Friday, May 4, 2007

Kisah Ringkas Negeri Piramid dalam Lintasan Sejarah Islam

“Mas, kayaknya tidak semua orang Mesir taat melaksanakan ajaran Islam, ya? Kenapa saya berpendapat begitu? Kemarin, ketika Mas, Mas Oyik, dan Mas Norman sedang shalat Jumat di pinggir jalan di Alexandria, saya kan jalan-jalan tidak jauh dari situ. Ternyata, saya lihat banyak orang-orang Mesir (pria) yang tidak shalat. Bagaimana sih sebenarnya keislaman orang Mesir?” tanya istri saya penuh rasa ingin tahu seraya meniti jalan di sekitar Pharaos Hotel, Dokki Kairo. Hari di jam tangan saya saat itu masih menunjuk hari Sabtu, 24 Maret 2007. Kebiasaan dia dalam melakukan anamnesa (wawancara secara rinci seorang dokter dengan pasien untuk mengetahui penyakitnya) memang telah membuat istri saya ini banyak bertanya. Tak aneh jika saya sering kelabakan mendapat pertanyaan-pertanyaan tak terduga dari dia.

“Sebentar, sebentar! Yang Neng (itulah panggilan akrab dia) lihat kemarin di Alexandria ya? Kalau di Alexandria, memang banyak warga kota itu yang non-Muslim. Kota itu sejak dulu memang banyak dihuni oleh warga non-Muslim. Hingga dewasa ini pun banyak di antara warga kota itu yang berdarah Armenia, Yunani, Yahudi, dan Koptik. Mereka kebanyakan bukan penganut Islam. Mungkin, orang-orang yang tidak shalat Jumat itu adalah orang-orang non-Muslim,” jawab saya mencoba memberikan pengertian kepadanya tentang peta demografis Alexandria.
“Kalau kaum Muslim Mesir secara keseluruhan bagaimana? Muslim taatkah mereka?” tanya istri saya, yang belum puas dengan jawaban yang saya berikan dan masih berupaya “menyergap” saya dengan pertanyaan yang kadang membuat saya kehilangan jawaban, seraya menikmati Kota Kairo di pagi hari yang masih sepi, karena hari Sabtu. Hari tersebut dan hari Jumat, di Kairo, ternyata sekarang merupakan hari-hari libur.
“Banyak juga sih orang-orang Muslim Mesir yang tidak taat melaksanakan ajaran Islam. Tapi, seperti sebagian saudara-saudara kita di tanah air, bagaimana pun brengsek dan menyimpang kelakuan yang mereka lakukan, mereka tetap tidak mau dikatakan sebagai Muslim kok. Islam telah mengakar begitu kuat dalam jiwa masyarakat Mesir,” jawab saya sedikit membela orang-orang Mesir.
“Sayang, ya. Tapi, saya selintas melihat Islam cukup mewarnai Mesir. Bagaimanakah sih sebenarnya sejarah perkembangan Islam di negeri ini? Saya kan perlu tahu sedikit sejarah negeri ini, sebelum nanti dijemput Mas Oyik dan Mas Norman. Malu kan, kalau saya gak tahu apa-apa tentang negeri ini,” ucap istri saya merajuk.
“Asal gak bosan ndengerin saja,” jawab saya seraya mengingat-ingat sejarah Mesir di bawah naungan Islam.

Islam, seperti diketahui, memasuki negeri yang sejak dini sering berinteraksi dengan kebudayaan asing ini pada 21 H/641 M, lewat pasukan Muslim di bawah pimpinan Jenderal ‘Amr bin Al-‘Ash. Sebelum jatuh ke pelukan pasukan kaum Muslim, negeri yang sering disebut orang Mesir sebagai “Umm Al-Dunya” (Ibunda Dunia) ini berada di bawah ke kuasaan Kekaisaran Romawi dan di bawah pimpinan penguasa Mesir, Muqaiqis yang kemudian menjadi mertua ‘Amr, karena ‘Amr kemudian menikah dengan Eugene, putri Muqaiqis. Selepas seluruh kawasan Mesir berada di bawah naungan panji-panji Islam, Fusththath, suatu tempat yang kini terletak di Kairo Lama dan sebelumnya merupakan benteng kerajaan yang biasa didiami deputi-deputi Kaisar Romawi, dijadikan sebagai ibukota wilayah Mesir. Memang, waktu itu Mesir masih merupakan salah satu provinsi kekhilafahan Islam, dengan pusat pemerintahannya di Madinah dan kemudian di Kufah.

Ketika Dinasti Umawiyyah muncul dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah, Mesir tetap menjadi salah satu wilayah dinasti itu. Nah, di sinilah akar historis upaya penyatuan Suriah-Mesir dalam sebuah negara persatuan dengan nama Republik Persatuan Arab yang pernah digegapgempitakan pada tahun-tahun enam puluhan. Kemudian, ketika Dinasti ‘Abbasiyyah tegak, dengan Baghdad Dar Al-Salam sebagai pusat pemerintahan, kedudukan Negeri Piramid ini tetap tidak berubah. Tetap sebagai salah satu wilayah dinasti itu. Mesir baru menjadi sebuah negara yang mandiri pada masa pemerintahan Dinasti Thuluniyyah (254-292 H/868-905 M), yang didirikan oleh Ahmad bin Thulun. Ini terjadi pada 264 H/302 M.

Pada sekitar abad ke-3 Hijriah itu pulalah bahasa Arab mulai menjadi bahasa pertama orang-orang Mesir. Sebelumnya, bahasa Yunani dan Koptiklah yang menjadi bahasa pertama warga negeri ini. Namun, ini tidak berarti kala itu bahasa Arab belum begitu tersebar luas. Sebab, begitu Islam memasuki negeri ini, segera pula para ilmuwan Muslim dan ulama memasuki negeri ini pula. Malah, kawasan ini kemudian melahirkan sejumlah ilmuwan dan ulama terkemuka. Misalnya, antara lain, adalah Ahmad bin Yahya (128 H/745 M), Sa‘id bin ‘Abdullah (173 H/789 M), ‘Abdurrahman bin Al-Qasim (191 H/806 M), ‘Abdullah bin Wahb (197 H/8M12), ‘Utsman bin Sa‘id (197 H/197 M), dan ‘Abdul Malik bin Hisyam (218 H/833 M). Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat di negeri ini dan keterbukaan masyarakat Mesir terhadap perkembangan ilmu pulalah yang membuat Imam Al-Syafi‘i datang ke negeri ini pada 198 H/813 M sampai ia berpulang pada 204 H/819 M.

Kota Kairo baru muncul pada 361 H/972 M, bersamaan dengan berdirinya Lembaga Pendidikan Al-Azhar yang dibangun oleh Jawhar Al-Shiqilli, panglima pasukan Dinasti Fathimiyyah (358-567 H/969-1171 M) yang kala itu di bawah pimpinan Khalifah Mu‘iz li Dinillah. Pembangunan kota yang menurut rancangan aslinya berbentuk persegi empat ini semula dimaksudkan sebagai kamp militer. Yang pertama-tama dibangun, kala itu, ialah sebuah istana besar di sayap timur kota itu, sebagai tempat tinggal khalifah dan para pegawainya serta sebagai pusat pemerintahan. Bagian ini menyita sekitar 70 feddan. Bangunan selanjutnya yang didirikan ialah istana di sayap barat kota ini yang ukurannya lebih kecil. Di antara kedua istana itu dipisahkan oleh sebuah tempat lapang yang dipakai untuk berbagai acara dan upacara.

Ketika khalifah Dinasti Fathimiyah kala itu, Mu‘iz li Dinillah (319-365 H/931-975 M), pindah dari Kota Al-Mahdiyah, Tunisia ke Kairo, kota terakhir ini ia jadikan sebagai ibukota dinastinya. Pada mulanya sang khalifah menginginkan kota ini sebagai kota tertutup bagi masyarakat luas. Bagi mereka telah disediakan Kota Fusthath yang telah ada sebelumnya dan dibangun oleh ‘Amr bin Al-‘Ash pada 21 H/642. Itulah sebabnya Mu‘iz li Dinillah membangun benteng batu bata di sekeliling kota yang dilengkapi beberapa pintu gerbang yang mengikuti gaya pintu gerbang Kota Al-Mahdiyah.

Sejak itu pulalah “gelar” ibukota senantiasa disandang oleh kota yang berarti “Sang Penakluk” ini. Selepas Dinasti Fathimiyyah tumbang, muncul kemudian Dinasti Ayyubiyyah (564-648 H/1169-1250 M) dengan pendirinya yang ternama: Shalahuddin Al-Ayyubi. Penguasa yang berhasil merebut Al-Quds dari tangan Pasukan Salib inilah yang membangun benteng yang kini masih tegak dengan gagahnya di sekitar Distrik Mesir Lama dan tidak jauh dari Bukit Muqaththam. Dinasti Mamluk (648-923 H/1250-1517 M) kemudian muncul menggantikan Dinasti Ayyubiyyah.

Mesir mencapai puncak perkembangannya setelah Baghdad Dar Al-Salam runtuh dijarah dan dibumihanguskan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada Ahad, 4 Shafar 656 H yang bertepatan dengan 10 Februari 1258 M. Sebab, dengan jatuhnya kota bundar yang dibangun oleh Abu Ja‘far Al-Manshur (penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah) itu, Kota Kairo pun menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ini karena kala itu banyak para ilmuwan dan ulama yang menyelamatkan diri ke kota itu. Kemudian dilengkapi dengan jatuhnya Kota Granada pada 898 H/1492 M akibat gempuran pasukan Spanyol di bawah pimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Dengan jatuhnya kedua kota itu, Kairo pun menjadi bintang kota-kota di dunia Islam kala itu. Keadaan ini berlangsung hingga Dinasti Mamluk tumbang dan jatuh, pada 923 H/1517 M, di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyyah. Dan, perjalanan panjang sejarah Mesir selanjutnya diwarnai dengan pelbagai pergantian kekuasaan, termasuk di antaranya ekspedisi militer Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte (1213-1216 H/1798-1801 M) dan pendudukan Inggris. Negeri ini baru meraih kemerdekaannya pada Rabu, 1 Dzu Al-Qa‘dah 1371 H/23 Juli 1953, lewat revolusi di bawah pimpinan “dua sejoli”: Mohammad Naguib dan Gamal Abdel Nasser.

“Loh, ‘Amr bin Al-‘Ash menikah dengan putri Muqaiqis?! Oh, itu tho yang dulu mau Mas ikuti ya?” tanya istri saya seraya tersenyum penuh makna.
“Sabar! Sabar! Neng, sejatinya banyak penguasa Muslim yang ibunda mereka bukan Muslimah dan asalnya bukan Muslimah loh. Nanti, suatu ketika, saya akan bercerita banyak tentang masalah ini. Terutama para penguasa Muslim di Andalusia. Hanya saja kisah-kisah itu belum banyak diketahui orang. Saya Insya Allah segera akan menyiapkan sebuah buku berjudul “Inside The Harim: Real Amazing Stories from the Islamic World”. Dalam buku itu, antara lain, akan saya sajikan kisah-kisah percintaan sejati para penguasa dan pemuka Muslim sepanjang sejarah Islam. Termasuk kisah cinta beberapa ulama Indonesia dan Malaysia (ulama juga manusia yang juga bisa jatuh cinta kan). Betapa indah loh kisah-kisah cinta mereka itu. Tapi, draft buku itu masih saya simpan dulu. Saya masih belum puas dengan draft yang ada. Draft buku itu masih perlu banyak penyempurnaan kok. Sebelum buku itu selesai saya tulis, mendingan Neng baca dulu buku baru saya berjudul “Rumah Cinta Rasulullah Saw.” yang Insya Allah akan diterbitkan Penerbit Mizan bulan depan,” jawab saya seraya mengingat sejarah Islam di Semenanjung Arab, Afrika Utara, Andalusia, Asia Kecil, dan anak benua India.
“Mas, sekarang sudah mendekati jam delapan, loh. Yuk kita kembali ke hotel. Sebentar lagi Mas Oyik dan Mas Norman datang. Kita kan hari ini mau diajak melihat piramid, sphinx, dan Musium Peradaban Mesir,” ucap istri saya seraya menapakkan kaki menuju Pharaos Hotel. “Yuk,” jawab saya seraya melangkah cepat bersama istri tercinta menuju hotel.

No comments: