HASBI ASH-SHIDDIEQY:
Ulama Hadis
Terkemuka dan Penulis Produktif yang
“Produk Dalam Negeri”
Pagi menjelang
siang di bulan Maret tahun itu cerah sekali. Waktu saat itu menunjuk sekitar
pukul setengah sepuluh pagi. Usai mengikuti kuliah pagi di tingkat baccalaureate
di sebuah institut yang tegak di Jalan Adisucipto, seorang mahasiswa, yang
sedang duduk di tangga menuju ke lantai dua tempat ia sedang menimba ilmu,
melihat seorang lelaki sepuh, dengan usia sekitar 70 tahun, turun dari sebuah
mobil kuno. Kemudian, setelah keluar dari mobil, lelaki sepuh itu berjalan
pelan dengan ditopang sebuah tongkat di tangan kirinya. Sementara tangan kanan
lelaki itu membawa tas butut yang tampak berat. Mungkin, tas itu berisi sejumlah
buku.
Melihat lelaki sepuh
itu berjalan pelan dengan membawa tas berat, segera mahasiswa itu lari turun
dari tangga dan menjemput lelaki sepuh itu. Begitu dekat dengan lelaki sepuh
itu, dan seusai mengucapkan salam, lantas ucap si mahasiswa, “Prof., biar saya
bawakan tas ini.” Begitu tas itu berada di tangan kanannya, dan kemudian
beralih ke tangan kirinya, ia kemudian “menyambar” tangan kanan lelaki sepuh
itu dan menciuminya. Betapa kaget lelaki sepuh itu dengan kelakuan si
mahasiswa. Lantas, lelaki sepuh yang tidak suka dicium tangannya itu pun
berucap pelan seraya memandangi si mahasiswa, “Siapa engkau ini? Mengapa engkau
cium tanganku. Apa engkau tidak tahu, aku tidak suka seseorang mencium
tanganku?”
“Saya mahasiswa
di sini, Prof. Ya, saya tahu. Tetapi, saya sejak kecil dididik ayah saya untuk mencium
tangan kanan guru-guru saya setiap kali bertemu mereka, sebagai penghormatan dan
rasa terima kasih kepada mereka atas ilmu yang mereka ajarkan. Saya sendiri
sudah banyak membaca dan menelaah karya-karya tulis bapak. Karena itu, meski
saya belum pernah mengikuti kuliah bapak, saya memandang bapak sebagai guru
saya dan karena itulah saya tadi mencium tangan kanan bapak. Mohon maaf bila
saya salah.”
“Ya sudah. Tapi,
lain kali jangan engkau lakukan lagi.”
Tidak lama
selepas itu, dua orang itu kemudian menuju ke sebuah rungan di lantai dua.
Kemudian, ketika lelaki sepuh itu memberikan kuliah Ilmu Hadis kepada para
mahasiswa tingkat doktoral, mahasiswa yang membawakan tasnya ikut mendengarkan
kuliah yang diberikan lelaki sepuh itu, meski sejatinya ia belum pantas
mengikuti kuliah di tingkat doktoral. Dan, ketika mendengar kuliah menarik yang
diberikan lelaki sepuh itu, mahasiswa itu bergumam pelan, “Aku harus banyak
membaca dan tekun belajar. Biar suatu ketika aku memiliki ilmu pengetahuan yang
luas seperti profesor itu.”
Siapakah
profesor yang dihormati mahasiswa itu?
Itulah Hasbi
Ash-Shiddieqy, salah seorang ulama kondang
Indonesia. Bernama
lengkap Teungku Muhammad Hasbi Al-Shiddieqy, putra
asli Aceh ini lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara
pada Kamis, 22 Dzulhijjah 1321 H/10 Maret 1904 M. Selaras dengan tradisi yang berkembang kala itu, putra sulung pasangan suami-istri Teungku Qadhi Chik Maharaja
Mangkubumi Husain bin Muhammad Su‘ud dan Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja
Mangkubumi Abdul Aziz
ini mendapat pendidikan
pertamanya dari ayahandanya sendiri.
Selepas itu, Hasbi muda menimba ilmu
kepada beberapa ulama setempat. Antara lain Teungku Haji
Idris. Selain selama bertahun-tahun juga belajar di berbagai pesantren di
Aceh dan memerdalam bahasa Arab,
ia juga belajar kepada Syaikh Muhammad
bin Salim Al-Kalali,
pendiri Islam Menjadi Satu di Aceh, yang sangat berjasa dalam
pembentukan pemikiran Hasbi lebih
lanjut. Sang guru ini menyarankan kepadanya untuk menimba ilmu
di Perguruan Al-Irsyad Surabaya.
Mengikuti saran
Al-Kalali, Hasbi
muda kemudian meninggalkan Aceh untuk menuntut ilmu
di Perguruan Al-Irsyad, Surabaya. Di ibukota Provinsi
Jawa Timur itu, ia bertemu dengan gurunya yang seorang
pemikir asal Sudan, Syeikh Ahmad
Surkati. Seusai menimba ilmu
di Kota Pahlawan, dengan
mengambil jurusan takhashshush, program spesialisasi dalam bidang pendidikan dan bahasa dengan
jenjang pendidikan selama dua
tahun, ia kembali ke Aceh dan melibatkan diri dalam
dunia pendidikan. Pada 1347 H/1928 M
ia memimpin Perguruan Al-Irsyad
di Lhokseumawe. Tahun berikutnya, ia
merangkap sebagai pimpinan Madrasah Al-Huda di Krueng Mane.
Perjalanan hidup
Hasbi berikutnya tetap
sarat dengan pengabdiannya di
dunia pendidikan. Pada 1352 H/1933 M,
misalnya, ia mengajar di
Hollandsch Inlandsche School (HIS)
dan Meer Uitgebreid Lager
Onderweijs (MULO)
Muhammadiyah di Kutaraja. Tahun berikutnya
ia mendirikan dan
memimpin Sekolah Darul Mu‘allimin Muhammadiyah
di kota yang sama. Selain itu, ia
juga menjadi pengajar di
Jong Islamieten Bond
Cabang Kutaraja. Lantas, pada
1360 H/1941 M, ia mendapat
kepercayaan sebagai pengajar di
Ma‘had Iskandar Muda
di Lampaku, Aceh
Besar. Kemudian, tujuh tahun kemudian, ia menjabat
sebagai Direktur Sekolah Menengah
Islam di Lhokseumawe.
Selepas
Indonesia meraih kemerdekaan, ulama yang pakar di bidang ilmu hadis dan
juga seorang penulis produktif ini lebih
banyak meniti kehidupannya di Yogyakarta, sebagai guru besar di Institut
Agama Islam Negeri
Sunan Kalijaga dan
Universitas Islam
Indonesia. Di antara karya-karya tulisnya adalah 2002
Mutiara Hadis, Al-Islam, Pedoman
Shalat, Pedoman Puasa, Pengantar Ilmu
Fikih, Pengantar Ilmu Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Pokok-Pokok Dirayah Hadis, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, dan Tafsir An-Nur. Karena jasanya dalam
pengembangan ilmu-ilmu keislaman di
Indonesia, pada 22 Maret 1975 Hasbi Ash-Shiddieqy dianugerahi gelar doctor
honoris causa
dari Universitas Islam Bandung (UNISBA). Dan, guru besar di bidang Ilmu
Hadis ini menghadap kepada Yang
Maha Kuasa di Jakarta
pada Selasa, 6 Dzulhijjah
1395 H/9 Desember 1975
M, ketika berada di karantina
menunggu keberangkatan untuk
menunaikan ibadah haji ke Makkah, dalam usia 71 tahun.
Perjalanan hidup
ulama yang berwawasan luas ini memberikan suatu pelajaran indah: untuk menjadi
seorang ulama atau ilmuwan terkemuka tidak harus merupakan produk luar negeri!
Hasbi Ash-Shiddieqy adalah salah satu buktinya. Meski ia tidak pernah merantau
dan menimba ilmu di luar Indonesia, namun keluasan ilmu dan wawasannya di
bidang-bidang yang ditekuninya diakui para ilmuwan dan ulama!
No comments:
Post a Comment