Ketika jamaah haji berada di Madinah Al-Munawwarah, dan berkesempatan berziarah ke pelbagai tempat bersejarah di Kota Nabi itu, salah satu tempat yang biasanya mereka kunjungi adalah Gunung Uhud. Gunung ini merupakan sekelompok gunung yang terletak sekitar 6 kilometer di sebelah utara Masjid Nabawi. Gunung ini tidak bersambung dengan gunung-gunung lain, seperti halnya umumnya gunung-gunung di sekitar kota suci itu. Karena itu, disebut Uhud, yang artinya menyendiri.
Gunung batu yang terdiri dari granit, marmer merah, dan batu-batu mulia (sehingga dari jauh kelihatan agak memerah) ini merupakan lokasi salah satu perang yang diikuti Nabi Muhammad Saw. dan diuraikan cukup terinci di dalam Al-Quran. Perang ini dipicu oleh kekalahan telak kaum musyrik Quraisy dalam Perang Badar yang terjadi pada Selasa, 17 Ramadhan 2 H/13 Maret 623 M. Karena itu, mereka bertekad untuk melancarkan pembalasan. Mereka pun menyiapkan perbekalan yang cukup dan pasukan dengan senjata yang lengkap yang berjumlah tidak kurang ari 3.000 orang, di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Pasukan ini mendapat bantuan dari beberapa kabilah Arab lain, seperti Arab Kinanah dan Tihamah.
Pada pertengahan Sya‘ban 3 H/Februari 625 M, pasukan kaum musyrik Quraisy tersebut berangkat menuju Madinah. Semula kaum Muslim tidak mengetahui persiapan pasukan itu. Nabi Muhammad Saw. sendiri baru memeroleh berita, hanya dua atau tiga hari sebelum pasukan musuh tiba di Uhud, dari Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, pamanda beliau yang kala itu telah memeluk Islam namun masih menetap di Makkah. Setelah beliau mendengar gerakan pasukan tersebut, beliau pun keluar kota disertai pasukan dengan kekuatan 1.000 orang untuk menyongsong pasukan musuh. Tetapi baru saja beliau berangkat, sekelompok kaum munafik yang dipimpin ‘Abdullah bin Ubai yang jumlahnya hampir sepertiga pasukan itu membelot. Meski demikian, pasukan yang tetap setia kepada beliau terus berangkat bersama beliau.
Di kaki Gunung Uhud yang terletak di sebelah timur laut Kota Nabi itu, bertemulah kedua pasukan yang bermusuhan itu pada Sabtu, 15 Syawwal 3 H yang bertepatan dengan 30 Maret 625 M. Pihak Makkah mula-mula mengalami kekalahan besar, meski jumlah tentara dan persenjataan mereka yang jauh lebih besar. Namun, pasukan panah kaum Muslim, yang oleh Nabi Saw. disiagakan di atas bukit untuk melindungi sayap pasukannya, meninggalkan kedudukan mereka, mengabaikan instruksi yang tegas dari Nabi Saw., dan terjun ke dalam kancah pertempuran karena khawatir akan tidak diperhitungkan dalam pembagian rampasan perang. Karenanya pasukan Makkah menyerang sayap pasukan kaum Muslim yang terbuka. Sehingga, pasukan kaum Muslim pun menjadi porak-poranda dan mengalami kehancuran besar. Kemudian setelah itu pasukan kaum Muslim bangkit kembali dari kekalahan mereka. Tapi, pasukan Makkah telah meninggalkan medan pertempuran dan kembali pulang.
Dalam perang ini pihak pasukan lawan kehilangan 23 orang anggotanya. Sedangkan pasukan kaum Muslim menderita kerugian yang tidak sedikit dan 70 orang kaum Muslim gugur sebagai syuhadak dalam perang ini. Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, pamanda Nabi Saw., termasuk yang gugur dalam perang ini. Sedang Nabi Saw. sendiri mengalami luka-luka, sehingga gigi beliau patah dan wajah beliau berlumuran darah.
Dalam perang ini sendiri, pada mulanya tak seorang Muslimah pun diizinkan ikut berperang. Tapi Nasibah binti Ka‘b bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzul bin Ghanam, seorang perempuan Khazraj, merasa ia harus berada bersama pasukan kaum Muslim. Suaminya, Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr, dan dua putranya, ‘Abdullah dan Habib, ada di sana. ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, istri Nabi Saw., dan Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah Al-Anshari, memiliki gagasan yang sama dan datang pula membawa kantung air, tak lama selepas kedatangan Nasibah. “Ketika itu, saya melihat ‘A’isyah dan Ummu Sulaim mondar-mandir mengangkut air minum di dalam kantung kulit untuk pasukan kaum Muslim. Keduanya menyingsingkan lengan baju dan saya melihat perhiasan di bagian kaki mereka. Keduanya mengangkut kantung kulit itu di punggung mereka, lalu mereka memberi minum pasukan kaum Muslim yang terluka,” kenang Abu Thalhah Al-Anshari tentang peran kedua perempuan tersebut dalam Perang Uhud tersebut.
Perang di Gunung Uhud tersebut sangat membekas dalam hati Nabi Saw. hingga akhir hayat beliau. Ini karena di Gunung Uhud itu lah beliau berpisah selamanya dengan para sahabat yang amat dihormati dan paling dekat dengan beliau. Demi perjuangan di jalan Allah Swt, mereka meninggalkan sanak kerabat dan handai tolan, rela hidup terpencil sebelum dan selepas hijrah. Tapi, kini, mereka berbaring di peristirahatan terakhir di Uhud, sebagaimana takdir telah menggariskan. Kenangan terhadap mereka begitu kuat dalam benak Nabi Saw. Karena itu, sekembalinya dari berziarah ke kuburan mereka menjelang akhir hayat beliau, beliau berucap di atas mimbar, “Aku kelak akan berdiri di depan kalian sebagai saksi atas kalian. Tempat bertemu yang dijanjikan bagi kalian adalah surga. Dari tempatku berdiri saat ini, aku melihat surga itu.”
No comments:
Post a Comment