Tanggal 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 Zulhijjah merupakan hari-hari yang sangat ditunggu jamaah haji. Sebab, di hari-hari itu lah mereka berkumpul dan bergerak di tiga tempat yang menjadi pusat pelaksanaan ibadah haji di luar Masjid Al-Haram, Makkah. Ketiga tempat tersebut adalah ‘Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
‘Arafah, seperti diketahui, adalah padang yang menjadi tempat melaksanakan wukuf, sebagai salah satu rukun ibadah haji. Padang ini terletak sekitar 14 kilometer dari Makkah. Konon, di padang ini lah Adam a.s. dan Hawa’ bertemu selepas keduanya berpisah selama sekitar 100 tahun. Dulu, padang ini merupakan padang pasir tandus, kering, dan panas. Lokasi ini dikelilingi bukit berbatu tanpa air, tanpa kehidupan. Selain ini, menurut sejarah perjuangan Islam, padang ini acap dijadikan sebagai tempat pembuangan pejuang Islam yang tertangkap kaum musyrik Makkah. Pada umumnya mereka yang dibuang ke tempat ini tak bakal hidup lagi, karena di sekitarnya penuh bahaya, tanpa air dan makanan.
Wukuf di ‘Arafah sendiri, pada tanggal 9 Zulhijjah, sebagai salah satu rangkaian ibadah haji, merupakan inti atau puncak ibadah itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw., “Ibadah haji adalah (melaksanakan wukuf di) Arafah.” Wukuf sendiri bermakna berdiam diri, yakni berdiam diri untuk bermeditasi dan menengadah guna merenungkan eksistensi diri di hadapan Allah dan di hadapan makhluk alam semesta, kemudian melakukan transformasi rohaniah secara besar-besaran. Dengan kata lain, dengan melaksanakan wukuf di ‘Arafah tersebut, orang-orang yang melaksanakan ibadah haji diharapkan menjadi arif dan sadar akan eksistensi dirinya, dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pergi, sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, serta memanifestasikan dan kesadaran tersebut dalam bentuk tindakan konkret dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakatnya.
Selepas melaksanakan wukuf di Padang ‘Arafah, jamaah haji akan bergerak menuju Muzdalifah, suatu tempat di mana mereka mengambil batu-batu kecil untuk melontar jamrah. Tempat ini terletak sekitar 9 kilometer di barat Arafah, di antara Arafah dan Mina. Keadaannya hampir sama dengan ‘Arafah, berupa padang pasir dan bukit-bukit batu gersang yang tak berpenghuni. Berhenti di sini untuk mabit merupakan salah satu syarat wajib ibadah haji. Pada waktu mabit di Muzdalifah ini lah, dalam perjalanan pulang dari Arafah menuju Makkah, Ibrahim a.s. bermimpi menerima perintah Allah Swt. untuk menyembelih putranya, Isma‘il a.s. Pada waktu Nabi Muhammad Saw. menunaikan ibadah haji, beliau melakukan shalat maghrib dan isya di Muzdalifah dengan jama‘ ta‘khir dan qashar, lalu mabit. Seusai melaksanakan shalat subuh, baru beliau berangkat ke Mina: sebuah lembah yang terletak sekitar tujuh kilometer sebelah timur Makkah.
Mina adalah tempat bagi jamaah haji melempar jamrah pertama, kedua, dan ‘Aqabah. Seperti diketahui, salah satu wajib ibadah haji adalah melontar jamrah ‘Aqabah pada Hari Raya Haji dan tiga jamrah: jamrah pertama, jamrah kedua, dan jamrah ketiga pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah. Setiap jamrah dilontar dengan tujuh batu kecil dan waktu melontarnya ialah setelah matahari tergelincir setiap hari. Tujuh batu itu hendaknya dilontarkan dengan tangan satu per satu (tidak boleh sekaligus atau dua-dua). Juga, urutan jamrah harus tertib: mula-mula jamrah pertama, lantas jamrah kedua, dan terakhir jamrah ketiga.
Dalam kaitannya dengan hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah) tersebut, apabila seseorang ingin mempercepat ibadah hajinya, bila ia telah melewati hari pertama dan kedua (yakni tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah), ia boleh tidak mengikuti lagi bermalam di malam ketiga dan tidak perlu lagi melontar jamrah pada tanggal 13 Dzul Hijjah. Dan jika mereka tidak bermalam di tempat ini, ibadah haji mereka tetap sah. Tetapi, mereka harus membayar dam, yaitu memotong seekor kambing. Jika mereka tidak mampu menyembelih seekor kambing, mereka hendaknya berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari kala melaksanakan ibadah haji dan tujuh hari setelah mereka tiba di rumah.
Di Mina ini pula lah Ibrahim a.s., atas perintah Allah Swt., mengorbankan putranya, Isma‘il a.s. Isma‘il a.s. harus dibunuh dengan pedangnya. Akibatnya, terjadi perang batin dalam diri Ibrahim a.s. Setan membujuknya agar ia membelot dari perintah Allah. Tapi, Ibrahim a.s. tetap mengorbankan putranya yang diintainya, untuk disembelih demi Allah. Karena Allah Yang Maha Kuasa tidak haus darah dan tidak membutuhkan Ismai‘l a.s., maka dikirimkan lah domba sebagai tebusannya. Dan, kini, ummat Islam ber-Idul Adhha dengan mengorbankan hewan korban, bisa berupa domba, sapi, kerbau, atau unta.
No comments:
Post a Comment