“Mas, Muhammad ‘Ali yang membangun masjid ini sejatinya siapa?” tanya istri tercinta seraya memandangi masjid yang “bertengger” di atas Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi, Kairo. Hari di jam tangan saya kala itu menunjuk hari Ahad, 25 Maret 2007.
“Dia adalah penguasa Mesir berdarah Albania yang terkenal sebagai tokoh pembaharu dan perintis pendidikan sistem Barat di Mesir,” jawab saya seraya menapakkan kaki mengelilingi shahn masjid yang megah dan indah ini. “Tokoh yang dalam fotonya selalu mengenakan sorban besar dan berkumis melintang ini lahir di Kavalla, Albania, pada 1177 H/1765 M. Putra penjual rokok ini sejak kecil terpaksa harus bekerja keras. Karena itu, bukan luar biasa bila ia tidak bisa membaca dan menulis. Setelah dewasa, ia bekerja sebagai pemungut pajak. Melihat kecakapannya, ia kemudian diambil menantu penguasa negerinya. Lantas, ia memasuki dinas militer. Ternyata, di bidang militer ia menunjukkan kemampuannya yang gemilang. Ia segera naik pangkat menjadi perwira. Karena kemampuannya itu, ia kemudian dikirim ke Mesir. Pada 1216 H/1801 M, ketika pasukan Perancis meninggalkan negeri Mesir, ia segera mengisi kekosongan kekuasaan politik ketika itu. Kemudian setelah berhasil mengalahkan pasukan Dinasti Mamluk, akhirnya pada 1220 H/1805 M ia diakui Sultan Turki sebagai Gubernur Mesir. Tapi, ia kemudian mampu melepaskan diri dari “pengawasan” pemerintahan Turki dan membentuk dinasti sendiri.”
“Keberhasilan tersebut membuat Muhammad ‘Ali terukir sebagai perintis sejarah modern Mesir. Selain memajukan bidang pendidikan dan administrasi negara, ia juga membina suatu angkatan bersenjata yang modern. Tak aneh bila hal itu kemudian membuatnya menjadi orang yang paling berkuasa di negeri ini Malah, ia kemudian melebarkan wilayah Mesir dengan menduduki Sudan. Namun, upayanya untuk menguasai Suriah mengalami kegagalan, karena pasukannya berhasil dihalau oleh pasukan Turki yang berkuasa di negeri itu. Dan, setelah ia meninggal dunia pada 1266 H/1849 M, ia digantikan oleh ‘Abbas I (1265-1271 H/1848-1854 M).”
Sejenak saya berhenti bercerita dan menarik napas panjang Dan, beberapa saat kemudian, saya berkata lebih lanjut, “Di samping itu, seingat saya, Muhammad ‘Ali adalah raja Mesir satu-satunya yang pernah berpetualang ke Jawa loh!”
“Loh, kok Mas tahu, ia pernah berpetualang ke Jawa?” tanya istri saya penuh rasa ingin tahu.
“Ketika saya masih menjadi mahasiswa di Mesir ini, saya kan suka memburu buku-buku langka ke perpustakaan nasional negeri ini, Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, dan perpustakaan-perpustakaan lainnya. Nah, suatu hari, ketika saya sedang memburu buku-buku yang demikian itu di Institute d’Egypte yang saat itu berlokasi di dekat Gedung Majlis Al-Sya‘b, tidak jauh dari Universitas Amerika yang terletak di samping Maidan Tahrir, saya menemukan sebuah buku sangat langka berjudul Rihlah Muhammad ‘Ali ila Jazirah Jawa (Perjalanan Muhammad ‘Ali ke Pulau Jawa) yang menuturkan kisah petualangannya dengan naik kapal ke Jawa. Sayang, saya saat itu tidak boleh memfotokopi buku langka itu. Seandainya KBRI di Kairo ini dapat memiliki fotokopi karya langka itu dan menyerahkannya ke Perpustakaan Nasional di Jakarta, tentu karya itu akan memperkaya sejarah Indonesia,” jawab saya seraya mengingat Gedung Institute d’Egypte pada tahun-tahun 1980-an yang terletak di Kasr El Aini St., di seberang Toko Buku Al-Sya‘b.
“Sayang ya, buku itu tidak berhasil Mas peroleh,” sergah istri saya.
Sejenak kami pun diam seraya menapakkan kaki mengelingi shahn Masjid Muhammad ‘Ali yang bergaya Turki Usmaniyyah itu. Dan, beberapa saat kemudian, istri saya bertanya,” Mas, gaya masjid ini kok beda dengan gaya arsitektural masjid-masjid Mesir lainnya ya?”
“Neng benar,” jawab saya seraya mengingat-ingat sejarah masjid di Mesir. “Masjid ini dibangun Muhammad ‘Ali dengan mengikuti gaya arsitektural Turki Usmaniyyah. Bagaimana gaya arsitektektural tersebut, mau tahu ceritanya?”
“Ceritakan saja,” ucap istri tercinta saya seraya masuk ke dalam bait al-shalah (ruang shalat) Masjid Muhammad ‘Ali yang dipendari lampu gantung raksasa.
Gaya arsitektural Turki Usmaniyyah yang sejatinya merupakan kelanjutan dari gaya arsitektural Saljuq ini terbentuk selama perluasan yang dilancarkan Dinasti Usmaniyyah di Asia Kecil sepanjang penggal kedua abad ke-13 M. Tatkala Urkhan, penguasa ke-2 Dinasti Usmaniyyah (berkuasa antara 727-769 H/1326-1362 M) berhasil menguasai Borsa dan memindahkan pusat pemerintahan dinasti yang baru tumbuh itu ke kota tersebut, pelbagai karakteristik utama gaya Turki Usmaniyyah tampak gamblang pada sederet masjid yang dibangun para penguasa Dinasti Usmaniyyah di ibukota baru mereka, dan kemudian di kota-kota besar yang mereka kuasai. Karakteristik tersebut semakin tampak jelas tatkala mereka berhasil menaklukkan Konstantinopel yang kemudian mereka jadikan sebagai ibukota negara dengan nama baru: Istanbul. Karakteristik mulai muncul sejak penggal kedua abad ke-15 M.
Masjid pertama yang benar-benar menampilkan gaya Turki Usmaniyyah adalah Masjid Ulu Jami‘ yang dibangun Urkhan di Borsa. Masjid indah ini memiliki bait ash-shalah (ruang shalat) luas dengan sejumlah selasar. Di tengah-tengah selasar tengah terdapat sebuah kubah besar, sementara di atas selasar-selasar yang mengitari selasar tengah tersebut terdapat sejumlah kubah kecil. Cahaya menerobos masuk lewat celah-celah kecil di dinding yang menyangga kubah-kubah tersebut. Selepas pembangunan masjid ini, sejumlah masjid yang mirip dengan masjid di Borsa tersebut dibangun di Anatolia dan Romelli.
Pada beberapa masjid kecil yang mengikuti gaya Turki Usmaniyyah, di masa ini, masjid hanya terdiri dari sebuah bait ash-shalah utama yang di atasnya dibangun sebuah kubah. Di arah yang berlawanan dengan kiblat, bait ash-shalah tersebut diperluas lewat sebuah lobi (bahw) panjang yang memiliki sejumlah tiang. Seluruh atau sebagian lobi tersebut diberi penutup, sedangkan bagian yang lainnya menjadi shahn terbuka. Namun, sebagian di antara masjid-masjid tersebut hanya memiliki sebuah bait ash-shalah yang di”selimuti” sebuah kubah luas yang memiliki gaya Iran.
Gaya Turki Usmaniyyah ini sendiri mengalami perkembangan pada bangunan-bangunan berikut yang didirikan Dinasti Usmaniyyah. Khususnya pada madrasah-madrasah Sultan Murad I di Borsa. Gaya ini berhasil menyajikan keindahannya yang luar biasa pada Masjid Recil yang desainnya dirancang seorang arsitek terkemuka Turki kala itu, Ilyas ‘Ali. Pada masjid ini, juga pada sejumlah masjid yang dibangun Dinasti Usmaniyyah kala itu, bisa dirasakan dengan jelas pelbagai karakteristik gaya Saljuq lama dengan sentuhan-sentuhan gaya arsitektural Mamluk.
Gaya arsitektural ini, dalam perkembangannya selanjutnya, tetap mewarnai sejumlah bangunan yang didirikan Dinasti Usmaniyyah di Istanbul. Khususnya hal ini tampak gamblang pada madrasah-madrasah Mahmud Pasya (869 H/1464 M) dan Murad Pasya (sekitar 875 H/1470 M) serta Masjid ‘Ali Pasya yang indah (903 H/1497 M). Namun, masjid-masjid megah yang didirikan Dinasti Usmaniyyah setelah menjadi sebuah imperium besar mulai melirik gaya arsitektural Aya Sofia dan terpengaruh olehnya. Pada bangunan bekas gereja nan indah tersebut –yang kemudian dijadikan masjid- para arsitek Turki menemukan pelbagai solusi tepat yang menghadang mereka dalam mendirikan bangunan-bangunan yang megah, khususnya jika hal itu berkaitan dengan pembangunan ruang-ruang luas yang beratap tinggi dan sarat cahaya yang di atasnya tegak sebuah kubah raksasa. Seperti diketahui, dua arsitek asal Kota Alexandrettalah yang mendirikan Katedral Aya Sofia untuk Kaisar Bizantium, Justinian. Kubah tengah bangunan tersebut dibangun kedua arsitek itu di atas penyangga-penyangga batu raksasa yang menopang lengkung-lengkung terbuka yang sangat kokoh dan ramping. Di atas lengkung-lengkung itu dibangun sebuah kubah yang terdiri dari sejumlah lengkung tinggi menjulang yang saling memotong. Seluruh bangunan itu merupakan bangunan yang sangat selaras dan benar-benar canggih pembangunannya.
Meski demikian, para arsitek Dinasti Usmaniyyah mampu meniru bentuk arsitektural tersebut dengan kepiawaian yang luar biasa. Hal tampak gamblang pada Masjid Muhammadiyyah yang didirikan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih antara 868-874 H/1463-1469 M. Ada yang menyatakan, masjid tersebut merupakan hasil karya seorang arsitek Kristen yang benar-benar menguasai gaya bangunan yang demikian itu. Namun, bagi siapa pun yang mengkaji dan meneliti secara cermat masjid tersebut, akan tampak gambling, masjid tersebut pada setiap rincinya bersemangatkan Islam, sehingga sangat sulit untuk diterima masjid itu hasil karya seorang non-Muslim. Masjid itu sendiri telah beberapa kali mengalami perbaikan dan pemugaran, sehingga sulit dikatakan bangunan yang ada dewasa ini merupakan bangunan asli.
Di antara sejumlah masjid yang didirikan Dinasti Usmaniyyah yang tetap dalam keadaan aslinya dari masa itu adalah Masjid Sultan Bayazid (907-911 H/1501-1507 M). Masjid di Istanbul ini dirancang oleh seorang arsitek terkemuka kala itu, Khair Al-Din. Gaya masjid ini mengikuti gaya Aya Sofia. Di masjid tersebut terdapat ruang tengah yang sangat lapang yang di atasnya dibuat separuh kubah. Sementara di kedua sisi ruang tersebut membentang sebuah ruang samping. Di kedua sudut bagian muka masjid itu terdapat dua menara tinggi menjulang bagaikan pensil panjang menguak angkasa.
Dalam perjalanan waktu berikutnya, dunia arsitektur Dinasti Usmaniyyah menapaki perkembangan yang luar biasa di tangan seorang arsitek jenius yang setara dengan para arsitek agung Masa Renessans yang menghias Kota Roma dan kota-kota lainnya dengan puncak-puncak pencapaian di bidang arsitektur. Arsitek tersebut tidak lain adalah Sinan Pasya yang berpulang ke hadirat Allah SWT pada 986 H/1578 M. Beberapa peneliti Barat, dalam upaya mereka mengecilkan khidmat sang arsitek terhadap Islam dan para pemeluknya, menyatakan arsitek tersebut berdarah Yunani atau Albania. Namun, realita tidak menopang pernyataan yang demikian itu. Sebab, Sinan benar-benar seorang Turki Muslim asli dari kepala hingga telapak kedua kakinya dan seluruh rinci karya-karyanya benar-benar bercorakkan Islam.
Karya tahap pertama yang dirancang dan dibangun oleh Sinan adalah Masjid Sehzade (950-955 H/1543-1548 M). Masjid ini mengikuti gaya Masjid Muhammadiyyah. Karya tahap kedua adalah Masjid Sulaimaniyyah (957-964 H/1550-1556 M) yang banyak diwarnai gaya Aya Sofia. Sedangkan karya tahap ketiga yang juga merupakan puncak karyanya adalah Masjid Salimiyyah di Edirne (978-982 H/1570-1574 M). Di sini, Sinan mengikuti jejak Aya Sofia. Karena itu, ia membuat kubah ruang tengah masjid itu di atas suatu bidang lapang yang dikelilingi dua belas penyangga yang menopang dua belas lengkung yang mengitari bidang tersebut. Kemudian di atas lengkung-lengkung tersebut terdapat roda-roda yang diselingi jendela-jendela berkaca berwarna. Di atas roda-roda tersebut, yang membuat suatu bentuk yang terdiri dari dua belas dinding, terdapat kubah separoh. Sementara di sebelah kanan dan kiri ruang tengah membentang selasar-selasar samping yang dihiasi sejumlah kubah kecil. Semua kubah kecil tersebut diselimuti pualam dan marmer.
Dengan desain yang demikian, dan kemudian tatkala kita sedang berada di tengah-tengah bangunan tersebut di bawah kubah utama, tentu kita akan mengakui kejeniusan sang arsitek yang selama hayatnya telah mendirikan sekitar dua ratus bangunan. Baik apakah berbentuk masjid, madrasah, jembatan, maupun istana. Di sisi lain, lewat tangan Sinan lahir sebuah aliran besar para arsitek yang mampu mengantarkan arsitektur Dinasti Usmaniyyah ke puncak pencapaian yang diharapkannya. Di antara mereka adalah Hoja Kaseem, pendiri Masjid Yeni-Validi.
“Mas, kok ceritanya panjang sekali?” ucap istri saya dengan muka yang agak kurang senang.
“Sekali-kali ceritanya panjang, ya. Biar lebih jelas,” jawab saya seraya mengamati pelbagai detail Masjid Muhammad ‘Ali. Dan, selepas itu kami (saya, istri, dan Mas Oyik) meneruskan perjalanan menuju Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash di Fusthath, Kairo.
“Dia adalah penguasa Mesir berdarah Albania yang terkenal sebagai tokoh pembaharu dan perintis pendidikan sistem Barat di Mesir,” jawab saya seraya menapakkan kaki mengelilingi shahn masjid yang megah dan indah ini. “Tokoh yang dalam fotonya selalu mengenakan sorban besar dan berkumis melintang ini lahir di Kavalla, Albania, pada 1177 H/1765 M. Putra penjual rokok ini sejak kecil terpaksa harus bekerja keras. Karena itu, bukan luar biasa bila ia tidak bisa membaca dan menulis. Setelah dewasa, ia bekerja sebagai pemungut pajak. Melihat kecakapannya, ia kemudian diambil menantu penguasa negerinya. Lantas, ia memasuki dinas militer. Ternyata, di bidang militer ia menunjukkan kemampuannya yang gemilang. Ia segera naik pangkat menjadi perwira. Karena kemampuannya itu, ia kemudian dikirim ke Mesir. Pada 1216 H/1801 M, ketika pasukan Perancis meninggalkan negeri Mesir, ia segera mengisi kekosongan kekuasaan politik ketika itu. Kemudian setelah berhasil mengalahkan pasukan Dinasti Mamluk, akhirnya pada 1220 H/1805 M ia diakui Sultan Turki sebagai Gubernur Mesir. Tapi, ia kemudian mampu melepaskan diri dari “pengawasan” pemerintahan Turki dan membentuk dinasti sendiri.”
“Keberhasilan tersebut membuat Muhammad ‘Ali terukir sebagai perintis sejarah modern Mesir. Selain memajukan bidang pendidikan dan administrasi negara, ia juga membina suatu angkatan bersenjata yang modern. Tak aneh bila hal itu kemudian membuatnya menjadi orang yang paling berkuasa di negeri ini Malah, ia kemudian melebarkan wilayah Mesir dengan menduduki Sudan. Namun, upayanya untuk menguasai Suriah mengalami kegagalan, karena pasukannya berhasil dihalau oleh pasukan Turki yang berkuasa di negeri itu. Dan, setelah ia meninggal dunia pada 1266 H/1849 M, ia digantikan oleh ‘Abbas I (1265-1271 H/1848-1854 M).”
Sejenak saya berhenti bercerita dan menarik napas panjang Dan, beberapa saat kemudian, saya berkata lebih lanjut, “Di samping itu, seingat saya, Muhammad ‘Ali adalah raja Mesir satu-satunya yang pernah berpetualang ke Jawa loh!”
“Loh, kok Mas tahu, ia pernah berpetualang ke Jawa?” tanya istri saya penuh rasa ingin tahu.
“Ketika saya masih menjadi mahasiswa di Mesir ini, saya kan suka memburu buku-buku langka ke perpustakaan nasional negeri ini, Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, dan perpustakaan-perpustakaan lainnya. Nah, suatu hari, ketika saya sedang memburu buku-buku yang demikian itu di Institute d’Egypte yang saat itu berlokasi di dekat Gedung Majlis Al-Sya‘b, tidak jauh dari Universitas Amerika yang terletak di samping Maidan Tahrir, saya menemukan sebuah buku sangat langka berjudul Rihlah Muhammad ‘Ali ila Jazirah Jawa (Perjalanan Muhammad ‘Ali ke Pulau Jawa) yang menuturkan kisah petualangannya dengan naik kapal ke Jawa. Sayang, saya saat itu tidak boleh memfotokopi buku langka itu. Seandainya KBRI di Kairo ini dapat memiliki fotokopi karya langka itu dan menyerahkannya ke Perpustakaan Nasional di Jakarta, tentu karya itu akan memperkaya sejarah Indonesia,” jawab saya seraya mengingat Gedung Institute d’Egypte pada tahun-tahun 1980-an yang terletak di Kasr El Aini St., di seberang Toko Buku Al-Sya‘b.
“Sayang ya, buku itu tidak berhasil Mas peroleh,” sergah istri saya.
Sejenak kami pun diam seraya menapakkan kaki mengelingi shahn Masjid Muhammad ‘Ali yang bergaya Turki Usmaniyyah itu. Dan, beberapa saat kemudian, istri saya bertanya,” Mas, gaya masjid ini kok beda dengan gaya arsitektural masjid-masjid Mesir lainnya ya?”
“Neng benar,” jawab saya seraya mengingat-ingat sejarah masjid di Mesir. “Masjid ini dibangun Muhammad ‘Ali dengan mengikuti gaya arsitektural Turki Usmaniyyah. Bagaimana gaya arsitektektural tersebut, mau tahu ceritanya?”
“Ceritakan saja,” ucap istri tercinta saya seraya masuk ke dalam bait al-shalah (ruang shalat) Masjid Muhammad ‘Ali yang dipendari lampu gantung raksasa.
Gaya arsitektural Turki Usmaniyyah yang sejatinya merupakan kelanjutan dari gaya arsitektural Saljuq ini terbentuk selama perluasan yang dilancarkan Dinasti Usmaniyyah di Asia Kecil sepanjang penggal kedua abad ke-13 M. Tatkala Urkhan, penguasa ke-2 Dinasti Usmaniyyah (berkuasa antara 727-769 H/1326-1362 M) berhasil menguasai Borsa dan memindahkan pusat pemerintahan dinasti yang baru tumbuh itu ke kota tersebut, pelbagai karakteristik utama gaya Turki Usmaniyyah tampak gamblang pada sederet masjid yang dibangun para penguasa Dinasti Usmaniyyah di ibukota baru mereka, dan kemudian di kota-kota besar yang mereka kuasai. Karakteristik tersebut semakin tampak jelas tatkala mereka berhasil menaklukkan Konstantinopel yang kemudian mereka jadikan sebagai ibukota negara dengan nama baru: Istanbul. Karakteristik mulai muncul sejak penggal kedua abad ke-15 M.
Masjid pertama yang benar-benar menampilkan gaya Turki Usmaniyyah adalah Masjid Ulu Jami‘ yang dibangun Urkhan di Borsa. Masjid indah ini memiliki bait ash-shalah (ruang shalat) luas dengan sejumlah selasar. Di tengah-tengah selasar tengah terdapat sebuah kubah besar, sementara di atas selasar-selasar yang mengitari selasar tengah tersebut terdapat sejumlah kubah kecil. Cahaya menerobos masuk lewat celah-celah kecil di dinding yang menyangga kubah-kubah tersebut. Selepas pembangunan masjid ini, sejumlah masjid yang mirip dengan masjid di Borsa tersebut dibangun di Anatolia dan Romelli.
Pada beberapa masjid kecil yang mengikuti gaya Turki Usmaniyyah, di masa ini, masjid hanya terdiri dari sebuah bait ash-shalah utama yang di atasnya dibangun sebuah kubah. Di arah yang berlawanan dengan kiblat, bait ash-shalah tersebut diperluas lewat sebuah lobi (bahw) panjang yang memiliki sejumlah tiang. Seluruh atau sebagian lobi tersebut diberi penutup, sedangkan bagian yang lainnya menjadi shahn terbuka. Namun, sebagian di antara masjid-masjid tersebut hanya memiliki sebuah bait ash-shalah yang di”selimuti” sebuah kubah luas yang memiliki gaya Iran.
Gaya Turki Usmaniyyah ini sendiri mengalami perkembangan pada bangunan-bangunan berikut yang didirikan Dinasti Usmaniyyah. Khususnya pada madrasah-madrasah Sultan Murad I di Borsa. Gaya ini berhasil menyajikan keindahannya yang luar biasa pada Masjid Recil yang desainnya dirancang seorang arsitek terkemuka Turki kala itu, Ilyas ‘Ali. Pada masjid ini, juga pada sejumlah masjid yang dibangun Dinasti Usmaniyyah kala itu, bisa dirasakan dengan jelas pelbagai karakteristik gaya Saljuq lama dengan sentuhan-sentuhan gaya arsitektural Mamluk.
Gaya arsitektural ini, dalam perkembangannya selanjutnya, tetap mewarnai sejumlah bangunan yang didirikan Dinasti Usmaniyyah di Istanbul. Khususnya hal ini tampak gamblang pada madrasah-madrasah Mahmud Pasya (869 H/1464 M) dan Murad Pasya (sekitar 875 H/1470 M) serta Masjid ‘Ali Pasya yang indah (903 H/1497 M). Namun, masjid-masjid megah yang didirikan Dinasti Usmaniyyah setelah menjadi sebuah imperium besar mulai melirik gaya arsitektural Aya Sofia dan terpengaruh olehnya. Pada bangunan bekas gereja nan indah tersebut –yang kemudian dijadikan masjid- para arsitek Turki menemukan pelbagai solusi tepat yang menghadang mereka dalam mendirikan bangunan-bangunan yang megah, khususnya jika hal itu berkaitan dengan pembangunan ruang-ruang luas yang beratap tinggi dan sarat cahaya yang di atasnya tegak sebuah kubah raksasa. Seperti diketahui, dua arsitek asal Kota Alexandrettalah yang mendirikan Katedral Aya Sofia untuk Kaisar Bizantium, Justinian. Kubah tengah bangunan tersebut dibangun kedua arsitek itu di atas penyangga-penyangga batu raksasa yang menopang lengkung-lengkung terbuka yang sangat kokoh dan ramping. Di atas lengkung-lengkung itu dibangun sebuah kubah yang terdiri dari sejumlah lengkung tinggi menjulang yang saling memotong. Seluruh bangunan itu merupakan bangunan yang sangat selaras dan benar-benar canggih pembangunannya.
Meski demikian, para arsitek Dinasti Usmaniyyah mampu meniru bentuk arsitektural tersebut dengan kepiawaian yang luar biasa. Hal tampak gamblang pada Masjid Muhammadiyyah yang didirikan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih antara 868-874 H/1463-1469 M. Ada yang menyatakan, masjid tersebut merupakan hasil karya seorang arsitek Kristen yang benar-benar menguasai gaya bangunan yang demikian itu. Namun, bagi siapa pun yang mengkaji dan meneliti secara cermat masjid tersebut, akan tampak gambling, masjid tersebut pada setiap rincinya bersemangatkan Islam, sehingga sangat sulit untuk diterima masjid itu hasil karya seorang non-Muslim. Masjid itu sendiri telah beberapa kali mengalami perbaikan dan pemugaran, sehingga sulit dikatakan bangunan yang ada dewasa ini merupakan bangunan asli.
Di antara sejumlah masjid yang didirikan Dinasti Usmaniyyah yang tetap dalam keadaan aslinya dari masa itu adalah Masjid Sultan Bayazid (907-911 H/1501-1507 M). Masjid di Istanbul ini dirancang oleh seorang arsitek terkemuka kala itu, Khair Al-Din. Gaya masjid ini mengikuti gaya Aya Sofia. Di masjid tersebut terdapat ruang tengah yang sangat lapang yang di atasnya dibuat separuh kubah. Sementara di kedua sisi ruang tersebut membentang sebuah ruang samping. Di kedua sudut bagian muka masjid itu terdapat dua menara tinggi menjulang bagaikan pensil panjang menguak angkasa.
Dalam perjalanan waktu berikutnya, dunia arsitektur Dinasti Usmaniyyah menapaki perkembangan yang luar biasa di tangan seorang arsitek jenius yang setara dengan para arsitek agung Masa Renessans yang menghias Kota Roma dan kota-kota lainnya dengan puncak-puncak pencapaian di bidang arsitektur. Arsitek tersebut tidak lain adalah Sinan Pasya yang berpulang ke hadirat Allah SWT pada 986 H/1578 M. Beberapa peneliti Barat, dalam upaya mereka mengecilkan khidmat sang arsitek terhadap Islam dan para pemeluknya, menyatakan arsitek tersebut berdarah Yunani atau Albania. Namun, realita tidak menopang pernyataan yang demikian itu. Sebab, Sinan benar-benar seorang Turki Muslim asli dari kepala hingga telapak kedua kakinya dan seluruh rinci karya-karyanya benar-benar bercorakkan Islam.
Karya tahap pertama yang dirancang dan dibangun oleh Sinan adalah Masjid Sehzade (950-955 H/1543-1548 M). Masjid ini mengikuti gaya Masjid Muhammadiyyah. Karya tahap kedua adalah Masjid Sulaimaniyyah (957-964 H/1550-1556 M) yang banyak diwarnai gaya Aya Sofia. Sedangkan karya tahap ketiga yang juga merupakan puncak karyanya adalah Masjid Salimiyyah di Edirne (978-982 H/1570-1574 M). Di sini, Sinan mengikuti jejak Aya Sofia. Karena itu, ia membuat kubah ruang tengah masjid itu di atas suatu bidang lapang yang dikelilingi dua belas penyangga yang menopang dua belas lengkung yang mengitari bidang tersebut. Kemudian di atas lengkung-lengkung tersebut terdapat roda-roda yang diselingi jendela-jendela berkaca berwarna. Di atas roda-roda tersebut, yang membuat suatu bentuk yang terdiri dari dua belas dinding, terdapat kubah separoh. Sementara di sebelah kanan dan kiri ruang tengah membentang selasar-selasar samping yang dihiasi sejumlah kubah kecil. Semua kubah kecil tersebut diselimuti pualam dan marmer.
Dengan desain yang demikian, dan kemudian tatkala kita sedang berada di tengah-tengah bangunan tersebut di bawah kubah utama, tentu kita akan mengakui kejeniusan sang arsitek yang selama hayatnya telah mendirikan sekitar dua ratus bangunan. Baik apakah berbentuk masjid, madrasah, jembatan, maupun istana. Di sisi lain, lewat tangan Sinan lahir sebuah aliran besar para arsitek yang mampu mengantarkan arsitektur Dinasti Usmaniyyah ke puncak pencapaian yang diharapkannya. Di antara mereka adalah Hoja Kaseem, pendiri Masjid Yeni-Validi.
“Mas, kok ceritanya panjang sekali?” ucap istri saya dengan muka yang agak kurang senang.
“Sekali-kali ceritanya panjang, ya. Biar lebih jelas,” jawab saya seraya mengamati pelbagai detail Masjid Muhammad ‘Ali. Dan, selepas itu kami (saya, istri, dan Mas Oyik) meneruskan perjalanan menuju Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash di Fusthath, Kairo.
1 comment:
foto foto masjidnya banyakin dong pak'de...biar tau bedanya masjid gaya jaman saljuq sama mamluk lebih jelas lagi
Post a Comment