Masjid Nabawi, sebuah masjid di jantung Kota Madinah, tentu Anda mengenalnya. Masjid ini, ketika pertama kali berdiri, tentu tak seindah dan semegah dewasa ini. Kala itu, masjid ini hanya memiliki luas sekitar 4.200 kaki. Masjid yang pembangunannya dimulai pada Rabi‘ Al-Awwal 1 H/September 622 M ini didirikan di atas lahan yang dibeli dari dua anak yatim, Sahl dan Suhail. Lantas, pada 7 H/628-629 M Nabi Muhammad Saw. memperluas masjid ini menjadi 10.000 kaki. Perluasan selanjutnya, pada 17 H/638 M, yang dilakukan ‘Umar bin Al-Khaththab, membuat masjid ini menjadi seluas 11.400 kaki. Pada 29 H/649 M masjid ini kembali diperluas untuk keempat kalinya oleh ‘Utsman bin ‘Affan. Sehingga, luas masjid ini mendapat tambahan 496 meter persegi.
Pada tahun-tahun 88-91 H/706-709 M Al-Walid bin ‘Abdul Malik, penguasa ke-6 Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah memerintahkan perluasan dan pemugaran masjid ini, di bawah pengawasan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Gubernur Madinah kala itu. Pada masa inilah masjid ini mulai dihiasi dengan mosaik, pualam, dan emas. Kemudian pada 160 H/778 M, pada masa pemerintahan Al-Mahdi, penguasa ke-3 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak, sayap utara masjid ini mengalami perluasan sampai 2.450 meter persegi. Untuk perluasan ini terpaksa dilakukan penggusuran sejumlah rumah para sahabat Nabi Saw.
Akibat musibah kebakaran yang menimpa masjid ini pada 654 H/1256 M, Sultan Al-Zhahir Baibars I Al-Bunduqdari dari Dinasti Mamluk di Mesir (memerintah antara 659-676 M/1260-1277 M) memerintahkan pemugaran masjid ini. Musibah serupa menimpa dan terjadi lagi pada abad 9 H/15 M. Pemugaran kali ini dilakukan Sultan Al-Asyraf Saif Al-Din Qait-Bey, penguasa Mesir dari Dinasti Mamluk Burji (memerintah antara 873-902 H/1468-1496 M). Kemudian, kala kekuasaan di Mesir beralih ke tangan Dinasti Usmaniyyah, sejak masa pemerintahan Sultan Salim I, Masjid Nabawi dipugar dan perbarui kembali oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni ketika ia melakukan pemugaran atas Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi pada 940 H/1529 M. Sebagian besar pembaruan yang dilakukan Sultan Sulaiman tersebut masih bisa didapatkan jejaknya di Pintu (Bab) Al-Salam yang menjadi bagian muka bagian barat masjid ini. Di sisi lain, mimbar yang dihadiahkan sang sultan pada Masjid Nabawi merupakan salah satu bukti kepiawaian kaum Muslim di bidang ukir-ukiran.
Masjid Nabawi, dalam perjalanan waktu selanjutnya, diperbaiki kembali pada 994 H/1533 M, 1127 H/1715 M, dan 1196 H/1782 M. Selain diperbaiki, masjid tersebut memiliki mihrab baru yang dibuat dari marmer berwarna. Di atas mihrab tersebut terdapat sebuah kubah kecil nan indah. Di sisi lain, para penguasa Mesir, Turki, dan India serta sejumlah besar orang-orang saleh menyerahkan pelbagai hadiah yang hingga kini masih menjadi harta kekayaan masjid tersebut. Di antara hadiah-hadiah tersebut, yang paling mahal adalah bintang-bintang sabit emas yang berhiaskan intan berlian. Pada setiap bintang sabit tersebut terdapat sebuah bintang emas yang berkilau. Di antara intan berlian tersebut terdapat kepingan-kepingan berlian yang memiliki berat beberapa karat yang sangat mahal harganya. Semua harta kekayaan masjid tersebut tergantung di dalam Makam Nabi Muhammad Saw. dan Makam Fathimah Al-Zahra’.
Selanjutnya, pada 1266 H/1849 M, Muhammad ‘Ali, seorang penguasa Mesir, membangun kembali seluruh Masjid Nabawi. Pembangunan kali ini dilakukan oleh para insinyur Mesir di bawah pimpinan Halim Pasya, insinyur istana-istana khalifah di Istanbul. Sang arsitek didampingi Ibrahim Al-Mishri, seorang pakar bangunan terkemuka asal Mesir, dan Syukr Allah, seorang perancang terkemuka dari Turki. Pada pembangunan kali ini pula, di bawah pengawasan Ibrahim bin Muhammad ‘Ali, Raudhah Al-Khadhra’ yang ada dewasa ini dibangun. Dalam pembangunan raudhah tersebut, setiap batu lama, yang berasal dari masa pembangunan yang dilakukan oleh Sultan Baibars tetap digunakan.
Selepas itu, Sultan ‘Abdul Hamid I (meninggal pada 1277 H/1860 M) memplester seluruh dinding Masjid Nabawi dengan pualam berwarna merah bunga mawar dengan biaya yang amat besar. Tak aneh jika menjelang saat kewafatannya, kala berusia 39 tahun, sang sultan yang sedang gering di tempat tidur, menanyakan apakah pembangunan tersebut telah usai atau belum. Konon, ketika disampaikan kepada sang sultan bahwa pembangunan telah rampung, tidak lama kemudian sang sultan berpulang. Karena seluruh dinding masjid tersebut berlapiskan pualam berwarna merah bunga mawar, tak aneh jika kala itu masjid tersebut juga mendapat sebutan Masjid Merah Bunga Mawar (Al-Masjid Al-Wardî). Bangunan Masjid Nabawi yang didirikan oleh para penguasa Dinasti Mamluk dan Usmaniyyah tetap dapat disaksikan hingga dewasa ini, di luar perluasan besar-besaran yang dilaksanakan oleh Keluarga Saud.
Lewat perluasan terakhir tersebut oleh Kerajaan Arab Saudi, masjid ini menjadi memiliki ruang shalat sekitar 160.000 meter persegi dan mampu menampung sekitar 300.000 jamaah. Selain itu, halaman masjid mampu menampung sekitar 430.000 jamaah. Dan, yang paling menggembirakan, mulai musim haji 1428 H/2007 M, masjid ini dibuka selama 24 jam penuh. Selain itu, bagi kaum perempuan juga diberi kesempatan memasuki Raudhah selepas isya. Sebelumnya, kaum perempuan hanya diberi kesempatan berziarah ke Makam Rasul Saw. dan Raudhah pada pukul 07.00-11 pagi dan 13.30-15.00 sore!
Pada tahun-tahun 88-91 H/706-709 M Al-Walid bin ‘Abdul Malik, penguasa ke-6 Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah memerintahkan perluasan dan pemugaran masjid ini, di bawah pengawasan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Gubernur Madinah kala itu. Pada masa inilah masjid ini mulai dihiasi dengan mosaik, pualam, dan emas. Kemudian pada 160 H/778 M, pada masa pemerintahan Al-Mahdi, penguasa ke-3 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak, sayap utara masjid ini mengalami perluasan sampai 2.450 meter persegi. Untuk perluasan ini terpaksa dilakukan penggusuran sejumlah rumah para sahabat Nabi Saw.
Akibat musibah kebakaran yang menimpa masjid ini pada 654 H/1256 M, Sultan Al-Zhahir Baibars I Al-Bunduqdari dari Dinasti Mamluk di Mesir (memerintah antara 659-676 M/1260-1277 M) memerintahkan pemugaran masjid ini. Musibah serupa menimpa dan terjadi lagi pada abad 9 H/15 M. Pemugaran kali ini dilakukan Sultan Al-Asyraf Saif Al-Din Qait-Bey, penguasa Mesir dari Dinasti Mamluk Burji (memerintah antara 873-902 H/1468-1496 M). Kemudian, kala kekuasaan di Mesir beralih ke tangan Dinasti Usmaniyyah, sejak masa pemerintahan Sultan Salim I, Masjid Nabawi dipugar dan perbarui kembali oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni ketika ia melakukan pemugaran atas Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi pada 940 H/1529 M. Sebagian besar pembaruan yang dilakukan Sultan Sulaiman tersebut masih bisa didapatkan jejaknya di Pintu (Bab) Al-Salam yang menjadi bagian muka bagian barat masjid ini. Di sisi lain, mimbar yang dihadiahkan sang sultan pada Masjid Nabawi merupakan salah satu bukti kepiawaian kaum Muslim di bidang ukir-ukiran.
Masjid Nabawi, dalam perjalanan waktu selanjutnya, diperbaiki kembali pada 994 H/1533 M, 1127 H/1715 M, dan 1196 H/1782 M. Selain diperbaiki, masjid tersebut memiliki mihrab baru yang dibuat dari marmer berwarna. Di atas mihrab tersebut terdapat sebuah kubah kecil nan indah. Di sisi lain, para penguasa Mesir, Turki, dan India serta sejumlah besar orang-orang saleh menyerahkan pelbagai hadiah yang hingga kini masih menjadi harta kekayaan masjid tersebut. Di antara hadiah-hadiah tersebut, yang paling mahal adalah bintang-bintang sabit emas yang berhiaskan intan berlian. Pada setiap bintang sabit tersebut terdapat sebuah bintang emas yang berkilau. Di antara intan berlian tersebut terdapat kepingan-kepingan berlian yang memiliki berat beberapa karat yang sangat mahal harganya. Semua harta kekayaan masjid tersebut tergantung di dalam Makam Nabi Muhammad Saw. dan Makam Fathimah Al-Zahra’.
Selanjutnya, pada 1266 H/1849 M, Muhammad ‘Ali, seorang penguasa Mesir, membangun kembali seluruh Masjid Nabawi. Pembangunan kali ini dilakukan oleh para insinyur Mesir di bawah pimpinan Halim Pasya, insinyur istana-istana khalifah di Istanbul. Sang arsitek didampingi Ibrahim Al-Mishri, seorang pakar bangunan terkemuka asal Mesir, dan Syukr Allah, seorang perancang terkemuka dari Turki. Pada pembangunan kali ini pula, di bawah pengawasan Ibrahim bin Muhammad ‘Ali, Raudhah Al-Khadhra’ yang ada dewasa ini dibangun. Dalam pembangunan raudhah tersebut, setiap batu lama, yang berasal dari masa pembangunan yang dilakukan oleh Sultan Baibars tetap digunakan.
Selepas itu, Sultan ‘Abdul Hamid I (meninggal pada 1277 H/1860 M) memplester seluruh dinding Masjid Nabawi dengan pualam berwarna merah bunga mawar dengan biaya yang amat besar. Tak aneh jika menjelang saat kewafatannya, kala berusia 39 tahun, sang sultan yang sedang gering di tempat tidur, menanyakan apakah pembangunan tersebut telah usai atau belum. Konon, ketika disampaikan kepada sang sultan bahwa pembangunan telah rampung, tidak lama kemudian sang sultan berpulang. Karena seluruh dinding masjid tersebut berlapiskan pualam berwarna merah bunga mawar, tak aneh jika kala itu masjid tersebut juga mendapat sebutan Masjid Merah Bunga Mawar (Al-Masjid Al-Wardî). Bangunan Masjid Nabawi yang didirikan oleh para penguasa Dinasti Mamluk dan Usmaniyyah tetap dapat disaksikan hingga dewasa ini, di luar perluasan besar-besaran yang dilaksanakan oleh Keluarga Saud.
Lewat perluasan terakhir tersebut oleh Kerajaan Arab Saudi, masjid ini menjadi memiliki ruang shalat sekitar 160.000 meter persegi dan mampu menampung sekitar 300.000 jamaah. Selain itu, halaman masjid mampu menampung sekitar 430.000 jamaah. Dan, yang paling menggembirakan, mulai musim haji 1428 H/2007 M, masjid ini dibuka selama 24 jam penuh. Selain itu, bagi kaum perempuan juga diberi kesempatan memasuki Raudhah selepas isya. Sebelumnya, kaum perempuan hanya diberi kesempatan berziarah ke Makam Rasul Saw. dan Raudhah pada pukul 07.00-11 pagi dan 13.30-15.00 sore!
No comments:
Post a Comment