HASSAN FATHY:
Arsitek Kondang dan “Urakan” yang Pencinta Kaum
Papa
Kini, sebelum meninggalkan Mesir, mari kita
sejenak jalan-jalan kembali ke ibukota Negeri Piramid itu: Kota Kairo.
Selepas melintasi Gedung Syaikh Al-Azhar, ke
arah yang bertentangan dengan Cairo International Airport, segera Anda akan
menyaksikan kawasan yang bertebing dan berbenteng di depan
Anda. Di
sebelah kiri jalan, Anda akan
melihat Bukit Muqaththam yang tegak dengan garangnya. Sedangkan di sebelah
kanan jalan,
mencuat dengan gagahnya Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi dengan Masjid Muhammad
‘Ali yang “menghiasi” puncak kompleks perbentengan itu.
Lembaran sejarah menorehkan, Bukit Muqaththam merupakan salah satu saksi pelbagai peristiwa historis sepanjang sejarah Mesir.
Termasuk sebagai “pemasok” batu-batu yang digunakan untuk membangun
piramid-piramid di Giza. Di bukit itu pula terdapat makam beberapa ulama
terkemuka: Ibn ‘Atha’illah Al-Iskandari, Ibn Daqiq Al-‘Id, dan Abu Jamrah, dan
pada tahun 1960-an di salah satu sudut bukit itu terdapat gedung Badan
Intelijen Mesir. Selain itu, di salah satu sisi puncak Bukit Muqaththam itu
tegak Masjid Al-Juyusyi. Masjid itu didirikan Amir Al-Juyusy Badr Al-Jamali,
pendiri sejumlah pintu gerbang Kota Kairo dan tangan kanan Dinasti Fathimiyyah.
Tidak aneh
jika masjid tersebut, seperti tertera dalam relief yang ada di dalam masjid
tersebut, disebut sebagai masyhad atau makam seorang syahid. Mungkin,
sang panglima ingin menjadikan masjid tersebut sebagai Masyhad Imam ‘Ali bin Abu Thalib. Masjid itu
berukuran kecil. Namun, masjid tersebut memiliki ruang shalat indah yang
berhiaskan dekorasi semen indah yang berbentuk buah anggur dan
tandan-tandannya. Di sisi lain, masjid ini dihiasi pula dengan sebuah menara
yang tingginya hampir setinggi kubah masjid tersebut.
Kemudian, jika Anda berada di kaki Benteng Shalahuddin dan melintasi kawasan kumuh di
sekitar kaki benteng itu, nah di
situlah tempat tinggal seorang kondang Mesir sebelum ia berpulang. Hassan
Fathy, itulah nama arsitek beken itu.
Kini, bagaimanakah kisah hidup Hassan Fathy?
Begawan arsitektur asal Mesir
yang pada November 1987 M
mendapat gelar “Arsitek
Terbaik Dunia” dari Persatuan Arsitek Internasional ini
lahir Jumat, 21 Dzulqa‘dah 1317 H/23
Maret 1900 M di Alexandria, Mesir, dan lulus
sebagai insinyur dari Institut Teknik
Kairo pada usia 25 tahun. Sekitar tahun 1930-an dan 1940-an ia menjadi
arsitek di Balaikota Kairo, Departemen
Kepurbakalaan, Kementerian
Pendidikan, dan sebagai
konsultan pada UNRWA.
Di tengah kesibukannya itu,
ia masih menyempatkan
diri mengajar di Fakultas Seni Rupa, Universitas Kairo
(1355-1366 H/1936-1946 M). Ketika
bekerja di Departemen Kepurbakalaan itulah ia mendapat tugas untuk merancang proyek pemukiman Gourna
Baru, di Mesir Selatan.
Kisah proyek ini ia
publikasikan dalam sebuah tulisan berjudul
Gourna: A Tale of Two Villages.
Belakangan, karya kontroversial
ini diterbitkan kembali oleh Massachusetts Institute of
Technology (MIT), Amerika
Serikat, dengan judul Architecture
for the Poor.
Pada tahun 1373 H/1953 M Hassan
Fathy kembali berkutat sebagai staf
pengajar di Fakultas Seni Rupa, Universitas Kairo. Setahun kemudian, ia
diangkat sebagai Ketua
Jurusan Arsitektur di universitas yang sama. Selepas Gourna, ia
kemudian merancang dan membangun sebuah
sekolah di Fares. Kembali
rancangannya ini menyabet
perhatian banyak pihak. Selepas proyek di Fares rampung, ia meninggalkan
negerinya menuju Athena, ibukota Yunani.
Suasana politik yang membelenggu
Mesir kala itu membuatnya terpaksa meninggalkan
tanah air yang ia cintai itu. Ia menetap
di Athena hingga 1382 H/1962 M, bekerjasama dengan Doxiadis. Selama berada di
kota kuno itu, ia menangani sejumlah proyek, antara lain
perumahan rakyat di Irak dan rancangannya tentang Kota Masa Depan.
Pada tahun 1960-an, selain
menangani proyek-proyek tadi, Hassan
Fathy juga menggarap sejumlah proyek lain. Di antaranya penyiapan
pemukiman baru Baris
di oase Kharjah. Kemudian, arsitek
yang menghadap kembali kepada
Yang Memilikinya pada Kamis, 1 Jumada
Al-Ula 1410 H/30 November
1989 M ini
mulai menangani rancangan desain rumah-rumah pribadi, di Mesir dan
Arab Saudi. Selama menapaki kehidupannya 15 tahun terakhir, sejumlah
gelar doktor “honoris causa”, award,
medali, dan hadiah telah diterima Hassan Fathy.
Mungkin, Anda membayangkan, tempat tinggal arsitek beken di
lingkungan Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi itu, yang lebih terkenal dengan
sebutan “Qal‘ah” atau “Citadel”, merupakan sebuah tempat tinggal megah dan
indah. Dengan kata lain, layak dengan namanya yang tinggi menjulang. Tetapi, ternyata, tempat
tinggal “arsitek urakan” yang terletak di lantai empat itu nyaris tiada bedanya
dengan tempat tinggal penduduk di sekitarnya. Perabot rumah tangganya pun tidak mewah. Meski
demikian, di tempat tinggal yang sederhana itulah ide-idenya yang cemerlang
lahir.
Memang, bagi arsitek yang sangat mengagumi kubah masjid, khususnya
Masjid Ahmad bin Thulun yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya, rumah bukanlah
sekadar tempat meniti kehidupan. Rumah, menurutnya, merupakan ungkapan budaya
dan kepribadian seseorang yang menempatinya. Di sisi lain, kecintaan Hassan
Fathy kepada kaum papa membuat ia kerap mengeluh ketika melihat
perkembangan kota dan pemukiman baru. Ucapnya, “Kita telah memunggungi rumah
‘ayahku’. Kini, rumah kita bukan lagi rumah ‘ayahku’, tapi rumah Paman Sam.
Setiap langkah di baliknya adalah dolar! Tampaknya kini arsitektur Amerika
Serikat yang paling dominan. Apa akibatnya? Rumah menjadi tempat tinggal yang
asing. Manusia yang menghuninya ikut menjadi asing. Kita jadi kebingungan,
mengapa kita kerap resah dan gampang marah? Ini semua karena bangunan modern
yang kerap kita banggakan sejatinya tidak cocok untuk penduduk negeri ini. Juga, tidak sesuai sebagai tempat
tinggal mereka. Lihatlah bangunan-bangunan buruk itu! Bukankah
bangunan-bangunan itu merupakan penjungkirbalikan arsitektural dan kultural?”
Tidak
aneh jika, hingga akhir hayatnya, Hassan Fathy tetap kuat
memegang ide-idenya yang merupakan perpaduan tiga unsur:
manusia-arsitektur-seni. Baginya, paduan tiga unsur itu merupakan syarat utama
suatu bangunan: manusia dengan segala tuntutan fisik, psikis, dan
intelektualnya, arsitektur dengan segala tuntutan konstruksi, teknis, dan kulturalnya,
dan seni dengan segala tuntutan estetis, visual, dan terapannya!
No comments:
Post a Comment