ALI
MAKSUM:
Kiai
Terkemuka yang
Piawai Bercerita dan Berwawasan Luas
Senyampang masih berada di lingkungan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, kini mari kita bersilaturahmi sejenak dengan salah seorang
kiai kondang yang pernah mengelola pesantren tersebut. Tentu tidak patut,
ketika kita berkunjung ke sebuah pondok pesantren, sementara kita tidak sowan
dan mengenal tokoh di tempat tersebut.
Setelah KH Munawwir berpulang, pengelolaan pesantren Al-Quran itu
kemudian beralih ke tangan dua putranya, KHR Abdullah Afandi dan KHR Abdul
Qadir, dan seorang menantunya, KH Ali Maksum. Pada periode itu, Pondok
Pesantren Krapyak kian berkembang pesat. Kini, tidak hanya mencetak para hafizh
Al-Quran semata, tapi juga mendidik para santri yang belajar dan menimba ilmu-ilmu
keislaman lainnya. Selepas KH Abdul Qadir berpulang pada 1961, dan KH Abdullah
Afandi menyusul tujuh tahun kemudian, akhirnya pimpinan pondok pesantren
kemudian beralih tangan kepada KH Ali Maksum.
Ketika belum berpulang, dan ketika di bulan Ramadhan seperti saat ini, KH
Ali Maksum, di luar kegiatan-kegiatannya yang lain, senantiasa memberikan
bimbingan kepada para santrinya selepas shalat tarawih, lewat pengajian sebuah kitab
hadis, Riyâdh Al-Shâlihîn, yang tebalnya nyaris 500 halaman. Pengajian khusus
di bulan Ramadhan itu diberikan hingga sekitar pukul 12 malam. Pengajian yang diberikan kiai kita ini senantiasa dihadiri
ratusan santri. Pasalnya, pengajian itu begitu menarik dan sarat ilmu. Padahal,
daras yang ia berikan merupakan daras kering: hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.
Tetapi, daras itu, di tangan beliau, berubah menjadi daras yang segar dan
memikat. Dalam memberikan pengajian tersebut, ia senantiasa memberikan
contoh-contoh yang hidup, segar, dan memikat. Juga, diselingi dengan cerita,
anekdot, dan humor. Apalagi, ketika ia melihat para santri nyaris tidak kuasa
menahan kantuk ketika tengah malam menjelang datang. Contohnya adalah cerita
berikut:
“Suatu saat,” ucap kiai kita dengan suara baritonnya, yang meyakinkan
para santrinya suatu ketika, ketika menuturkan sebuah cerita, “seorang kiai
dari daerah pantai utara Jawa Tengah diajak seorang pengusaha ibukota provinsi
itu jalan-jalan ke Hongkong: sebuah kota di sebuah negara di sebelah utara
Indonesia. Sebelum berangkat, kiai tersebut “berpamitan” kepada seorang sahabatnya.
Ketika mereka berdua bertemu, sang sahabat berpesan, bila kiai dari pantai
utara Jawa Tengah itu telah sampai di Hongkong, diharap ia segera berkirim
kabar.
Benar, ketika kiai dari pantai utara Jawa itu tiba di Hongkong, ia
teringat pesan sahabatnya. Ia pun segera membeli selembar kartu pos bergambar.
Kartu pos itu dimasukkan ke dalam sampul, disertai pesan tertulis, “Saya telah
tiba di Hongkong. Kotanya secantik gambar ini.” Surat itu kemudian dikirimkan kepada
sahabatnya. Ketika surat itu dibuka, betapa kaget sang sahabat melihat gambar
yang terdapat pada kartu pos itu: duh, ternyata kartu pos yang menampilkan foto
seorang bintang film Hongkong yang aduhai cantiknya dan mengenakan busana nan
menantang. “Edan, sahabatku yang satu ini. Awas, balasanku,” gumamnya.
Sang sahabat yang menerima kartu itu, ternyata, tidak kurang akal. “Awas
ya, balasan dariku,” gumamnya. Karena ingin melakukan revanche terhadap
kiai dari pantai utara Jawa Tengah itu, segera sang sahabat itu pun mengambil
sehelai kertas dan menulis sebagai berikut, “Ini ada titipan kartu pos dari
sahabat kita yang sedang terbuai oleh keindahan Kota Hongkong!” Kemudian, kartu
pos itu ia masukkan ke dalam amplop bersama surat darinya. Selanjutnya, amplop
itu ia kirimkan kepada seorang kiai terkemuka di sebuah kota yang terletak
beberapa puluh kilometer di sebelah timur Kota Surabaya, Pasuruan. Kiai yang
satu itu terkenal sebagai kiai yang sufi. Mereka bertiga, memang, bersahabat
sejak muda usia.
Menerima surat dan kartu pos yang “berhiaskan” bintang film dengan busana
menantang tersebut, kiai dari Jawa Timur itu kemudian langsung memasukkan kartu
pos itu ke dalam amplop disertai sepucuk surat singkat, “Terima kasih atas
kiriman kartu posmu. Sayang, saya tidak memerlukan kartu pos itu!” Amplop itu
kemudian dikirimkan kepada sahabatnya: kiai yang pertama, kiai dari pantai
utara Jawa Tengah.
Betapa terkejut kiai dari pantai utara Jawa Tengah itu menerima amplop yang
berisi surat dan kartu pos itu. Gumamnya, “Rasa-rasanya, aku tidak pernah
mengirimi dia kartu pos ini.” Tetapi, selepas lama ia berpikir dan merenung,
akhirnya ia tertawa sendiri dan berucap, “Senjata makan tuan. Kartu pos ini kan
kartu pos yang kukirimkan ke Yogyakarta. Ali memang memang cerdas. Ha ha ha.”
Mendengar cerita tersebut, yang entah benar atau tidak, kantuk para
santri pun sirna. Melihat hal itu, kiai kita pun melanjutkan pengajian kitab Riyâdh
Al-Shâlihîn.
Itulah sekelumit kisah yang “mewarnai” pengajian segar dan memikat yang
diberikan KH Ali Maksum, seorang kiai terkemuka yang juga seorang Guru Besar
Ilmu Tafsir di sebuah institut Islam negeri di Yogyakarta. Kini, bagaimanakah
kisah hidup kiai yang setiap Hari ‘Idul Fitri senantiasa disowani
seorang muridnya, sampai pun ketika si murid menjabat Menteri Agama sekali pun,
karena menghormati gurunya yang kiai itu?
Kiai
terkemuka dengan sosok yang tinggi besar dan
pancaran mata yang begitu tajam ini
lahir di sebuah kota pesisir utara perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, Lasem,
pada Selasa, 15 Rabi‘ Al-Akhir 1333 H/2 Maret 1915 M. Ayahandanya,
Kiai Haji Maksum, juga seorang
kiai terpandang. Sedangkan sang ibunda, yang lebih terkenal dengan sebutan “Simbah Nyai”, tidak lebih
kecil wibawa dan pengaruhnya dari sang
ayahanda. Sebelum menetap di Yogyakarta,
perjalanan hidup Ali Maksum muda dilaluinya di
Pondok Pesantren Tremas, Pacitan,
Jawa Timur, sebuah pondok
pesantren yang kala itu terkenal sebagai salah satu tempat penggemblengan para calon kiai. Kemudian,
sekitar 1357 H/1938 M, selepas
menikah dengan Hasyimah, putri Kiai Haji
Mohammad Moenawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, ia bertolak ke
Makkah untuk belajar di sana. Perang Dunia
kedua memaksanya untuk pulang ke Tanah Air.
Sekembali
dari Tanah Suci, Ali Maksum menetap Lasem,
untuk membina pesantren yang
didirikan sang ayahanda. Tetapi, kemudian
ia diminta sang mertua untuk
menetap di Yogyakarta, guna membenahi
Pondok Pesantren Krapyak. Tampaknya,
ia pun telah dipersiapkan untuk menggantikan sang mertua. Bila sang mertua
lebih terkenal sebagai kiai yang pakar Tahfîzh
Al-Quran, sedangkan sang menantu terkenal sebagai pakar Tafsir
Al-Quran. Tidak aneh bila ia akhirnya diangkat sebagai guru besar bidang Tafsir
Al-Quran di Institut Agama Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mantan Rais
Am Syuriah Pengurus Besar Besar
Nahdlatul Ulama (1401-1404 H/1981-1984
M) yang terkenal berwawasan
luas ini berpulang
di Yogyakarta pada Kamis, 8 Jumada Al-Ula
1410 H/7 Desember 1989 M dengan meninggalkan beberapa karya
tulis. Antara lain Mîzân
Al-‘Uqûl fî ‘Ilm Al-Manthiq, Al-Sharf
Al-Wâdhih, dan Hujjah
Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah.
Perjalanan hidup
kiai kita ini memberikan suatu pelajaran indah: pengajaran suatu materi yang
berat, di bidang apa pun, sejatinya dapat disajikan dengan mudah jika
ditampilkan dengan segar dan memikat. Apalagi, jika disertai dengan penjelasan
dengan wawasan yang luas, seperti halnya yang dilakukan KH Ali Maksum dalam
setiap pengajian yang diberikan olehnya!
No comments:
Post a Comment