Wednesday, May 2, 2007

Orang Mesir Suka Bercanda, Kenapa?

“Mas, kayaknya orang Mesir itu ramah dan santun, ya? Kemarin, misalnya, ketika kita sedang menikmati sea-food di Alexandria, saya lihat orang-orang Mesir yang melayani kita begitu akrab dengan Mas, Mas Oyik,dan Mas Norman. Padahal, mereka kan baru kenal dengan kita. Juga, saya amati mereka begitu suka bercanda,” ucap istri saya seraya menapakkan kaki di trotoar sebuah jalan di Dokki, Kairo. Hari saat itu masih sekitar jam enam pagi waktu Kairo. Dan, saat itu, hari di jam tangan saya menunjuk hari Sabtu, 24 Maret 2007.
“Memang, demikianlah karakter orang Mesir. Mereka ramah dan santun. Juga, mereka suka humor dan canda. Mengapa mereka suka humor dan canda, ini sejarahnya panjang,” jawab saya sembari menikmati cuatan pelbagai bangunan tinggi yang menghiasi Kota Seribu Menara itu. “Kalau begitu, bolehkah saya sedikit cerita tentang karakter orang Mesir?”
“Kenapa tidak. Mas kan pernah tinggal di sini selama sekitar enam tahun dan pernah naksir sama cewek sini. He, he, he. Tentu Mas tahu karakter orang Mesir. Iya kan?!” sindir istri saya seraya melambatkan langkah-langkahnya untuk menikmati pemandangan Menara Kairo yang mencuat di kejauhan.
“Baiklah, asal habis ini jangan banyak tanya lagi ya,” ucap saya seraya mengingat-ingat teori sejarah Ibn Khaldun yang sudah agak lama saya lupakan.

Bagaimanakah sejatinya karakter orang Mesir? Bila seseorang pernah bergaul akrab dengan orang Mesir, tentu ia akan membenarkan pendapat yang menyatakan, “orang Mesir begitu menggemari anekdot dan suka menyindir”. Apalagi bila anekdot dan sindiran itu ditujukan terhadap penguasa yang otoriter dan tiran. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah suasana sosio-psikis yang mewarnai Mesir. Perang yang kerap menghajar negeri ini dan pengekangan oleh pihak penguasa membuat orang Mesir memilih anekdot, canda, maupun sindiran-khususnya sindiran politik- sebagai katalis buat menyalurkan uneg-uneg.

Sikap orang Mesir yang menggemari anekdot dan sindiran ternyata telah muncul sejak lama. Ibn Khaldun (1332-1406 M), misalnya, telah mengungkapkan karakter orang Mesir itu dalam karya besarnya Al-Muqaddimah. Ketika mengunjungi Mesir, sejarawan Muslim terkemuka itu mengenali watak warga negeri ini yang humoris dan penggembira, di samping suka memandang ringan dan remeh terhadap segala akibat sikap dan tindakan mereka. Menurut Ibn Khaldun, sikap semacam itu mempunyai dampak terhadap aspek psikis mereka dalam menghadapi berbagai peristiwa yang terjadi. “Cuek sajalah,” ucap mereka.

Mereka, urai Ibn Khaldun lebih jauh, malah menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan canda dan tawa. Sehingga, seakan peristiwa-peristiwa itu menimpa orang lain yang tidak memiliki ikatan batin apapun dengan mereka. Akibatnya, mereka lebih banyak bertindak sebagai penonton ketimbang sebagai pemain yang berusaha menghadapi peristiwa-peristiwa itu. Pada gilirannya, sikap seperti itu terucap dalam ungkapan khas orang Mesir dewasa ini, “maalesh” (tidak apa), suatu ucapan yang acap membikin jengkel orang lain.

Namun, sejatinya peristiwa-peristiwa itu membuat orang Mesir menjadi orang yang gampang merasa sedih. Malah, kesedihan itu merupakan salah satu karakter orang Mesir. Aneh memang, mereka bilang “maalesh”, namun sejatinya mereka sedih dan di balik kegembiraan itu tetap terpancar perasaan sedih. Mungkin, karena itulah anekdot dan humor menjadi tempat perlindungan, pelarian, jalan keluar, atau tempat bernapas. Seperti diketahui senyum, tawa, kegembiraan, humor, canda, sindiran, anekdot, dan komedi tidak lain merupakan salah satu bentuk ungkapan psikis. Semua itu, di Mesir, timbul akibat corak kepribadian kontradiktif yang merasa “putus asa terhadap kehidupan yang kejam, keras, dan kelam” (meminjam istilah Ibn Khaldun). Sebagai jalan keluar, mereka menemukannya pada anekdot, humor, dan hiburan. Lewat semua itu, mereka merasa “terbebaskan” dari dunia nyata yang begitu berat membebani mereka.

Perbincangan mengenai kepribadian dan karakter orang Mesir yang kontradiktif tersebut mencapai puncaknya pada tahun-tahun 1967-1973. Perdebatan keras yang terjadi di tahun-tahun itu dipicu oleh kekalahan memalukan dalam “drama tragis” Perang 6 Juni 1967. Kekalahan yang amat menyesakkan dada orang Mesir itu benar-benar tak terbayangkan oleh mereka. Sebelumnya, seperti diketahui, mereka sangat terbuai oleh semangat revolusioner yang dibangkitkan oleh rezim yang berkuasa kala itu, di bawah kepemimpinan flamboyan Presiden Gamal Abdel Nasser. Akibat kekalahan itu, di bidang sastra Mesir kemudian muncul dan berkembang apa yang disebut “Sastra Tragedi” (Adab Al-Nuksah). Yaitu suatu genre sastra yang berisi ratapan dan keputusasaan terhadap kondisi yang ada.

Kekalahan itu, di sisi lain, memicu pertumbuhan suatu sikap baru dalam menilai diri sendiri dan orang lain (termasuk terhadap Israel dan Amerika Serikat) secara obyektif dan ilmiah. Meski terlambat dibanding Israel, yang lebih dulu terus-menerus melakukan penelitian ilmiah terhadap negeri dan masyarakat Mesir demi kepentingan militer dan hubungan diplomatik yang disiapkannya, mulai 1968 di Mesir terjadi perubahan mendasar dalam melakukan penelitian terhadap diri sendiri dan orang lain. Slogan “KENALILAH MUSUHMU” pun mencuat dan kritik terhadap berbagai karakter dan sikap negatif masyarakat negeri ini pun dilambungkan. Kemenangan Mesir dalam Perang 6 Oktober 1973 dapat dikatakan sebagai salah satu buah dari perubahan sikap itu.

“Loh, kalau begitu cewek Mesir yang Mas senangi dulu itu humoris dan melankolis, ya?” tanya istri saya cengengesan dan karakter asli orang Semarangnya muncul. “Nggaklah yaw,” jawab saya sekenanya seraya mempercepat langkah menuju ke tepi Sungai Nil. Segera kenangan enam tahun tinggal di negeri ini pun menyeruak keluar dari alam bawah sadar: sebuah perjalanan hidup kaya warna yang ingin saya tuangkan dalam sebuah buku. Suatu ketika!

2 comments:

priyatnadp said...

ditunngu bukunya pakde..pengen tau nih bandel bandelnya pakde rofi..

ikeow said...

taela...clbk dong, cinta lama bersemi kembali...pritpritprittiiiiw...hehehe