Sebuah sumur yang terdapat dalam lingkungan Masjid Al-Haram, Makkah dan terletak di sebelah tenggara bangunan Ka‘bah ini sejatinya tidak dikemukakan di dalam Al-Quran. Tapi, kisahnya dikaitkan dengan perjalanan hidup Ibrahim a.s. yang hidup sekitar 4000 tahun yang silam. Kala itu, sumur ini masih menjadi bagian dari padang pasir nan gersang dan tandus, bukti bahwa tempat tersebut tidak pernah dihuni. Lalu Ibrahim a.s. dan istrinya, Hajar, dan putranya, Isma‘il a.s., datang dan bermukim di tempat itu untuk memenuhi perintah Allah Swt.
Pada saat Ibrahim a.s. sedang pergi beberapa lama, persediaan makanan dan minuman habis. Malah, air susu Hajar pun mengering. Hidup sang ibunda dan putranya itu terancam haus dan lapar. Hajar lantas berupaya mencari air dengan lari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Dan, selepas berjalan dan berlari tujuh kali di antara kedua bukit itu, akhirnya Hajar menemukan sebuah sumur di lokasi yang tidak jauh dari lokasi Ka‘bah dewasa ini.
Melihat adanya sumur di padang gersang itu, segera sebuah keluarga dari suku Jurhum, sebuah suku Arab yang menurunkan suku-suku yang berkuasa di Makkah, menetap di sekitar sumur ini. Para sejarawan membagi suku ini menjadi dua kelompok, Jurhum pertama dan Jurhum kedua. Kelompok Jurhum pertama, yang menurunkan kaum ‘Ad dan Tsamud, telah punah. Semula kaum ‘Ad, anak keturunan ‘Ad bin ‘Aus bin Aram bin Sam bin Nuh as, tinggal di padang pasir besar Al-Ahqaf dan mendiami jazirah yang luas, yang membentang dari Teluk Oman sampai Hadhramaut dan Yaman di ujung selatan. Sedangkan anak keturunan Tsamud bin Katsir bin Aram bin Sam bin Nuh a.s. mendiami Arab Shubr, kemudian mereka terusir dari kawasan itu dan menetap di Al-Hijr di perbatasan Suriah. Sementara kelompok Jurhum kedua adalah sebuah suku yang menetap di Yaman, kemudian pindah ke Makkah tidak lama setelah Hajar, istri menetap di sana. Merekalah yang memelihara Ka‘bah sampai digantikan oleh suku Khuza‘ah. Suku terakhir ini berkesempatan memelihara Rumah Suci tersebut selama tiga abad. Selanjutnya pemeliharaan Ka‘bah jatuh ke tangan suku Quraisy.
Dengan bergulirnya waktu, wilayah di sekitar sumur ini pun semakin dihuni banyak orang. Namun, ketika kesucian Ka‘bah mulai tercemari, air mata Zamzam pun ikut mengering dan sumurnya kemudian ditutup. Akibatnya, selama sekitar tiga abad sumur ini “tak termanfaatkan”. Sumur ini baru “ditemukan kembali” oleh ‘Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad Saw. Sejak itu, hingga kini, sumur yang memiliki kedalaman sekitar 100 meter ini tetap menyajikan airnya bagi jamaah haji.
Dahulu, air Zamzam ini ditimba dari sumur dengan menggunakan timba kulit khusus. Kemudian air itu dimasukkan ke dalam bak air besar, lalu dibagi-bagikan kepada para pemakainya. Namun kemudian, tepatnya pada 1373 H/1953 M, dibangun pompa air. Pompa yang dapat memompa air antara 11 sampai 18.5 liter air/detik ini menyalurkan air dari sumur ke bak penampungan air, termasuk kran-kran yang ada di sekitar sumur Zamzam.
Dewasa ini, ada tiga tahapan dalam pembagian air itu. Pertama, air dipompa dari sumur dengan menggunakan pompa otomatis berukuran besar dan dialirkan ke stasiun pendinginan di luar Masjid Al-Haram di depan Pintu Al-Fath. Stasiun ini juga memiliki sistem pengaturan udara untuk wilayah Zamzam. Di sini, air dilewatkan melalui penyaring khusus untuk pemurnian. Malah, dilakukan sterilisasi dengan sinar ultra violet. Kedua, air dilewatkan melalui tanki pendingin, sehingga suhu air bisa diatur menurut keperluan. Ketiga, air dipompakan ke Masjid Al-Haram melalui pipa baja yang dilapisi dengan bahan pencegah aliran pembuangan panas. Bahan pelapis itu ditempatkan di Al-Mas‘a di luar Pintu Quraisy, Pintu ‘Arafah, dan Pintu Mina. Selain itu, sebuah laboratorium khusus dibangun untuk mengalisa air Zamzam setiap harinya. Dengan cara seperti itu, air Zamzam dapat dipastikan kebersihannya.
Kini, atas berbagai pertimbangan, antara lain untuk memperluas tempat pelaksanaan tawaf, Sumur Zamzam ditutup. Sehingga, tak aneh bila sering dikakatakan, yang disebut Sumur Zamzam di lingkungan Masjid Al-Haram kini bukan lagi Sumur Zamzam, tapi Keran-Keran Zamzam!
Pada saat Ibrahim a.s. sedang pergi beberapa lama, persediaan makanan dan minuman habis. Malah, air susu Hajar pun mengering. Hidup sang ibunda dan putranya itu terancam haus dan lapar. Hajar lantas berupaya mencari air dengan lari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Dan, selepas berjalan dan berlari tujuh kali di antara kedua bukit itu, akhirnya Hajar menemukan sebuah sumur di lokasi yang tidak jauh dari lokasi Ka‘bah dewasa ini.
Melihat adanya sumur di padang gersang itu, segera sebuah keluarga dari suku Jurhum, sebuah suku Arab yang menurunkan suku-suku yang berkuasa di Makkah, menetap di sekitar sumur ini. Para sejarawan membagi suku ini menjadi dua kelompok, Jurhum pertama dan Jurhum kedua. Kelompok Jurhum pertama, yang menurunkan kaum ‘Ad dan Tsamud, telah punah. Semula kaum ‘Ad, anak keturunan ‘Ad bin ‘Aus bin Aram bin Sam bin Nuh as, tinggal di padang pasir besar Al-Ahqaf dan mendiami jazirah yang luas, yang membentang dari Teluk Oman sampai Hadhramaut dan Yaman di ujung selatan. Sedangkan anak keturunan Tsamud bin Katsir bin Aram bin Sam bin Nuh a.s. mendiami Arab Shubr, kemudian mereka terusir dari kawasan itu dan menetap di Al-Hijr di perbatasan Suriah. Sementara kelompok Jurhum kedua adalah sebuah suku yang menetap di Yaman, kemudian pindah ke Makkah tidak lama setelah Hajar, istri menetap di sana. Merekalah yang memelihara Ka‘bah sampai digantikan oleh suku Khuza‘ah. Suku terakhir ini berkesempatan memelihara Rumah Suci tersebut selama tiga abad. Selanjutnya pemeliharaan Ka‘bah jatuh ke tangan suku Quraisy.
Dengan bergulirnya waktu, wilayah di sekitar sumur ini pun semakin dihuni banyak orang. Namun, ketika kesucian Ka‘bah mulai tercemari, air mata Zamzam pun ikut mengering dan sumurnya kemudian ditutup. Akibatnya, selama sekitar tiga abad sumur ini “tak termanfaatkan”. Sumur ini baru “ditemukan kembali” oleh ‘Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad Saw. Sejak itu, hingga kini, sumur yang memiliki kedalaman sekitar 100 meter ini tetap menyajikan airnya bagi jamaah haji.
Dahulu, air Zamzam ini ditimba dari sumur dengan menggunakan timba kulit khusus. Kemudian air itu dimasukkan ke dalam bak air besar, lalu dibagi-bagikan kepada para pemakainya. Namun kemudian, tepatnya pada 1373 H/1953 M, dibangun pompa air. Pompa yang dapat memompa air antara 11 sampai 18.5 liter air/detik ini menyalurkan air dari sumur ke bak penampungan air, termasuk kran-kran yang ada di sekitar sumur Zamzam.
Dewasa ini, ada tiga tahapan dalam pembagian air itu. Pertama, air dipompa dari sumur dengan menggunakan pompa otomatis berukuran besar dan dialirkan ke stasiun pendinginan di luar Masjid Al-Haram di depan Pintu Al-Fath. Stasiun ini juga memiliki sistem pengaturan udara untuk wilayah Zamzam. Di sini, air dilewatkan melalui penyaring khusus untuk pemurnian. Malah, dilakukan sterilisasi dengan sinar ultra violet. Kedua, air dilewatkan melalui tanki pendingin, sehingga suhu air bisa diatur menurut keperluan. Ketiga, air dipompakan ke Masjid Al-Haram melalui pipa baja yang dilapisi dengan bahan pencegah aliran pembuangan panas. Bahan pelapis itu ditempatkan di Al-Mas‘a di luar Pintu Quraisy, Pintu ‘Arafah, dan Pintu Mina. Selain itu, sebuah laboratorium khusus dibangun untuk mengalisa air Zamzam setiap harinya. Dengan cara seperti itu, air Zamzam dapat dipastikan kebersihannya.
Kini, atas berbagai pertimbangan, antara lain untuk memperluas tempat pelaksanaan tawaf, Sumur Zamzam ditutup. Sehingga, tak aneh bila sering dikakatakan, yang disebut Sumur Zamzam di lingkungan Masjid Al-Haram kini bukan lagi Sumur Zamzam, tapi Keran-Keran Zamzam!
1 comment:
bagus benget info nya sangat menambah wawasan
Post a Comment