hari tua. “Di
hari ketika raga kita semakin tak berdaya. Ketika kulit kita mulai kendur,
wajah kita tak setampan dan secantik di kala muda lagi. Otak pun tak lagi tajam
dalam berfikir. Perlahan, kita pun kehilangan memori ingatan kita. Hari-hari
ketika kita semakin mendekati ketidakberdayaan. Hari-hari ketika tak ada lagi
yang bisa kita sombongkan. Sebelum akhirnya, kita pun musnah. Benar-benar tiada
dari panggung kehidupan dunia yang sementara ini.
Sebagian dari kita mungkin membayangkan hari tua yang
indah. Menikmati manis buah perjuangan ketika muda, bersama lucunya cucu cicit
kita. Hari tua yang penuh kehangatan kasih sayang orang-orang yang kita cintai
dan mencintai kita. Hari-hari ketika kita semakin dekat dan mengenal Tuhan,
yang ketika muda sering kita lupakan. Hari-hari ketika kita semakin bijak
memaknai kehidupan. Yang coba kita abadikan dalam goresan tulisan sebagai
warisan abadi untuk anak turun kita.
Kawan, kita pun tak ingin membayangkan akan hari tua yang
penuh sepi kesendirian. Tiada hari berlalu tanpa kesedihan. Hari-hari penuh
rintihan penyesalan. Ketika orang-orang tiada lagi memperhatikan. Hari-hari
menunggu penuh ketakutan akan datangnya misteri gelap. Sebuah kematian.”
Usai menulis demikian, Cak Shon kemudian menuturkan tentang
sepenggal kehidupan masa tua di negeri orang, Kota Nottingham, “Kawan, pagi
sekali hari ini hatiku menangis. Ketika aku menyaksikan seorang perempuan tua
di hari tuanya. Dia yang tidak bisa baca tulis sejak lahir, di usianya yang
semakin renta, dia masih harus bekerja sangat keras membanting tulang. Hanya
sekadar untuk bertahan hidup.
Kawan, malam tadi kembali hatiku menangis. Saat aku
kembali dari kampus, aku saksikan lagi-lagi seorang perempuan tua, tertatih
keluar dari rumahnya. Mencoba berjalan, tangannya merayapi tembok, kakinya tak
mampu menyangga tubuhnya yang ringkih. Rupanya, dia hanya ingin membeli kentang
dan ikan goreng. Beruntung aku menemukannya, dan aku bisa membelikannya.
Terlihat senyum dan wajahnya yang teramat dalam, ketika bibirnya bergetar
berucap berkali-kali , “God Blesses You.”
Konon, cerita sedih di hari tua di negeri yang konon
tingkat kemakmuranya tertinggi di atas bumi ini adalah cerita biasa. Semoga
kita ditakdirkan memiliki hari tua yang indah. Allâhumma âmîn.”
“Allâhumma âmîn,” bibir saya pun pelan mengaminkan
doa Cak Shon.