Friday, May 18, 2007

Ini Dia Masjid Pertama di Mesir!

“Fusthath! Fusththah! Fusthath!” Seruan itulah yang memenuhi benak saya ketika mobil yang kami (saya, istri, dan Mas Oyik) naiki mendekati Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash yang terletak di Distrik Mesir Lama, Kairo: sebuah masjid yang saya sendiri sudah tak ingat lagi telah berapa kali mengunjunginya dan merupakan salah satu masjid yang pertama-tama saya kunjungi ketika saya menjadi mahasiswa di Mesir antara 1978-1984. Hari di jam tangan tangan saya kala itu menunjuk hari Ahad, 25 Maret 2007.

Mungkin, seruan serupa pulalah yang menggema kala Jenderal ‘Amr bin Al-‘Ash membawa sekitar 4.000 pasukan kaum Muslim dari Yordania menuju Mesir pada 21 H/642 M. Dengan semangat pantang menyerah, akhirnya pasukan kecil itu berhasil merontokkan semangat pasukan Romawi dan menundukkan seluruh kawasan Mesir dalam waktu yang relatif sangat singkat. Dan, sebagai penanda keberhasilan bersejarah tersebut, dan mengikuti jejak Rasulullah Saw. yang mendirikan Masjid Nabawi tak lama selepas berhijrah ke Madinah, jenderal yang kala menjelang kematiannya senantiasa menangis karena rindu Rasul tersebut pun mendirikan sebuah prasasti di Kota Fusthath tersebut: sebuah masjid yang kini disebut Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash.

Menurut catatan yang tertoreh dalam sejarah masjid, Masjid ’Amr bin Al-’Ash di Fusthath ini adalah masjid keempat yang didirikan dalam sejarah Islam. Dengan kata lain, masjid ini didirikan selepas Masjid Madinah, Masjid Kufah, dan Masjid Bashrah. Masjid yang kini telah berusia lima belas abad ini semula merupakan sebuah masjid yang sangat sederhana: panjang 25 meter, lebar 15 meter, dan dinaungi dengan atap dari kayu dan pelepah kurma serta ditopang dengan batang-batang pohon kurma. Kala itu, kiblatnya tidak sepenuhnya tepat, hingga akhirnya diluruskan oleh Qurrah bin Syarik. Inilah masjid yang dituturkan bahwa mihrabnya telah dijadikan sebagai tempat khutbah dan pidato delapan puluh sahabat Rasulullah Saw. Masjid ini didirikan di tepi Sungai Nil, sehingga sungai tersebut menggantikan kedudukan dindingnya di bagian timur. Karena itu, masjid ini hanya memiliki tiga dinding.

Pada 53 H/762 M masjid ini diambrukkan oleh Maslamah bin Mukhallad, gubernur Mesir di masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, penguasa pertama Dinasti Umawiyah di Damaskus, Suriah, dan kemudian dibangun kembali. Dengan pembangunan kembali kali ini, luas masjid ini semakin bertambah dan temboknya dibuat dari bata. Selain itu, masjid ini menjadi memiliki shahn terbuka yang lapang dan empat menara, masing-masing satu menara di setiap sudut. Konon, menara-menara tersebut merupakan menara-menara pertama dalam sejarah arsitektur Islam. Sekitar tujuh belas tahun selepas itu, masjid ini diperbarui dan dipercantik oleh ’Abdul ‘Aziz bin Marwan, ayahanda ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, salah seorang penguasa Dinasti Umwiyyyah yang terkenal lurus, jujur, dan adil.


Pada 93 H/710 M masjid ini dirubuhkan sepenuhnya dan dibangun kembali oleh Qurrah bin Syarik sehingga memiliki luas yang lebih besar. Dalam pembangunan kali ini, masjid ini menjadi memiliki tembok-tembok yang tinggi menjulang dan atap dari kayu. Selain itu, Qurrah bin Syarik juga membuatkan sebuah mihrab berceruk bagi masjid ini, mihrab jenis demikian yang pertama kali dibuat di Mesir, dan melengkapinya dengan sebuah mimbar kayu yang indah. Pembangunan yang dilakukan Qurrah bin Syarik ini, pada 133 H/750 H, diselesaikan oleh Shalih ‘Ali (pamanda Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak), gubernur Mesir kala itu. Lewat pembangunan terakhir tersebut, masjid ini memiliki bentuknya yang tetap bertahan selama beberapa abad selepas itu.

Masjid ini mulai memiliki luas seperti yang ada dewasa ini pada 212 H/828 M lewat perluasan yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin Thahir, Gubernur Mesir di masa pemerintahan Al-Ma’mun (penguasa ke-7 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak). Dengan pembangunan ini, masjid ini memiliki luas sekitar 15.000 meter persegi. Masjid yang dibangun kembali oleh ‘Abdullah bin Thahir inilah yang kini dipandang sebagai masjid asli yang diupayakan tetap dipelihara seperti keadaannya kala itu. Sayang, sebagian besar masjid ini mengalami kebakaran pada masa pemerintahan Khumarawaih bin Ahmad bin Thulun, seorang penguasa dari Dinasti Thuluniyyah. Karena itu, masjid ini dibangun kembali. Pembangunan kali ini di bawah pimpinan Thughj Al-Ikhsyidi, seorang pejabat pada pemerintahan Khumarawaih bin Ahmad bin Thulun.

Dalam perjalanan waktu berikut, masjid ini mengalami beberapa kali pemugaran dan perbaikan di masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah, sehingga masjid ini mencapai puncak keindahannya di masa pemerintahan Khalifah Al-Mustanshir. Nashir-i Khusraw, seorang petualang Muslim dari Iran, kala mengunjungi masjid ini mencatat, masjid ini didirikan dengan sekitar empat ratus tiang dari pualam. Selain itu, menurut catatan sang petualang, mihrabnya sepenuhnya ditutup dengan pualam putih disertai dengan kaligrafi ayat-ayat Al-Quran yang sangat indah. Kala malam tiba, masjid ini diberi cahaya dari lampu gantung sangat besar, yang merupakan hadiah dari Khalifah Al-Hakim bi Amrillah, yang dibuat dari perak, di samping 700 lampu kecil (qandil). Lantai masjid ini, kala itu, dihampari karpet berwarna yang berlapis-lapis. Lebih jauh sang petualang mencatat, kala itu masjid ini sangat sibuk menerima kehadiran para pengunjung. Menurutnya, masjid ini dari pagi hingga malam dikunjungi tidak kurang dari lima ribu pengunjung, baik dengan tujuan untuk melaksanakan shalat, mengajar, belajar, dan pelbagai keperluan lain.

Pada 564 H/1168 M masjid ini kembali mengalami kebakaran. Peristiwa kebakaran ini terjadi ketika seorang menteri yang culas, Syawar, membakar Kota Fusthath selama 54 hari. Empat tahun kemudian, masjid ini dipugar dan dibangun kembali oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi ketika ia berhasil memegang tampuk kekuasaan di Mesir. Berikut, tepatnya pada 666 H/1288 M, masjid ini diperindah oleh Al-Zhahir Baibars. Selepas itu masjid ini mengalami beberapa kali pemugaran, termasuk pemugaran yang dilakukan oleh Murad Beik pada 1213 H/1798 M. Pemugaran yang dilakukan Murad Beik acap dipandang sebagai pemugaran terburuk yang dilakukan atas masjid ini. Ini karena pemugaran tersebut dilakukan secara acak-acakan dan tidak memiliki acuan teknis yang tepat, sehingga membuat struktur, tampilan, dan beberapa bagiannya menjadi rusak.

Masjid ini, dalam perjalanan waktu selepas itu, mengalami beberapa kali pemugaran dan perbaikan kembali. Yang terakhir kali dilakukan pada 1342 H/1922 M. Akibat pemugaran dan perbaikan berkali-kali tersebut, masjid ini dewasa ini menjadi masjid yang secara artistik sangat tidak selaras dan terpadu. Kondisi yang demikian itu diperburuk oleh perbedaan pendapat di antara para ahli arkeologi tentang bentuk asli masjid ini, juga mana yang asli dan tidak asli dari pelbagai bagian masjid ini. Karena itu, selama perbedaan pendapat tersebut tidak didapatkan kata temu, niscaya masjid ini tetap kehilangan keindahan dan daya pikatnya. Sayang!

No comments: