Thursday, May 10, 2007

Menengok Masjid Muhammad 'Ali

Kairo, Ahad 25 Maret 2007. Selepas shalat zuhur di hari itu, setelah sebelumnya kami (saya dan istri) memperoleh kehormatan diterima oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Drs. Slamet Sholeh M.Ed., dan Ibu, di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, kami pun diantar Mas Oyik menuju salah satu masjid yang menjadi landmark Kota Kairo. Yaitu Masjid Muhammad ‘Ali, sebuah masjid megah nan indah yang terletak di atas lokasi Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi. Masjid yang satu ini dari kejauhan telah tampak begitu megahnya begitu kita datang dari arah Cairo International Airport menuju Distrik Mesir Lama. Bagaimana kisah masjid yang dibangun oleh seorang penguasa berdarah Albania yang juga terkenal sebagai penguasa yang pembaharu ini?

Seperti diketahui, selama abad ke-19, pelbagai masalah perkotaan dan pedesaan di Mesir mulai tertata. Populasi penduduk pun mulai merangkak naik dan kelas menengah yang berkecukupan pun mulai terbentuk. Di antara kelas menengah tersebut ialah para tuan tanah dan hartawan di perkotaan maupun pedesaan. Sementara itu Kota Kairo, meski tidak secara menyeluruh, setahap demi setahap mulai berubah menjadi sebuah kota besar dan menjadi ibukota yang mapan. Dengan kata lain, kestabilan kondisi yang ada, tumbuhnya sistem politik yang mapan yang jelas hak dan kewajibannya, terbentuknya keluarga-keluarga berkecukupan di pedesaan, tumbuhnya kelas menengah, meratanya kesejahteraan di seluruh penjuru negara, dan berubahnya Kairo dan Alexandria menjadi dua kota besar dan fondasi kebangkitan budaya Arab pada umumnya kala itu, semua itu memberikan kesempatan kepada Muhammad ‘Ali untuk menorehkan puncak karya pembangunannya dengan mendirikan sebuah masjid di atas Qal‘ah, yakni sebuah masjid bergaya Turki murni yang kini disebut Masjid Muhammad ‘Ali. Kebetulan inisiatif Muhammad ‘Ali untuk mendirikan masjid tersebut mendapat sambutan hangat. Nasibnya sama seperti halnya sebagian besar persoalan yang ditanganinya. Mungkin, sudah menjadi suratan nasib penguasa yang satu itu, selama masa pemerintahannya ia lebih banyak bernasib baik. Kecuali di tahun-tahun terakhir masa pamerintahannya.

Masjid yang dibangun Muhammad ’Ali begitu megah dan indah. Untuk membangun masjid tersebut, ia dibantu sejumlah insinyur dari Perancis dan Italia yang mengetahui bagaimana mereka harus melepaskan diri dari karakter gereja-gereja yang sulit dihindari oleh orang-orang Eropa ketika mendirikan suatu bangunan keagamaan. Di antara ide cemerlang yang dikemukakan para insinyur yang mendirikan Masjid Muhammad ‘Ali tersebut ialah pemilihan lokasinya yang unik, yakni di puncak Qal‘ah di pinggir Kota Kairo. Dengan dipilihnya lokasi tersebut, panorama di sekitar benteng tersebut pun menjadi benar-benar berubah. Dan, sulit dibayangkan ada lokasi lain di seluruh penjuru Kairo yang lebih tepat bagi masjid raya nan megah tersebut.



Walau Masjid Muhammad ’Ali tersebut relatif lebih kecil ketimbang masjid-masjid bergaya Turki di ibukota Dinasti Usmaniyyah, Istanbul, namun masjid tersebut tidak kalah cantik dan memikat. Ini karena keselarasan luar biasa yang mewarnai masjid tersebut yang memiliki ciri khas dengan dua menaranya yang ramping yang mengapit sejumlah kubah kecil dan kubah utama. Di bawah kubah utama terdapat bait al-shalah yang lapang dan menawan, dengan dinding-dinding yang tinggi menjulang. Di dinding-dinding itu sendiri terdapat qimmiriyah-qimmiriyah yang dilengkapi dengan kaca berwarna-warni dan penyangga-penyangga pualam yang tidak membuat shahn masjid tersebut terasa sempit. Di samping penyangga-penyangga yang menopang panggung utama terdapat tiang-tiang pualam ramping yang menyangga atap dan kubah-kubah kecil.

Di sisi lain, sistem pencahayaan masjid ini tak kalah menawan. Di sini kita dapat merasakan sentuhan Perancis-Italia. Perlu dikemukakan, masjid ini diberi pencahayaan dengan lampu-lampu gantung raksasa di tengah-tengah. Lampu tersebut diberi bingkai lampu-lampu gantung listrik yang memiliki ukuran lebih kecil yang dikitari bola-bola kristal yang sangat indah dan menawan. Bagian dalam masjid yang satu ini bergaya Barok, suatu gaya arsitektural yang tumbuh selepas Masa Renessans mutakhir yang begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen. Akibatnya, dekorasi dan ornamen tersebut acap menutup keindahan bangunan asli. Namun, ternyata, dekorasi yang berat tersebut tidak merusak keindahan bagian dalam masjid yang unik tersebut.

Kubah utama Masjid Muhammad ’Ali ini, seperti telah dikemukakan di muka, bertumpu di atas penyangga-penyangga kokoh dari batu yang dipahat dan dilapis dengan pualam. Selain itu, masjid ini memiliki lengkung-lengkung di dalam bait ash-shalah yang sangat memikat pandangan karena begitu lapang dan tinggi, di samping karena ceruk kubahnya yang sangat menawan. Dan, manakala lampu-lampu masjid ini dengan lampu-lampu gantung ukuran kecil yang mengitari bait ash-shalah yang lapang tersebut dinyalakan, masjid ini menjadi begitu menawan dan tiada yang menyetarainya kecuali sebuah masjid dengan gaya yang sama di Istanbul.

Mimbar masjid ini juga sangat menawan, walau bergaya Barok sehingga membuatnya begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen. Mimbar tersebut tetap tampil sangat menawan karena bentuk dan ukirannya yang sangat memikat pandangan. Semua itu menjadikan masjid yang satu ini salah satu mutiara arsitektur Mesir yang sangat bernilai. Di sisi lain, masjid ini menjadi titik akhir pelbagai tradisi gaya arsitektur Islam lama dan titik awal kelahiran sebuah gaya baru arsitektur Islam di Mesir. Sayangnya, masjid ini tidak lagi berfungsi sebagai masjid!

Sebenarnya Masjid Muhammad ’Ali, atau Masjid Marmer, demikian sebutan yang diberikan oleh buku-buku yang terbit di luar Mesir, karena seluruh dinding dalam maupun luarnya diselimuti marmer, bukan masjid bergaya Turki yang pertama kali didirikan di Mesir. Sebelumnya, telah ada sebuah masjid bergaya Turki berukuran kecil yang didirikan di masa pemerintahan Dinasti Usmaniyyah. Sayang, masjid tersebut telah sirna digulung zaman. Meski demikian, dari khazanah masa Turki tersebut masih tersisa sebuah masjid indah, yaitu Sitt Shafiyyah di Jalan Muhammad ‘Ali yang tidak jauh dari Medan Qal‘ah. Masjid terakhir tersebut didirikan oleh seorang hamba sahaya perempuan asal Yunani milik Sultan Muhammad III, Turki. Setelah memeluk Islam, perempuan bernama Sophie tersebut kemudian mengubah namanya menjadi Shafiyyah dan menjadi seorang perempuan yang saleh. Meski demikian, ia tidak terlepas dari intrik-intrik yang terjadi di dalam harem (harim) sang sultan, sehingga nyawanya hampir melayang. Namun, sang sultan kemudian memaafkannya, dengan syarat Shafiyyah harus meninggalkan Istanbul. Maka, ia pun memilih menuju Mesir. Ternyata, hidupnya di negeri baru tersebut lebih berbahagia. Dengan dana yang dimilikinya, ia pun mendirikan sebuah masjid indah yang tegak di atas panggung tinggi. Untuk bisa sampai ke dalam masjid tersebut harus melewati tangga-tangga setengah lingkaran yang sangat indah. Masjid kecil dan indah tersebut memiliki bait ash-shalah yang dilengkapi dengan sederet bukaan-bukaan tinggi menjulang yang diberi dekorasi dengan kaca berwarna-warni, kubah nan indah, dan jendela-jendela di bagian bawah yang berukuran besar yang diberi tralis.

No comments: