Wednesday, June 13, 2007

Masjid Al-Azhar, Saksi Perjalanan Hidup Kota Kairo

Sebelum meninggalkan Kota Kairo, 4 April 2007 yang lalu, saya menyempatkan diri shalat di Masjid Al-Azhar. Masjid yang satu ini memberikan kenangan tersendiri bagi saya. Di masjid inilah, kala masih menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar pada akhir tahun-tahun 1970-an, saya mendamaikan hati kala kerinduan terhadap keluarga di Indonesia begitu menyergap benak dan hati saya. Hal itu dengan mengikuti pengajian yang diberikan oleh sejumlah syeikh. Tak aneh, kala hati sedang galau, saya kala itu kadang berada di masjid itu dari siang hingga malam hari. Entah kenapa, hati saya kala itu terasa damai kala berada di masjid yang renta itu. Bagaimakah sejatinya kisah masjid yang seusia Kota Kairo ini?

Seperti diketahui, Jawhar Al-Shiqillilah, panglima perang penguasa ke-4 Dinasti Fathimiyah: Al-Mu‘iz li Dinillah, yang memulai pendirian masjid ini pada 24 Jumada Al-Awwal 359 H/4 April 970 M. Sementara peresmian masjid ini, dengan pertama kali dilaksanakannya shalat Jumat di dalamnya, dilakukan pada Ramadhan 361 H/Juli 972 M. Ukurannya kala itu adalah separoh ukurannya dewasa ini. Masjid ini, kala itu, dirancang sebagai pusat pembinaan kaum Muslim.

Guru besar pertama yang mengajar di Al-Azhar adalah Al-Qadhi Abu Al-Hasan Al-Nu‘man bin Muhammad yang wafat pada 374 H/984 M. Ia adalah putra seorang ahli hukum Islam: Al-Nu‘man bin Muhammad yang wafat pada 363 H/974 M. Seperti halnya sang ayah, ia juga seorang ahli hukum dan sastrawan, seperti halnya saudara kandungnya Al-Qadhi Muhammad bin Al-Nu‘man yang wafat pada 389 H/999 M. Sedangkan tokoh terkemuka yang menimba ilmu di Al-Azhar pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah adalah Pangeran Al-Mukhtar ‘Abdul Malik Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad Al-Hurrani, yang lebih terkenal dengan sebutan Al-Misbagi, seorang sejarawan (366-420 H/976-1029 M), dan Abu ‘Abdullah Al-Qudha‘i, juga seorang sejarawan terkemuka yang terkenal sebagai penulis pertama annal Mesir. Dari sejarawan terakhir itulah Taqiy Al-Din Al-Maqrizi, Al-Hasan bin Zaulaq yang terkenal dengan karyanya tentang Dinasti Ikhsyidiyyah, dan Abu Al-Qasim Al-Ra‘ini Al-Syathibi, seorang ahli qira’at terkemuka, menimba ilmu. Sementara ahli ilmu pasti yang menimba di Al-Azhar kala itu adalah Al-Hasan bin Al-Khuthair Al-Farisi.

Ketika Shalah Al-Din Al-Ayyubi berhasil menaklukkan Mesir, ia pun memberhentikan pengajaran di Al-Azhar. Hal itu ia lakukan karena pengajaran di lembaga pendidikan tersebut kala itu dikaitkan dengan Aliran Isma‘iliyah yang tidak mendapat dukungan darinya. Namun, setelah kaum Sunni telah berhasil merengkuh kembali posisi tradisionalnya di Mesir dan mereka menaruh pembali perhatian untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan fikih sunni, mereka pun menjadikan Al-Azhar sebagai pemangku tugas tersebut sampai tumbangnya Dinasti Ayyubiyyah.

Ketika Mesir berada di pangkuan kekuasaan Dinasti Mamluk, Al-Azhar berhasil memulihkan posisinya di bidang ilmu pengetahuan, sebagai pusat pertemuan para guru besar, staf pengajar, dan mahasiswa. Selain itu, lembaga pendidikan tersebut juga mulai berfungsi secara penuh sebagai sebuah lembaga ilmiah yang dikelola dan dibiayai oleh negara berdasarkan ketetapan dan keputusan yang jelas. Sehingga, karenanya, masjid ini pun mengalami perluasan dan pengembangan sampai akhirnya memiliki ukuran seperti yang ada dewasa ini. Tak aneh jika masjid itu berubah menjadi seperti halnya sebuah kota mandiri. Ini karena penambahan dan perluasaan di bidang ilmiah yang dilakukan membuat masjid ini sebagai sebuah kota universitas, yang terdiri dari sejumlah gedung yang masing-masing disebut ruwaq. Di antara gedung-gedung tersebut terdapat bangunan yang disiapkan bagi para mahasiswa luar daerah maupun negeri, baik dari Mesir sendiri maupun dari pelbagai penjuru dunia Islam. Misalnya Ruwaq Kurdi, Ruwaq India, Ruwaq Baghdad, Ruwaq Burno (kini Chad), Ruwaq Sinnariyyah (Sudan), Ruwaq Jawa, Ruwaq Syam, Ruwaq Sha‘id, Ruwaq Syarqiyyah, Ruwaq Buhairah, Ruwaq Syafwaniyyah, dan ruwaq-ruwaq lainnya. Namun, para mahasiswa tidak tidur di ruwaq-ruwaq tersebut. Ruwaq-ruwaq tersebut malah lebih mirip sekretariat, perpustakaan, dan tempat penyimpanan khusus buku-buku mereka. Karena itu, selain ruwaq-ruwaq tersebut, terdapat sebuah ruwaq khusus bagi para mahasiswa yang memperdalam Mazhab Hanbali dan Hanafi.

Seperti diketahui, bangunan pertama Al-Azhar–seperti halnya ketika didirikan oleh Jawhar Al-Shiqilli-merupakan sebuah masjid yang memiliki ukuran tidak lebih dari separoh Masjid Al-Azhar dan berbagai perluasan yang dinikmatinya dewasa ini. Kala itu masjid ini terdiri dari shahn terbuka, seperti yang ada hingga dewasa ini yang dibatasi oleh lengkung-lengkung lancip, bait ash-shalahnya yang berada di sebelah utara shahn, dan dua sayapnya di sebelah kiri dan kanan yang masing-masing terdiri dari tiga ruangan.

Selepas itu masjid ini mengalami pelbagai perluasan sehingga masjid raya lamanya menjadi berada di jantung Masjid al-Azhar dalam bentuknya seperti yang ada dewasa ini. Perluasan dan pengembangan yang dialami masjid ini terdiri dari sejumlah bangunan, seperti halnya ruangan-ruangan, gedung-gedung kuliah, mihrab-mihrab, dan tempat-tempat wudhu baru. Akibatnya, masjid ini pun kehilangan bentuk aslinya dan tampilan-tampilan artistiknya. Tak aneh jika dewasa ini masjid ini menjadi mirip dengan pameran besar seni Islam di Mesir, sejak masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah hingga dewasa ini.

Apabila seseorang memasuki Pintu Al-Muzayyinin, yaitu pintu utama Masjid Al-Azhar yang terletak di Taman Al-Azhar, maka ia akan memasuki sebuah lintasan panjang. Di sebelah kanan lintasan terdapat gedung Madrasah Al-Aqbaghawiyah yang dibangun oleh seorang pangeran dari Dinasti Mamluk bernama ‘Ala’ Al-Din Aqbagha ‘Abdul Wahid pada 740 H/1339 M di lahan Al-Azhar dan kemudian diserahkan pada Al-Azhar. Sang pangeran memang terkenal sangat menaruh perhatian terhadap lembaga pendidikan tersebut. Karena itu ia juga mendirikan bait ash-shalah dan dinding kiblat, dan menara di gedung yang didirikannya tersebut. Menurut Al-Maqrizi, kala itu bagian dalam madrasah tersebut demikian gelap. Menurutnya, karena sang pangeran yang mendirikannya mendapatkan dananya secara tidak sah dari masyarakat dan para tukang yang membangunnnya. Seperti diketahui, sang pangeran adalah seorang komandan pasukan pada masa pemerintahan Raja Al-Nashir Muhammad bin Qalawun. Sampai waktu yang beum lama, madrasah tersebut digunakan sebagai Perpustakaan Al-Azhar.

Sementara di sebelah kiri lintasan terdapat gedung lama Madrasah Al-Thaibarisiyah yang dinisbatkan kepada Pangeran ‘Ala’ Al-Din Thaibars Al-Khazindar, seorang wakil panglima pasukan Dinasti Mamluk pada masa pemerintahan an-Nashir Muhammad bin Qalawun. Madrasah tersebut didirikan sebelum Madrasah Al-Aqbaghawiyah pada 719 H/1319 M. Berbeda dengan Pangeran Aqbagha, Pangeran Thaibars terkenal sebagai seorang tokoh yang lurus dan saleh. Selain sebagai sekolah, madrasah tersebut juga digunakan sebagai masjid. Tak aneh jika madrasah tersebut dirancang bagus dan indah, sehingga menelan dana yang cukup besar. Dari bagian dalam, gedung madrasah tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu contoh yang menawan seni Islam. Sayang, sejak 1314 H/1896 M madrasah tersebut dijadikan sebagai bagian dari Perpustakaan Al-Azhar. Akibatnya, gedung tersebut kehilangan banyak karya seninya yang memikat.

Seusai melewati lintasan di antara kedua madrasah tersebut, sang pengunjung akan memasuki shahn lapang Masjid Al-Azhar yang dikitari bukaan-bukaan dari segala arah. Shahn tersebut berada di posisi sebelum Masjid al-Azhar lama. Berikut, ia akan memasuki bait ash-shalah yang berujung pada dinding kiblat lama, disambung dengan perluasan yang dilakukan oleh ‘Abdurrahman Katkhada, seorang tokoh kelompok Mamluk di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Usmaniyyah. Memang, ia dipandang sebagai orang yang sangat menaruh perhatian besar terhadap bangunan Masjid Al-Azhar pada masa silam. Pada 1167 H/1753 M, misalnya, ia memugar bangunan-bangunan al-Azhar dan menambah bagian utara bait ash-shalah yang asli. Perluasan tersebut, yang lebih dari separoh ukuran asli masjid ini, berupa pendirian bait ash-shalah baru lengkap dengan dinding kiblat dan mihrab yang tegak di atas lima puluh tiang, sementara di atasnya terdapat lima puluh lengkung yang memiliki gaya yang sama dengan lengkung-lengkung telah ada sebelumnya. Sedangkan pada dinding kiblat baru didirikan sebuah mihrab yang sangat indah, dan di atas balathah mihrab dibuat sebuah kubah nan indah. Selain itu, karena perluasan tersebut, dibuat pula sebuah mihrab yang menawan dan di samping mihrab tersebut dibuat sebuah mihrab berukuran lebih kecil yang disebut Mihrab Al-Dardir dan sebuah mihrab lagi yang belum lama dibuat. Dengan perluasan itu sendiri membuat bait ash-shalah masjid ini menjadi yang terluas di Mesir.

Selain perluasan ke arah utara tersebut, didirikan pula sebuah bangunan besar yang memiliki sebuah pintu besar yang menuju ke Distrik Katanah. Pintu tersebut kini lebih terkenal dengan sebutan Pintu Al-Shaya‘idah. Pintu tersebut merupakan sebuah pintu gerbang besar yang dibuat oleh ‘Abdurrahman Katkhada. Di atas pintu tersebut dibuat sebuah ruangan khusus untuk menghapal al-Qur‘an bagi anak-anak yang tegak di atas tiang-tiang pualam. Sedangkan di bagian taman lapang berdinding, ‘Abdurrahman Katkhada mendirikan makam, tempat penampungan air, dan saluran air. Di atas makam tersebut dibuat sebuah kubah kecil. Sementara di samping Pintu Al-Shaya‘idah didirikan sebuah menara yang dinisbatkan kepada Katkhada. Demikian halnya ia juga berjasa besar dalam pendirian pintu gerbang utama Al-Azhar yang kini disebut Pintu Al-Muzayyinin.

Dewasa ini Masjid Al-Azhar memiliki lima menara dengan lima gaya yang berbeda. Ini karena menara-menara tersebut didirikan pada masa yang beragam. Dua menara di antaranya didirikan oleh ‘Abdurrahman Katkhada. Satu menara lagi didirikan oleh Sultan Qa‘it Bey dan satu menara lagi didirikan oleh Sultan Al-Ghuri. Menara yang didirikan Sultan Qa‘it Bey, yang merupakan menara terbesar, memiliki dua mustaka dan dua serban.

Masjid yang satu ini memiliki tiga belas mihrab. Namun, yang masih bertahan hingga dewasa ini tinggal enam. Yang terlama adalah mihrab di dinding kiblat lama pada dinding masjid lama. Mihrab-mihrab tersebut memiliki keindahan dan kecermatan pembuatannya yang beragam. Namun, tiada di antara mihrab-mihrab tersebut yang bisa menandingi mihrab-mihrab Masjid Al-Mu’ayyad, misalnya saja. Selain itu, masjid ini memiliki tiga kubah. Yang paling besar dan juga terindah adalah kubah yang ada di atas Madrasah Al-Jawhariyyah yang menyambung dengan Masjid Al-Azhar. Kubah tersebut tegak di atas leher yang memiliki sejumlah syammasat dan lengkung-lengkung lancip yang dari luar berhiaskan ukiran-ukiran kaligrafi yang sangat indah.

No comments: