Wednesday, July 23, 2014

‘ABDUH:
Ulama Terkemuka dan Pembaharu Muslim yang Nyaris Dilupakan?

Muhammad ‘Abduh, seorang ulama terkemuka dan pembaharu Muslim Mesir, tahukah Anda? Jika Anda mengetahuinya, sejatinya itu merupakan hal yang luar biasa.

Lo, mengapa demikian?

Baiklah, kini, kita kembali dahulu ke Kairo pada akhir tahun 1970-an. Tentu Anda tahu, kala itu  Revolusi Islam Iran belum lama membara di Iran. Tidak lama selepas revolusi itu mengguncang negeri yang sebelumnya dipimpin Mohammed Reza Pahlavi, seorang ilmuwan Amerika Serikat dan mantan Rektor American University in Beirut (yang tewas pada Rabu, 14 Rabi‘ Al-Akhir 1404 H/18 Januari 1984  M karena ditembak dua orang bersenjata tidak dikenal di Beirut, Lebanon), Malcolm H. Kerr, datang ke Kairo.

Setiba di Negeri Piramid, penulis sejumlah buku, antara lain Lebanon in the Last Years of Feudalism 1840-1868,The Arab Cold War, Gamel Abd al-Nasr and his Rivals, 1958-1970, Islamic Reform: The political and legal theories of Muhammad Abduh and Rashid Ridā, The Elusive Peace in the Middle East, dan Economics and Politics of the Middle East  ini kemudian menebar kuesioner di antara sejumlah mahasiswa Muslim yang berasal dari pelbagai negara Arab dan sedang menimba ilmu di American University in Cairo. Kala itu, universitas tersebut masih berpusat di salah satu sisi Tahrir Square: jantung revolusi Mesir beberapa tahun terakhir. Universitas itu sendiri mulai beroperasi pada 1337 H/1919 M. Namun, sejak 1429 H/2008 M, program undergraduate dan graduate dialihkan ke sebuah pemukiman baru, New Cairo, yang terletak tidak jauh dari Cairo International Airport, berdampingan dengan Distrik Nasr City.

Nah, apa maksud Malcolm H. Kerr, seorang mantan guru besar kajian Timur Tengah di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat,  dalam menebarkan kuesioner tersebut? Kuesioner itu dimaksudkan untuk mengetahui, sejauh mana pengenalan dan pengetahuan mereka tentang tiga pembaharu Muslim di Timur Tengah pada zaman modern: antara lain Muhammad ‘Abduh (perlu dikemukakan, disertasi Malcolm H. Kerr tentang Muhammad ‘Abduh dan  Muhammad Rasyid Ridha dengan judul “Islamic Reform: The Political dan Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida” dan diajukan di Johns Hopkins University, Amerika Serikat, di bawah bimbingan Majid Khadduri dan Sir Hamilton Gibb). Bagaimanakah hasil kuesioner itu? Ternyata, hasil kuesioner itu benar-benar mengejutkan: sebagian besar mahasiswa tersebut tidak mengenal pembaharu Muslim pada zaman modern itu. Padahal, rata-rata para mahasiswa Muslim Arab tersebut berasal dari kalangan kelas menengah ke atas yang tentu saja dipandang cukup memiliki wawasan yang luas.

Oleh karena itu, jika Anda masih mengetahui kisah hidup ulama terkemuka dan pembaharu Muslim tersebut, pengetahuan Anda memang luar biasa. Kini, siapakah ulama terkemuka dan pembaharu Muslim yang nyaris dilupakan para mahasiswa dari sejumlah negara Arab itu?

Tokoh dan pemikir pembaharuan Muslim di Mesir ini lahir di Mehallah Nashr di Provinsi Buhaira pada  1266 H/1849  M  dalam  lingkungan  keluarga  petani.  Selepas  belajar membaca  dan  menulis  di desanya, ia kemudian  menimba  ilmu  di Masjid  Ahmadi  di  Thantha, di bawah  bimbingan  Syeikh  Darwisy Khidhr.  Pada 1285 H/1868 M ia mulai memasuki  Al-Azhar,  sebuah lembaga  pendidikan  terkemuka di  Kairo, Mesir. Selama dua belas tahun  ia  menimba ilmu dan mendalami tasawuf  dan  filsafat  di lembaga ini, sampai ia meraih gelar al-‘âlimiyyah. Pada masa ini pula, tokoh yang telah menikah sejak berusia 16 tahun ini  bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani,  seorang  tokoh pembaharuan  dalam  Islam,  yang  kala  itu  sedang mengunjungi Kairo.

Selepas  merampungkan pendidikannya di Al-Azhar dan  mengajar  di Perguruan Dar Al-‘Ulum (kini merupakan salah satu fakultas  dalam lingkungan  Universitas Kairo), antara 1294-1300  H/1877-1882  M, tokoh  Muslim  yang lebih menaruh  perhatian  terhadap  perbaikan masyarakat  melalui  pendidikan  ketimbang  melalui   pembangunan politik  ini  sering menulis di koran harian  Al-Ahrâm  dan  belakangan menjadi editor Al-Waqâ’i‘ Al-Mishriyyah. Karena terlibat dalam agitasi  terhadap politik dan intervensi militer Inggris di Mesir pada 1300  H/1882 M, ia dituduh termasuk kalangan para pemimpin partai ‘Urabi Pasya dan diusir dari Mesir.

Selepas  menerima perintah pengusiran,  ‘Abduh  kemudian pergi ke Suriah.  Kemudian,  pada  1303 H/1885  M, ia menapakkan kakinya ke Beirut dan tinggal  di  kota itu  selama  tiga  setengah tahun. Lantas,  ia  bergabung  dengan Jamaluddin  Al-Afghani di Paris dan  bersama-sama  menerbitkan majalah  Al-‘Urwah Al-Wutsqâ. Dari Paris, dia kemudian  pindah  ke Tunisia,  selama  beberapa bulan, sambil  berpropaganda  tentang seruannya.  Selanjutnya, ia menapakkan kakinya kembali ke  Beirut. Di kota ini selain mengajar, selama masa ini, ia sempat  menyalin satu-satunya karya Al-Afghani yang cukup berarti, Al-Rad ‘alâ Al-Dahriyyîn.

Pada  1306  H/1888 M tokoh dikatakan begitu longgar  dan  malahan pandangannya  tentang  peran  dan fungsi  akal  terhadap  wahyu disinyalir  lebih liberal daripada kaum Mu‘tazilah ini  diampuni dan  diizinkan kembali ke Mesir. Selepas melalui perantaraan  Lord Cromer dan lain-lainnya. Ia kemudian diangkat sebagai qâdhî, dan kemudian menjadi anggota Majelis Syura Pengadilan. Lantas, pada 1313 H/1895 M, ia ditunjuk sebagai Komite Administratif Al-Azhar,  dan akhirnya  diangkat  sebagai  Mufti Mesir yang  ia  jabat  sampai menghadap  Sang  Pencipta pada Kamis, 8 Jumada Al-Ula  1323  H/11 Juli  1905 M di Alexandria, dengan meninggalkan sejumlah  karya. Antara  lain  Risâlah Al-Tauhîd, sebuah karyanya di  bidang  ilmu tauhid  yang  pertama kali diterbitkan pada 1315  H/1897  M  dan  antara  lain  membahas mengenai keesaan  Allah,  hubungan  agama dengan  filsafat, kebutuhan umat manusia terhadap risalah  para rasul  dan nabi, dan peran Islam dalam membina umat  manusia,  Al-Islâm   wa  Al-Rad  ‘ala  Muntaqidih,  dan  Al-Islâm wa Al-Nashrâniyyah ma‘a Al-‘Ilm wa Al-Madaniyyah.

Ketika tokoh yang satu ini berpulang, menurut Dr. Muhammad Jabir Al-Anshari dalam sebuah karyanya berjudul Tahawwulât Al-Fikr wa Al-Siyâsah fî Al-Syarq Al-‘Arabî, ia “mewariskan” tiga kelompok para muridnya yang tidak seiring dari sisi pemikiran dan politik. Yang satu, dapat dikatakan, mendukung pemikiran yang dikatakan liberal dan yang satu mendukung pemikiran yang dikatakan konservatif. Dua kelompok tersebut, di samping kelompok tengah yang mengikuti garis pemikiran Muhammad ‘Abduh, tetap mewarnai dunia pemikiran dan politik di negeri kelahiran sang ulama hingga saat ini. Dan, mungkin, andai ‘Abduh masih hidup dan menyaksikan perseteruan di antara para murid-muridnya tersebut, ia akan menangis. Sebab, bukan itu sejatinya yang dituju oleh pembaharuan yang digelarnya. Sebuah pelajaran hidup yang menarik: dari pemikiran seorang tokoh dapat timbul dan berkembang aliran pemikiran dan politik yang beragam serta kadang satu sama lainnya saling berseteru. Mungkin, ini terjadi (salah satunya), karena para muridnya memiliki interpretasi yang berbeda atas pemikiran sang guru.

Dan, kini, dengan usainya penyajian kisah hidup Muhammad ‘Abduh, usai pula sudah seri perjalanan hidup sejumlah ulama dan ilmuwan Muslim dari berbagai penjuru dunia yang dapat saya sajikan pada bulan Ramadhan ini. Mungkin, tulisan-tulisan itu membosankan dan menjemukan. Untuk itu, mohon dimaafkan. Tetapi, dengan mengetahui kisah hidup mereka, kiranya kita dapat menyerap hal-hal positif dari kehidupan mereka dan menjadikan semua sebagai “ibrah” bagi kita dan menjadi setetes ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Tentu, masih ada banyak manfaat lain yang kiranya bisa didapatkan dari pengenalan dan pengetahuan tentang perjalanan hidup para tokoh tersebut. Tentu pula, kehadiran kisah-kisah itu tidak dimaksudkan untuk mendewakan mereka.

Sejatinya, masih banyak tokoh-tokoh lain yang akan saya sajikan (dan sekitar 1,100 biografi para tokoh Muslim telah usai saya tulis dan insya Allâh segera akan diterbitkan). Namun, karena ada tugas lain yang harus segera saya siapkan, dengan berat hati seri ini saya cukupkan sampai hari ini saja. Dan, dengan akan hadirnya Hari ‘Idul Fitri, saya dan keluarga menyampaikan permohonan maaf, lahir dan batin, dan “Selamat Hari ‘Idul Fitri”. Kiranya Allah Swt. menerima ibadah puasa Ramadhan dan amal-amal kita. Taqabballâhu Minna wa Minkum min Al-‘Âidin wa Al-Fâ’izîn wa Al-Maqbulîn, Kullu ‘Âm wa Antum bi Khair.


No comments: