Usai menikmati pelbagai sudut pusat Kota Kairo bersama istri tercinta, siang hari itu (31 Maret 2007) kami menuju sebuah distrik yang terkenal dengan sebutan Husain. Ketika kita berada di distrik ini, sejatinya kita berada di pusat Kota Kairo ketika pertama kali didirikan sekitar 1.035 tahun yang lalu oleh seorang jenderal Dinasti Fathimiyyah yang memimpin penaklukan atas Mesir pada 362 H/972 M. Di distrik inilah kita dapat menyaksikan sejumlah khazanah arsitektur Islam yang luar biasa kaya. Termasuk Masjid Al-Azhar, Pusat Kerajinan Tradisional Mesir “Khan Khalili”, dan Masjid (dan Makam) Imam Al-Husain bin ‘Ali, cucu tercinta Rasulullah Saw. Karena itu, selepas “berpusing-pusing” beberapa lama di Khan Khalili, saya pun menapakkan kaki masuk ke dalam masjid (istri menuju pintu lain, karena di dalam masjid ini pintu kaum pria dan kaum perempuan terpisah). Di dalam masjid ini, di sebelah mihrab, terdapat sebuah makam yang dikatakan sebagai makam Imam Al-Husain bin ‘Ali.
Seperti diketahui, putra kedua ‘Ali bin Abu Thalib dari pernikahannya dengan putri bungsu Nabi Muhammad Saw., Fathimah Al-Zahra’, itu lahir di Madinah pada Kamis, 5 Sya‘ban 4 H/9 Januari 625 M. Ia tetap bermukim di Madinah hingga akhirnya ikut ayahandanya berangkat ke Kufah. Di sana ia aktif mengikuti semua kegiatan ayahandanya dan tetap tinggal bersama sang ayah hingga ayahandanya tewas terbunuh. Kemudian ia ikut saudaranya hingga akhirnya berpisah dan pulanglah ia kembali ke Madinah dan menetap di sana, sampai Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah, meninggal dunia pada 60 H/680 M.
Tokoh yang mendapat gelar Abu Al-Syuhada’ (Ayahanda Para Syahid) dan berjiwa lapang ini mulai menunjukkan sikap kerasnya yang menentang Dinasti Umawiyyah pada 60 H/680 M. Kala itu Bani Umayyah mulai menjadikan sistem khalifah dapat diwariskan. Akibat sikapnya itu, Yazid bin Mu‘awiyah, yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai orang nomor satu dinasti tersebut, mengutus gubernur Madinah kala itu, Al-Walid bin ‘Utbah bin Abu Sufyan, agar meminta Imam Al-Husain untuk mengakui kedudukan Yazid sebagai khalifah. Namun, cucu Nabi Saw. yang dalam satu munajatnya di Ka‘bah merintih, “Tuhanku! Engkau telah memberi nikmat kepadaku. Namun, Engkau mendapatkan aku tidak bersyukur. Engkau pun telah mencobaku. Namun, Engkau mendapatkan aku tidak bersabar. Padahal, Engkau tidak mencabut nikmat itu karena tiada syukur itu, dan tidak membiarkan kesulitan itu berlarut-larut karena ketiadaan sabar itu. Tuhanku! Tidaklah terjadi dari Yang Maha Pemurah, melainkan kemurahan” ini menolak permintaan itu.
Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Imam Al-Husain kemudian pindah ke Makkah. Di sana ia ditemui para pendukungnya dari Kufah yang menyatakan kesediaan mereka untuk mengangkat senjata guna menopang kedudukannya. Imam Al-Husain pun, bersama sekitar 80 orang keluarga dan pendukungnya, menuju Kufah. Di tengah perjalanan mereka bertemu di Al-Sifah dengan Al-Farazdaq, seorang sastrawan terkemuka kala itu. Ketika bertemu Imam Al-Husain, sang sastrawan menasihatinya agar Imam Al-Husain mengurungkan niatnya, “Hati masyarakat bersama Anda. Tapi, senjata mereka bersama Bani Umyyah!”
Seperti diketahui, putra kedua ‘Ali bin Abu Thalib dari pernikahannya dengan putri bungsu Nabi Muhammad Saw., Fathimah Al-Zahra’, itu lahir di Madinah pada Kamis, 5 Sya‘ban 4 H/9 Januari 625 M. Ia tetap bermukim di Madinah hingga akhirnya ikut ayahandanya berangkat ke Kufah. Di sana ia aktif mengikuti semua kegiatan ayahandanya dan tetap tinggal bersama sang ayah hingga ayahandanya tewas terbunuh. Kemudian ia ikut saudaranya hingga akhirnya berpisah dan pulanglah ia kembali ke Madinah dan menetap di sana, sampai Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah, meninggal dunia pada 60 H/680 M.
Tokoh yang mendapat gelar Abu Al-Syuhada’ (Ayahanda Para Syahid) dan berjiwa lapang ini mulai menunjukkan sikap kerasnya yang menentang Dinasti Umawiyyah pada 60 H/680 M. Kala itu Bani Umayyah mulai menjadikan sistem khalifah dapat diwariskan. Akibat sikapnya itu, Yazid bin Mu‘awiyah, yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai orang nomor satu dinasti tersebut, mengutus gubernur Madinah kala itu, Al-Walid bin ‘Utbah bin Abu Sufyan, agar meminta Imam Al-Husain untuk mengakui kedudukan Yazid sebagai khalifah. Namun, cucu Nabi Saw. yang dalam satu munajatnya di Ka‘bah merintih, “Tuhanku! Engkau telah memberi nikmat kepadaku. Namun, Engkau mendapatkan aku tidak bersyukur. Engkau pun telah mencobaku. Namun, Engkau mendapatkan aku tidak bersabar. Padahal, Engkau tidak mencabut nikmat itu karena tiada syukur itu, dan tidak membiarkan kesulitan itu berlarut-larut karena ketiadaan sabar itu. Tuhanku! Tidaklah terjadi dari Yang Maha Pemurah, melainkan kemurahan” ini menolak permintaan itu.
Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Imam Al-Husain kemudian pindah ke Makkah. Di sana ia ditemui para pendukungnya dari Kufah yang menyatakan kesediaan mereka untuk mengangkat senjata guna menopang kedudukannya. Imam Al-Husain pun, bersama sekitar 80 orang keluarga dan pendukungnya, menuju Kufah. Di tengah perjalanan mereka bertemu di Al-Sifah dengan Al-Farazdaq, seorang sastrawan terkemuka kala itu. Ketika bertemu Imam Al-Husain, sang sastrawan menasihatinya agar Imam Al-Husain mengurungkan niatnya, “Hati masyarakat bersama Anda. Tapi, senjata mereka bersama Bani Umyyah!”
Nasihat serupa juga dikemukakan ‘Abdullah bin Al-‘Abbas, pamandanya. Sang paman memberikan nasihat, jikalau Imam Al-Husain bin ‘Ali betul-betul berambisi untuk membentuk kekuasaan tandingan atas Yazid bin Mu‘awiyah, maka sebaiknya ia bertolak dan membangun basis pertahanan dalam wilayah Yaman. Sebab, di negeri itu terdapat para pendukung yang fanatik ayahnya. Lagi pula mereka lebih dapat dipercaya kejujuran dan kesetiaannya, di samping kondisi alamiah di negeri itu amat menguntungkan sebagai basis pertahanan meski harus berhadapan dengan kekuatan lawan yang berjumlah besar.
Namun, Imam Al-Husain bin ‘Ali tidak mengindahkan nasihat sang sastrawan maupun sang paman. Ketika rombongan itu tiba di Karbala’, suatu tempat sekitar 50 kilometer dari Kufah, Iraq, perjalanan rombongan ini dihadang sekitar 1.000 orang pasukan berkuda Dinasti Umawiyyah, di bawah komando ‘Ubaidullah bin Ziyad, gubernur Kufah kala itu. Pada Selasa, 10 Muharram 61 H yang bertepatan dengan 9 Oktober 680 M, terjadi pertempuran tidak berimbang di antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Imam Al-Husain gugur bersama putra-putranya: ‘Abdullah, Abu Bakar, dan ‘Ali, dan saudara-saudaranya: ‘Abdullah, Ja‘far, ‘Utsman, Al-‘Abbas, dan Muhammad serta kemenakannya: Al-Qasim bin Al-Hasan di Karbala’.
Nah, jika Imam Al-Husain bin ‘Ali tewas di Karbala’, Iraq, dan hingga saat ini di kota itu terdapat Masjid dan Makam Imam Al-Husain, kenapa di Mesir juga ada masjid dan makam yang sama? Jika demikian, di manakah sebenarnya Makam Imam Al-Husain? Itulah rentetan pertanyaan yang memenuhi benak saya (selepas melaksanakan shalat tahiyyah masjid di masjid itu), ketika saya asyik memandangi orang-orang tak henti-hentinya memasuki makam itu.
Tiada jawaban yang pasti, dari pelbagai catatan sejarah Islam yang ada, terhadap pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu. Hanya Al-Maqrizi dalam karyanya Al-Khithath dan Abu Al-Fida’ dalam karyanya Al-Mukhtashar fi Akhbar Al-Basyar menyatakan, selepas tewas di Karbala’, kepala Imam Al-Husain kemudian dikebumikan di ‘Asqalan, Palestina. Kemudian, ketika Dinasti Fathimiyyah berkuasa di Mesir, “jenazah” Sang Imam itu dipindahkan ke Kairo! Sehingga, hingga kini, di Kairo pun terdapat Masjid dan Makam Imam Al-Husain seperti halnya di Karbala’, Iraq.
No comments:
Post a Comment