Saturday, July 19, 2014

HASSAN FATHY:
Arsitek Kondang dan “Urakan” yang Pencinta Kaum Papa

Kini, sebelum meninggalkan Mesir, mari kita sejenak jalan-jalan kembali ke ibukota Negeri Piramid itu: Kota Kairo.

Selepas melintasi Gedung Syaikh Al-Azhar, ke arah yang bertentangan dengan Cairo International Airport, segera Anda akan menyaksikan kawasan yang bertebing dan berbenteng di depan Anda. Di sebelah kiri jalan, Anda akan melihat Bukit Muqaththam yang tegak dengan garangnya. Sedangkan di sebelah kanan jalan, mencuat dengan gagahnya Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi dengan Masjid Muhammad ‘Ali yang “menghiasi”  puncak kompleks perbentengan itu.  

Lembaran sejarah menorehkan, Bukit Muqaththam merupakan salah satu saksi pelbagai peristiwa historis sepanjang sejarah Mesir. Termasuk sebagai “pemasok” batu-batu yang digunakan untuk membangun piramid-piramid di Giza. Di bukit itu pula terdapat makam beberapa ulama terkemuka: Ibn ‘Atha’illah Al-Iskandari, Ibn Daqiq Al-‘Id, dan Abu Jamrah, dan pada tahun 1960-an di salah satu sudut bukit itu terdapat gedung Badan Intelijen Mesir. Selain itu, di salah satu sisi puncak Bukit Muqaththam itu tegak Masjid Al-Juyusyi. Masjid itu didirikan Amir Al-Juyusy Badr Al-Jamali, pendiri sejumlah pintu gerbang Kota Kairo dan tangan kanan Dinasti Fathimiyyah. Tidak aneh jika masjid tersebut, seperti tertera dalam relief yang ada di dalam masjid tersebut, disebut sebagai masyhad atau makam seorang syahid. Mungkin, sang panglima ingin menjadikan masjid tersebut sebagai Masyhad  Imam ‘Ali bin Abu Thalib. Masjid itu berukuran kecil. Namun, masjid tersebut memiliki ruang shalat indah yang berhiaskan dekorasi semen indah yang berbentuk buah anggur dan tandan-tandannya. Di sisi lain, masjid ini dihiasi pula dengan sebuah menara yang tingginya hampir setinggi kubah masjid tersebut.

Kemudian, jika Anda berada di kaki Benteng Shalahuddin dan melintasi kawasan kumuh di sekitar kaki benteng itu, nah di situlah tempat tinggal seorang kondang Mesir sebelum ia berpulang. Hassan Fathy, itulah nama arsitek beken itu.

Kini, bagaimanakah kisah hidup Hassan Fathy?

Begawan arsitektur asal Mesir  yang  pada November  1987  M mendapat  gelar  “Arsitek  Terbaik  Dunia”   dari Persatuan Arsitek Internasional ini lahir Jumat, 21 Dzulqa‘dah 1317  H/23 Maret 1900 M  di  Alexandria, Mesir,  dan  lulus sebagai insinyur dari  Institut  Teknik  Kairo pada  usia  25 tahun. Sekitar tahun 1930-an dan  1940-an ia menjadi  arsitek  di Balaikota Kairo,  Departemen  Kepurbakalaan, Kementerian  Pendidikan,  dan sebagai konsultan  pada  UNRWA.  Di tengah  kesibukannya  itu,  ia  masih menyempatkan  diri  mengajar   di Fakultas Seni Rupa, Universitas Kairo (1355-1366 H/1936-1946 M). Ketika  bekerja di Departemen Kepurbakalaan itulah ia mendapat  tugas untuk merancang proyek pemukiman Gourna Baru,  di Mesir  Selatan.  Kisah proyek ini ia  publikasikan  dalam  sebuah tulisan  berjudul   Gourna: A Tale of Two  Villages.  Belakangan, karya  kontroversial ini diterbitkan kembali  oleh  Massachusetts Institute  of  Technology (MIT), Amerika  Serikat,  dengan  judul Architecture for the Poor.

Pada  tahun 1373 H/1953 M Hassan Fathy kembali  berkutat  sebagai staf  pengajar di Fakultas Seni Rupa, Universitas Kairo.  Setahun kemudian,   ia  diangkat  sebagai  Ketua  Jurusan  Arsitektur   di universitas yang sama. Selepas Gourna, ia kemudian merancang  dan membangun  sebuah  sekolah  di Fares.  Kembali  rancangannya  ini menyabet perhatian banyak pihak. Selepas proyek di Fares rampung, ia meninggalkan negerinya menuju Athena, ibukota Yunani.  Suasana politik  yang membelenggu Mesir kala itu membuatnya terpaksa  meninggalkan tanah  air yang ia cintai itu. Ia menetap di Athena hingga 1382 H/1962 M, bekerjasama dengan Doxiadis. Selama berada di kota kuno  itu,  ia menangani sejumlah proyek, antara  lain  perumahan rakyat di Irak dan rancangannya tentang Kota Masa Depan.

Pada  tahun 1960-an, selain menangani proyek-proyek tadi,  Hassan Fathy juga menggarap sejumlah proyek lain. Di antaranya penyiapan pemukiman  baru  Baris  di oase Kharjah.  Kemudian,  arsitek  yang menghadap  kembali kepada Yang Memilikinya pada Kamis, 1  Jumada Al-Ula  1410  H/30 November  1989  M  ini  mulai  menangani rancangan  desain rumah-rumah pribadi, di Mesir dan Arab  Saudi. Selama  menapaki kehidupannya 15 tahun terakhir,  sejumlah  gelar doktor  “honoris causa”, award, medali, dan hadiah telah diterima Hassan Fathy.

Mungkin, Anda membayangkan, tempat tinggal arsitek beken di lingkungan Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi itu, yang lebih terkenal dengan sebutan “Qal‘ah” atau “Citadel”, merupakan sebuah tempat tinggal megah dan indah. Dengan kata lain, layak dengan namanya yang tinggi menjulang. Tetapi, ternyata, tempat tinggal “arsitek urakan” yang terletak di lantai empat itu nyaris tiada bedanya dengan tempat tinggal penduduk di sekitarnya. Perabot rumah tangganya pun tidak mewah. Meski demikian, di tempat tinggal yang sederhana itulah ide-idenya yang cemerlang lahir.

Memang, bagi arsitek yang sangat mengagumi kubah masjid, khususnya Masjid Ahmad bin Thulun yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya, rumah bukanlah sekadar tempat meniti kehidupan. Rumah, menurutnya, merupakan ungkapan budaya dan kepribadian seseorang yang menempatinya. Di sisi lain, kecintaan Hassan Fathy kepada kaum papa membuat ia kerap mengeluh ketika melihat perkembangan kota dan pemukiman baru. Ucapnya, “Kita telah memunggungi rumah ‘ayahku’. Kini, rumah kita bukan lagi rumah ‘ayahku’, tapi rumah Paman Sam. Setiap langkah di baliknya adalah dolar! Tampaknya kini arsitektur Amerika Serikat yang paling dominan. Apa akibatnya? Rumah menjadi tempat tinggal yang asing. Manusia yang menghuninya ikut menjadi asing. Kita jadi kebingungan, mengapa kita kerap resah dan gampang marah? Ini semua karena bangunan modern yang kerap kita banggakan sejatinya tidak cocok untuk penduduk negeri ini. Juga, tidak sesuai sebagai tempat tinggal mereka. Lihatlah bangunan-bangunan buruk itu! Bukankah bangunan-bangunan itu merupakan penjungkirbalikan arsitektural dan kultural?”

Tidak aneh jika, hingga akhir hayatnya, Hassan Fathy tetap kuat memegang ide-idenya yang merupakan perpaduan tiga unsur: manusia-arsitektur-seni. Baginya, paduan tiga unsur itu merupakan syarat utama suatu bangunan: manusia dengan segala tuntutan fisik, psikis, dan intelektualnya, arsitektur dengan segala tuntutan konstruksi, teknis, dan kulturalnya, dan seni dengan segala tuntutan estetis, visual, dan terapannya!


No comments: