Seperti diketahui, ide pendirian International Islamic University Malaysia (IIUM) muncul pada 1982, di zaman pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, dengan tujuan untuk “menghidupkan kembali konsep pembelajaran secara islami dan meluaskan pilihan yang ada bagi umat Islam dalam kajian tingkat tinggi”. Ide tersebut kemudian disambut oleh negara-negara Islam lain. Tak aneh jika biaya awal pendirian universitas yang kini menempati lokasi di kawasan berbukit dan berhawa segar yang tidak jauh dari Genting Highland itu mendapat bantuan dari negara-negara Islam yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam. Ide itu kemudian diajukan Dato’ Tan Seri Dr. Mahathir Mohammad ke sidang kabinet dan segera pula mendapat persetujuan. Selepas mendapat persetujuan dari kabinet, maka IIUM pun secara resmi dibuka pada 10 Mei 1983. Sedangkan presiden (atau Ketua Dewan Pembina) pertamanya, Tun Hussein Onn, baru dilantik pada 16 September di tahun yang sama.
Begitu memasuki pintu gerbang International Islamic University Malaysia (IIUM), pada Jumat 1 Juni 2007 yang lalu, bersama istri tercinta, Ustadz Masruh Ahmad MA, MBA, dan Ustadzah Nita Jasyiyah, tanpa sadar saya pun segera mencermati sisi-sisi yang paling menarik universitas yang memiliki luas 700 ekar (satu ekar = 6600 meter persegi) itu. Selepas mencermati pelbagai sudut IIUM, dengan naik mobil yang dikendarai Ustadz Masruh Ahmad, segera mata saya pun terpikat oleh spanduk-spanduk yang berisi sambutan selamat datang dan “tahniah” (ucapan selamat) kepada Pangeran Al-Waleed bin Talal bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Sa‘ud yang mendapat gelar doctor honoris causa dari universitas yang kini semakin megah ketimbang ketika saya pertama kali mengunjunginya bersama kedua putri saya, Mona Luthfina dan Naila Fithria, pada tahun 2003.
Begitu memasuki pintu gerbang International Islamic University Malaysia (IIUM), pada Jumat 1 Juni 2007 yang lalu, bersama istri tercinta, Ustadz Masruh Ahmad MA, MBA, dan Ustadzah Nita Jasyiyah, tanpa sadar saya pun segera mencermati sisi-sisi yang paling menarik universitas yang memiliki luas 700 ekar (satu ekar = 6600 meter persegi) itu. Selepas mencermati pelbagai sudut IIUM, dengan naik mobil yang dikendarai Ustadz Masruh Ahmad, segera mata saya pun terpikat oleh spanduk-spanduk yang berisi sambutan selamat datang dan “tahniah” (ucapan selamat) kepada Pangeran Al-Waleed bin Talal bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Sa‘ud yang mendapat gelar doctor honoris causa dari universitas yang kini semakin megah ketimbang ketika saya pertama kali mengunjunginya bersama kedua putri saya, Mona Luthfina dan Naila Fithria, pada tahun 2003.
Melihat nama dan foto sang pangeran tersebut, segera benak saya pun melayang-melayang untuk mengetahui lebih jauh tentang sang pangeran. Ternyata, sang pangeran yang lahir pada 7 Maret 1955 tersebut tidak lain adalah Chairman The Kingdom Holding Company yang pada 2006 menjadi orang terkaya kedelapan di dunia menurut Majalah Forbes, dengan harta kekayaan sekitar 20 miliar dolar Amerika Serikat. Cucu Raja ‘Abdul ‘Aziz Al-Sa‘ud dari Arab Saudi yang di bulan Maret 2007 yang lalu diterima Presiden Susilo Bambang Yudoyono itu pernah (tahun 2005) menyumbang 17 juta euro (sekitar 20 juta AS) untuk membiayai pendirian sebuah galeri Islam di Musium Louvre, Paris, Perancis.
Melihat spanduk-spanduk yang juga menampilkan foto pangeran yang memiliki saham Four Seasons Hotel, Jakarta itu, entah kenapa dalam benak menggelegak sebuah pertanyaan: apa jasa sang pangeran yang di bulan Maret 2007 juga membeli Four Seasons Resort di Langkawi, Malaysia hingga mendapatkan gelar doctor honoris causa? Karena itu, segera saya mencari informasi. Rasa ingin tahu saya pun sulit dibendung lagi. Segera saja saya mencari informasi dan akhirnya saya pun mendapatkan informasi dari sebuah sumber yang dapat dipercaya, selepas menerima gelar doctor honoris causa, sang pangeran menyerahkan bantuan sebesar satu juta dolar kepada IIUM yang berlokasi di Gombak, Selangor Darul Ehsan.
Mengetahui informasi demikian, saya pun angkat topi kepada IIUM. Lepas dari pantas tidaknya sang pangeran mendapatkan gelar doktor kehormatan tersebut, saya merasa kagum atas kepintaran Malaysia dalam mencari dana untuk pengembangan universitas yang kini menjadi salah satu kebanggaan negeri jiran tersebut. Cara elegan dalam mencari dana tersebut tentunya dapat dilakukan pula oleh UI, ITB, UGM dan perguruan-perguruan tinggi Indonesia lainnya dalam upaya menggalang dana untuk memajukan dirinya tanpa mengorbankan integritas ilmiah yang dimilikinya!
No comments:
Post a Comment