Sunday, July 20, 2014

HASBI ASH-SHIDDIEQY:
Ulama Hadis Terkemuka dan Penulis Produktif  yang “Produk Dalam Negeri”


Yogyakarta, 1973.


Pagi menjelang siang di bulan Maret tahun itu cerah sekali. Waktu saat itu menunjuk sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Usai mengikuti kuliah pagi di tingkat baccalaureate di sebuah institut yang tegak di Jalan Adisucipto, seorang mahasiswa, yang sedang duduk di tangga menuju ke lantai dua tempat ia sedang menimba ilmu, melihat seorang lelaki sepuh, dengan usia sekitar 70 tahun, turun dari sebuah mobil kuno. Kemudian, setelah keluar dari mobil, lelaki sepuh itu berjalan pelan dengan ditopang sebuah tongkat di tangan kirinya. Sementara tangan kanan lelaki itu membawa tas butut yang tampak berat. Mungkin, tas itu berisi sejumlah buku.

Melihat lelaki sepuh itu berjalan pelan dengan membawa tas berat, segera mahasiswa itu lari turun dari tangga dan menjemput lelaki sepuh itu. Begitu dekat dengan lelaki sepuh itu, dan seusai mengucapkan salam, lantas ucap si mahasiswa, “Prof., biar saya bawakan tas ini.” Begitu tas itu berada di tangan kanannya, dan kemudian beralih ke tangan kirinya, ia kemudian “menyambar” tangan kanan lelaki sepuh itu dan menciuminya. Betapa kaget lelaki sepuh itu dengan kelakuan si mahasiswa. Lantas, lelaki sepuh yang tidak suka dicium tangannya itu pun berucap pelan seraya memandangi si mahasiswa, “Siapa engkau ini? Mengapa engkau cium tanganku. Apa engkau tidak tahu, aku tidak suka seseorang mencium tanganku?”
“Saya mahasiswa di sini, Prof. Ya, saya tahu. Tetapi, saya sejak kecil dididik ayah saya untuk mencium tangan kanan guru-guru saya setiap kali bertemu mereka, sebagai penghormatan dan rasa terima kasih kepada mereka atas ilmu yang mereka ajarkan. Saya sendiri sudah banyak membaca dan menelaah karya-karya tulis bapak. Karena itu, meski saya belum pernah mengikuti kuliah bapak, saya memandang bapak sebagai guru saya dan karena itulah saya tadi mencium tangan kanan bapak. Mohon maaf bila saya salah.”
“Ya sudah. Tapi, lain kali jangan engkau lakukan lagi.”

Tidak lama selepas itu, dua orang itu kemudian menuju ke sebuah rungan di lantai dua. Kemudian, ketika lelaki sepuh itu memberikan kuliah Ilmu Hadis kepada para mahasiswa tingkat doktoral, mahasiswa yang membawakan tasnya ikut mendengarkan kuliah yang diberikan lelaki sepuh itu, meski sejatinya ia belum pantas mengikuti kuliah di tingkat doktoral. Dan, ketika mendengar kuliah menarik yang diberikan lelaki sepuh itu, mahasiswa itu bergumam pelan, “Aku harus banyak membaca dan tekun belajar. Biar suatu ketika aku memiliki ilmu pengetahuan yang luas seperti profesor itu.”

Siapakah profesor yang dihormati mahasiswa itu?

Itulah Hasbi Ash-Shiddieqy, salah seorang ulama kondang Indonesia.    Bernama lengkap Teungku Muhammad Hasbi Al-Shiddieqy, putra asli  Aceh  ini lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara pada  Kamis,  22 Dzulhijjah 1321 H/10 Maret 1904 M. Selaras dengan tradisi yang berkembang kala itu, putra sulung  pasangan suami-istri  Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husain bin Muhammad Su‘ud dan Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz  ini  mendapat  pendidikan  pertamanya  dari  ayahandanya sendiri. 

Selepas  itu,  Hasbi muda menimba ilmu  kepada  beberapa  ulama setempat. Antara lain Teungku Haji Idris. Selain selama bertahun-tahun juga belajar di berbagai pesantren di Aceh  dan memerdalam bahasa  Arab,  ia juga belajar kepada Syaikh Muhammad bin  Salim  Al-Kalali,  pendiri Islam Menjadi Satu di Aceh, yang sangat  berjasa dalam  pembentukan  pemikiran Hasbi lebih lanjut. Sang  guru  ini menyarankan kepadanya untuk menimba ilmu di Perguruan Al-Irsyad Surabaya.

Mengikuti saran Al-Kalali, Hasbi muda kemudian meninggalkan Aceh untuk menuntut ilmu di Perguruan Al-Irsyad, Surabaya. Di ibukota Provinsi Jawa Timur itu,  ia  bertemu dengan gurunya yang  seorang  pemikir  asal Sudan,  Syeikh  Ahmad  Surkati. Seusai  menimba  ilmu  di  Kota Pahlawan,   dengan   mengambil   jurusan   takhashshush,  program spesialisasi  dalam bidang pendidikan dan bahasa  dengan  jenjang pendidikan  selama dua tahun, ia kembali ke Aceh  dan  melibatkan diri  dalam  dunia  pendidikan. Pada 1347 H/1928  M  ia  memimpin Perguruan Al-Irsyad di Lhokseumawe. Tahun berikutnya, ia merangkap sebagai pimpinan Madrasah Al-Huda di Krueng Mane.

Perjalanan   hidup   Hasbi   berikutnya   tetap   sarat    dengan pengabdiannya di dunia pendidikan. Pada 1352 H/1933 M,  misalnya, ia  mengajar  di  Hollandsch Inlandsche  School  (HIS)  dan  Meer Uitgebreid  Lager  Onderweijs (MULO)  Muhammadiyah  di  Kutaraja. Tahun  berikutnya  ia  mendirikan  dan  memimpin  Sekolah   Darul Mu‘allimin  Muhammadiyah  di kota yang sama. Selain itu,  ia  juga menjadi  pengajar  di  Jong  Islamieten  Bond  Cabang  Kutaraja. Lantas,  pada  1360  H/1941 M, ia  mendapat  kepercayaan  sebagai pengajar  di  Ma‘had  Iskandar  Muda  di  Lampaku,  Aceh   Besar. Kemudian,  tujuh  tahun kemudian, ia  menjabat  sebagai  Direktur Sekolah Menengah Islam di Lhokseumawe.

Selepas Indonesia meraih kemerdekaan, ulama yang pakar di bidang ilmu hadis dan juga seorang penulis produktif ini lebih  banyak meniti kehidupannya di Yogyakarta, sebagai guru besar di Institut Agama  Islam  Negeri  Sunan  Kalijaga  dan  Universitas   Islam Indonesia.  Di  antara karya-karya tulisnya adalah  2002  Mutiara Hadis,  Al-Islam, Pedoman Shalat, Pedoman Puasa, Pengantar  Ilmu Fikih, Pengantar Ilmu Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu  Tafsir, Pokok-Pokok Dirayah Hadis, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, dan Tafsir An-Nur. Karena jasanya dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman  di Indonesia,  pada 22 Maret 1975 Hasbi Ash-Shiddieqy dianugerahi gelar doctor honoris causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA). Dan, guru besar di bidang  Ilmu  Hadis  ini menghadap kepada  Yang  Maha  Kuasa  di Jakarta  pada  Selasa, 6 Dzulhijjah 1395 H/9  Desember  1975  M, ketika   berada   di  karantina  menunggu   keberangkatan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah, dalam usia 71 tahun.

Perjalanan hidup ulama yang berwawasan luas ini memberikan suatu pelajaran indah: untuk menjadi seorang ulama atau ilmuwan terkemuka tidak harus merupakan produk luar negeri! Hasbi Ash-Shiddieqy adalah salah satu buktinya. Meski ia tidak pernah merantau dan menimba ilmu di luar Indonesia, namun keluasan ilmu dan wawasannya di bidang-bidang yang ditekuninya diakui para ilmuwan dan ulama!


No comments: