Di Makkah, Madinah, dan kawasan di antara kedua kota tersebut banyak terdapat masjid. Sebagian besar nama yang dikenakan pada masjid-masjid tersebut sejatinya kurang tepat. Dalam sejarah, misalnya, tidak dikenal adanya Masjid Abu Bakar Al-Shiddiq, Masjid ‘Umar bin Al-Khaththab, Masjid ‘Utsman bin ‘Affan, maupun Masjid ‘Ali bin Abu Thalib. Demikian halnya tiada bukti apa pun yang menguatkan bahwa seseorang telah mendirikan sebuah masjid di ‘Aqabah, tempat Rasulullah Saw. bertemu dengan beberapa orang dari kaum Anshar dua tahun dan setahun sebelum kehijrahan beliau ke Madinah, sebuah awal perluasan yang sangat menentukan dalam sejarah Islam. Demikian halnya pula tiada catatan yang menguatkan adanya sebuah masjid di lokasi pohon yang menjadi tempat dilaksanakannya Sumpah Kesetiaan Al-Ridhwan (Bai‘ah Al-Ridhwân) pada 6 H. Malah, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kala ‘Umar bin Al-Khaththab menjabat khalifah, ia mencari pohon tersebut. Ternyata, pohon tersebut sudah tiada lagi.
Namun, masjid-masjid tersebut, meski penampilannya sederhana, tampak indah dan menawan serta dihiasi dengan keindahan ketakwaan dan cinta kepada Allah Swt. Sebagian besar masjid-masjid tersebut didirikan oleh para penguasa dan pangeran dan Dinasti Mamluk dan Usmaniyyah serta para dermawan Hijaz. Mengenai usia masjid-masjid tersebut, sulit dipastikan secara tepat. Meski demikian, masjid-masjid tersebut merupakan masjid-masjid agung, karena tegak di Tanah Suci. Di antara masjid-masjid tersebut, Masjid Quba’ menempati posisi yang unik.
Seperti diketahui, Rasulullah Saw. mendirikan masjid terakhir tersebut begitu beliau tiba di Quba’ pada Jumat, 8 Rabi‘ Al-Awwal 1 H atau 23 Juli 622 M. Ketika itu, Quba’ merupakan sebuah kawasan pinggiran Yatsrib dan terletak sekitar tiga kilometer di sebelah selatannya. Masjid tersebut merupakan masjid yang pertama kali didirikan dalam sejarah Islam. Dan masjid tersebut, sejak awal pendiriannya, seperti dikemukakan dalam Al-Quran, merupakan masjid yang didirikan di atas ketakwaan. Lahan untuk masjid itu, kala dibangun pertama kali, merupakan sumbangan dari keluarga Kultsum bin Hidm. Beliau meninggalkan kota itu empat hari kemudian, yakni 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Inilah hari bermulanya kalender Hijriyah. Dan, selepas bermukim di Madinah dan ketika tidak sedang keluar kota, beliau senantiasa menyempatkan diri mengunjungi Masjid Quba’.
Masjid sederhana yang terdiri dari satu ruangan bersegi empat dengan serambi yang diberi atap di bagian mihrab itu, di masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan, diperbaiki karena rusak berat. Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi Gubernur Madinah, di masa pemerintahan Al-Walid bin ‘Abdul Malik (penguasa ke-7 Dinasti Umawiyyah di Suriah), ia memugar kembali masjid ini, di samping melengkapinya dengan sebuah menara. Sederet perbaikan, pemugaran, dan perluasan selanjutnya terus dilaksanakan oleh para penguasa Muslim. Antara lain oleh Sultan Al-Asyraf Saif Al-Din Qait-Bey dari Dinasti Mamluk. Pada 888 H/1580 M, masjid tersebut dibangun kembali seluruhnya dan dilengkapi dengan sebuah mimbar baru dari pualam. Mimbar tersebut kemudian diganti dengan mimbar (terkenal dengan sebutan Mimbar Masjid Raya) yang dihadiahkan sang sultan pada Masjid Nabawi ketika Sultan Murad III, penguasa ke-13 Dinasti Usmaniyyah di Turki, menghadiahkan sebuah mimbar indah pada Masjid Nabawi.
Adapun menara Masjid Quba’ dewasa ini berasal dari masa pemerintahan Dinasti Usmaniyyah di Turki. Kemungkinan besar menara tersebut dibuat pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II, tepatnya pada 1245 H/1825 M. Pembangunan menara tersebut dilakukan di bawah pimpinan Muhammad ‘Ali, gubernur Mesir kala itu, dan para insinyur dan tukang batu dari Mesir. Pembangunan tersebut baru rampung pada masa pemerintahan putra sang sultan: ‘Abdul Majid. Sedang pendapat yang menyatakan bahwa bangunan kecil yang terdapat dalam shahn merupakan lokasi pemberhentian unta Rasulullah saw ketika pertama kali memasuki Madinah adalah tidak benar.
Masjid Quba’ dewasa ini, selepas dipugar dan diperluas oleh Raja Faisal bin Abdul ‘Aziz pada 1388 H/1968 M dan dipugar dan diperluas lagi oleh Raja Fahd bin Abdul ‘Aziz pada 1405 H/1985 M, tetap memelihara karakteristik kesederhanaan yang menjadi corak masjid-masjid generasi pertama. Bentuknya yang ada dewasa ini merupakan bentuk masjid tersebut ketika diperbarui oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Dan, bila Anda berziarah ke Madinah, usahakanlah berziarah juga berziarah ke Masjid Quba’ yang senantiasa dikunjungi Rasul Saw. setiap hari Sabtu itu!
Namun, masjid-masjid tersebut, meski penampilannya sederhana, tampak indah dan menawan serta dihiasi dengan keindahan ketakwaan dan cinta kepada Allah Swt. Sebagian besar masjid-masjid tersebut didirikan oleh para penguasa dan pangeran dan Dinasti Mamluk dan Usmaniyyah serta para dermawan Hijaz. Mengenai usia masjid-masjid tersebut, sulit dipastikan secara tepat. Meski demikian, masjid-masjid tersebut merupakan masjid-masjid agung, karena tegak di Tanah Suci. Di antara masjid-masjid tersebut, Masjid Quba’ menempati posisi yang unik.
Seperti diketahui, Rasulullah Saw. mendirikan masjid terakhir tersebut begitu beliau tiba di Quba’ pada Jumat, 8 Rabi‘ Al-Awwal 1 H atau 23 Juli 622 M. Ketika itu, Quba’ merupakan sebuah kawasan pinggiran Yatsrib dan terletak sekitar tiga kilometer di sebelah selatannya. Masjid tersebut merupakan masjid yang pertama kali didirikan dalam sejarah Islam. Dan masjid tersebut, sejak awal pendiriannya, seperti dikemukakan dalam Al-Quran, merupakan masjid yang didirikan di atas ketakwaan. Lahan untuk masjid itu, kala dibangun pertama kali, merupakan sumbangan dari keluarga Kultsum bin Hidm. Beliau meninggalkan kota itu empat hari kemudian, yakni 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Inilah hari bermulanya kalender Hijriyah. Dan, selepas bermukim di Madinah dan ketika tidak sedang keluar kota, beliau senantiasa menyempatkan diri mengunjungi Masjid Quba’.
Masjid sederhana yang terdiri dari satu ruangan bersegi empat dengan serambi yang diberi atap di bagian mihrab itu, di masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan, diperbaiki karena rusak berat. Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi Gubernur Madinah, di masa pemerintahan Al-Walid bin ‘Abdul Malik (penguasa ke-7 Dinasti Umawiyyah di Suriah), ia memugar kembali masjid ini, di samping melengkapinya dengan sebuah menara. Sederet perbaikan, pemugaran, dan perluasan selanjutnya terus dilaksanakan oleh para penguasa Muslim. Antara lain oleh Sultan Al-Asyraf Saif Al-Din Qait-Bey dari Dinasti Mamluk. Pada 888 H/1580 M, masjid tersebut dibangun kembali seluruhnya dan dilengkapi dengan sebuah mimbar baru dari pualam. Mimbar tersebut kemudian diganti dengan mimbar (terkenal dengan sebutan Mimbar Masjid Raya) yang dihadiahkan sang sultan pada Masjid Nabawi ketika Sultan Murad III, penguasa ke-13 Dinasti Usmaniyyah di Turki, menghadiahkan sebuah mimbar indah pada Masjid Nabawi.
Adapun menara Masjid Quba’ dewasa ini berasal dari masa pemerintahan Dinasti Usmaniyyah di Turki. Kemungkinan besar menara tersebut dibuat pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II, tepatnya pada 1245 H/1825 M. Pembangunan menara tersebut dilakukan di bawah pimpinan Muhammad ‘Ali, gubernur Mesir kala itu, dan para insinyur dan tukang batu dari Mesir. Pembangunan tersebut baru rampung pada masa pemerintahan putra sang sultan: ‘Abdul Majid. Sedang pendapat yang menyatakan bahwa bangunan kecil yang terdapat dalam shahn merupakan lokasi pemberhentian unta Rasulullah saw ketika pertama kali memasuki Madinah adalah tidak benar.
Masjid Quba’ dewasa ini, selepas dipugar dan diperluas oleh Raja Faisal bin Abdul ‘Aziz pada 1388 H/1968 M dan dipugar dan diperluas lagi oleh Raja Fahd bin Abdul ‘Aziz pada 1405 H/1985 M, tetap memelihara karakteristik kesederhanaan yang menjadi corak masjid-masjid generasi pertama. Bentuknya yang ada dewasa ini merupakan bentuk masjid tersebut ketika diperbarui oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Dan, bila Anda berziarah ke Madinah, usahakanlah berziarah juga berziarah ke Masjid Quba’ yang senantiasa dikunjungi Rasul Saw. setiap hari Sabtu itu!
No comments:
Post a Comment