‘ABDUH:
Ulama Terkemuka dan
Pembaharu Muslim yang Nyaris Dilupakan?
Muhammad ‘Abduh, seorang ulama terkemuka dan pembaharu Muslim
Mesir, tahukah Anda? Jika Anda mengetahuinya, sejatinya itu merupakan hal yang
luar biasa.
Lo, mengapa demikian?
Baiklah, kini, kita kembali dahulu ke Kairo pada akhir tahun 1970-an.
Tentu Anda tahu, kala itu Revolusi Islam
Iran belum lama membara di Iran. Tidak lama selepas revolusi itu mengguncang
negeri yang sebelumnya dipimpin Mohammed Reza Pahlavi, seorang
ilmuwan Amerika Serikat dan mantan Rektor American University in Beirut (yang
tewas pada Rabu, 14 Rabi‘ Al-Akhir 1404 H/18 Januari 1984 M karena ditembak dua orang bersenjata tidak dikenal di Beirut,
Lebanon), Malcolm H. Kerr, datang
ke Kairo.
Setiba di Negeri Piramid, penulis sejumlah buku, antara lain Lebanon in the Last Years of Feudalism 1840-1868,The Arab Cold War, Gamel Abd
al-Nasr and his Rivals, 1958-1970, Islamic Reform: The
political and legal theories of Muhammad ‘Abduh and
Rashid Ridā, The
Elusive Peace in the Middle East, dan Economics and Politics of the Middle East ini kemudian menebar kuesioner di antara sejumlah
mahasiswa Muslim yang berasal dari pelbagai negara Arab dan sedang menimba ilmu
di American University in Cairo. Kala
itu, universitas tersebut masih berpusat di salah satu sisi Tahrir Square:
jantung revolusi Mesir beberapa tahun terakhir. Universitas itu sendiri
mulai beroperasi pada 1337 H/1919 M. Namun, sejak 1429 H/2008 M, program undergraduate
dan graduate dialihkan ke sebuah pemukiman baru, New Cairo, yang
terletak tidak jauh
dari Cairo International Airport, berdampingan dengan Distrik Nasr City.
Nah, apa maksud Malcolm H. Kerr, seorang mantan guru besar kajian Timur
Tengah di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, dalam menebarkan kuesioner tersebut? Kuesioner itu dimaksudkan untuk mengetahui, sejauh mana pengenalan dan pengetahuan
mereka tentang tiga pembaharu Muslim di Timur Tengah pada zaman modern: antara lain Muhammad
‘Abduh (perlu dikemukakan, disertasi Malcolm H. Kerr tentang Muhammad
‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
dengan judul “Islamic Reform: The Political dan Legal Theories of Muhammad
Abduh and Rashid Rida” dan
diajukan di Johns Hopkins University, Amerika Serikat, di bawah bimbingan Majid
Khadduri dan Sir Hamilton Gibb). Bagaimanakah hasil
kuesioner itu? Ternyata, hasil kuesioner itu benar-benar mengejutkan: sebagian besar mahasiswa
tersebut tidak mengenal pembaharu Muslim pada zaman modern itu. Padahal, rata-rata
para mahasiswa Muslim Arab tersebut berasal dari kalangan kelas menengah ke atas yang tentu saja dipandang
cukup memiliki wawasan yang luas.
Oleh karena itu, jika Anda masih mengetahui kisah hidup ulama terkemuka
dan pembaharu Muslim tersebut, pengetahuan Anda memang luar biasa. Kini, siapakah ulama terkemuka dan pembaharu
Muslim yang nyaris dilupakan para mahasiswa dari sejumlah negara Arab itu?
Tokoh dan
pemikir pembaharuan Muslim di Mesir ini lahir di Mehallah Nashr di Provinsi Buhaira
pada 1266 H/1849 M
dalam lingkungan keluarga
petani. Selepas belajar membaca dan
menulis di desanya, ia
kemudian menimba ilmu
di Masjid Ahmadi di Thantha,
di bawah bimbingan Syeikh Darwisy Khidhr. Pada 1285 H/1868 M ia mulai memasuki Al-Azhar,
sebuah lembaga pendidikan terkemuka di
Kairo, Mesir. Selama dua belas tahun
ia menimba ilmu dan mendalami
tasawuf dan filsafat
di lembaga ini, sampai ia meraih gelar al-‘âlimiyyah. Pada masa
ini pula, tokoh yang telah menikah sejak berusia 16 tahun ini bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani, seorang
tokoh pembaharuan dalam Islam,
yang kala itu
sedang mengunjungi Kairo.
Selepas merampungkan pendidikannya di Al-Azhar
dan mengajar di Perguruan Dar Al-‘Ulum (kini merupakan
salah satu fakultas dalam
lingkungan Universitas Kairo), antara
1294-1300 H/1877-1882 M, tokoh
Muslim yang lebih menaruh perhatian
terhadap perbaikan
masyarakat melalui pendidikan
ketimbang melalui pembangunan politik ini
sering menulis di koran harian Al-Ahrâm dan
belakangan menjadi editor Al-Waqâ’i‘
Al-Mishriyyah. Karena terlibat dalam agitasi
terhadap politik
dan intervensi militer Inggris di Mesir pada 1300 H/1882 M, ia dituduh termasuk kalangan para
pemimpin partai ‘Urabi Pasya dan diusir dari Mesir.
Selepas menerima perintah pengusiran, ‘Abduh
kemudian pergi ke Suriah.
Kemudian, pada 1303 H/1885
M, ia menapakkan kakinya ke Beirut dan tinggal di
kota itu selama tiga
setengah tahun. Lantas, ia bergabung
dengan Jamaluddin Al-Afghani di
Paris dan bersama-sama menerbitkan majalah Al-‘Urwah Al-Wutsqâ. Dari Paris, dia
kemudian pindah ke Tunisia,
selama beberapa bulan, sambil berpropaganda
tentang seruannya. Selanjutnya,
ia menapakkan kakinya kembali ke Beirut.
Di kota ini selain mengajar, selama masa ini, ia sempat menyalin satu-satunya karya Al-Afghani yang
cukup berarti, Al-Rad ‘alâ Al-Dahriyyîn.
Pada 1306
H/1888 M tokoh dikatakan begitu longgar
dan malahan pandangannya tentang
peran dan fungsi akal
terhadap wahyu disinyalir lebih liberal daripada kaum Mu‘tazilah
ini diampuni dan diizinkan kembali ke Mesir.
Selepas melalui perantaraan Lord Cromer
dan lain-lainnya. Ia kemudian diangkat sebagai qâdhî, dan kemudian
menjadi anggota Majelis Syura Pengadilan. Lantas, pada 1313 H/1895 M, ia
ditunjuk sebagai Komite Administratif Al-Azhar,
dan akhirnya diangkat sebagai
Mufti Mesir yang ia jabat
sampai menghadap Sang Pencipta pada Kamis, 8 Jumada Al-Ula 1323 H/11
Juli 1905 M di Alexandria,
dengan meninggalkan sejumlah karya.
Antara lain Risâlah Al-Tauhîd, sebuah karyanya
di bidang ilmu tauhid
yang pertama kali diterbitkan
pada 1315 H/1897 M
dan antara lain
membahas mengenai keesaan Allah, hubungan
agama dengan filsafat, kebutuhan
umat manusia terhadap risalah para
rasul dan nabi, dan peran Islam dalam
membina umat manusia, Al-Islâm wa
Al-Rad ‘ala Muntaqidih,
dan
Al-Islâm wa Al-Nashrâniyyah ma‘a Al-‘Ilm wa Al-Madaniyyah.
Ketika tokoh
yang satu ini berpulang, menurut Dr. Muhammad Jabir Al-Anshari dalam sebuah
karyanya berjudul Tahawwulât Al-Fikr wa Al-Siyâsah fî Al-Syarq Al-‘Arabî,
ia “mewariskan” tiga kelompok para muridnya yang tidak seiring dari sisi
pemikiran dan politik. Yang satu, dapat dikatakan, mendukung pemikiran yang dikatakan
liberal dan yang satu mendukung pemikiran yang dikatakan konservatif. Dua
kelompok tersebut, di samping kelompok tengah yang mengikuti garis pemikiran Muhammad
‘Abduh, tetap mewarnai dunia pemikiran dan politik di negeri kelahiran sang
ulama hingga saat ini. Dan, mungkin, andai ‘Abduh masih hidup dan menyaksikan
perseteruan di antara para murid-muridnya tersebut, ia akan menangis. Sebab,
bukan itu sejatinya yang dituju oleh pembaharuan yang digelarnya. Sebuah
pelajaran hidup yang menarik: dari pemikiran seorang tokoh dapat timbul dan
berkembang aliran pemikiran dan politik yang beragam serta kadang satu sama
lainnya saling berseteru. Mungkin, ini terjadi (salah satunya), karena para
muridnya memiliki interpretasi yang berbeda atas pemikiran sang guru.
Dan, kini, dengan usainya penyajian kisah hidup Muhammad ‘Abduh,
usai pula sudah seri perjalanan hidup sejumlah ulama dan ilmuwan Muslim dari
berbagai penjuru dunia yang dapat saya sajikan pada bulan Ramadhan ini. Mungkin,
tulisan-tulisan itu membosankan dan menjemukan. Untuk itu, mohon dimaafkan.
Tetapi, dengan mengetahui kisah hidup mereka, kiranya kita dapat menyerap
hal-hal positif dari kehidupan mereka dan menjadikan semua sebagai “ibrah” bagi
kita dan menjadi setetes ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Tentu, masih ada
banyak manfaat lain yang kiranya bisa didapatkan dari pengenalan dan
pengetahuan tentang perjalanan hidup para tokoh tersebut. Tentu pula, kehadiran
kisah-kisah itu tidak dimaksudkan untuk mendewakan mereka.
Sejatinya, masih banyak tokoh-tokoh lain yang akan saya sajikan (dan
sekitar 1,100 biografi para tokoh Muslim telah usai saya tulis dan insya
Allâh segera akan diterbitkan). Namun, karena ada tugas lain yang harus
segera saya siapkan, dengan berat hati seri ini saya cukupkan sampai hari ini
saja. Dan, dengan akan hadirnya Hari ‘Idul Fitri, saya dan keluarga
menyampaikan permohonan maaf, lahir dan batin, dan “Selamat Hari ‘Idul Fitri”.
Kiranya Allah Swt. menerima ibadah puasa Ramadhan dan amal-amal kita. Taqabballâhu
Minna wa Minkum min Al-‘Âidin wa Al-Fâ’izîn wa Al-Maqbulîn, Kullu ‘Âm wa Antum bi
Khair.
No comments:
Post a Comment