Masjid Al-Haram, sebuah masjid yang terletak di jantung Kota Makkah, tentu tak asing bagi setiap Muslim. Pada masa Nabi Muhammad Saw., masjid ini berbentuk Ka‘bah dan ruang kosong yang dibatasi oleh rumah-rumah penduduk. Ketika ‘Umar bin Al-Khaththab menjabat khalifah, pada 17 H/638 M, ia membeli rumah-rumah itu dan membangun tembok setinggi orang. Perluasan serupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan dan pada 64 H/683 M oleh ‘Abdullah bin Al-Zubair. Pembangunan besar-besaran atas masjid ini baru dilakukan pada 75 H/694 M, pada masa pemerintahan ‘Abdul Malik bin Marwan. Pembangunan ini dilanjutkan oleh putranya, Al-Walid bin ‘Abdul Malik. Dengan pembangunan ini, masjid ini memiliki atap, tiang-tiangnya dibuat dari marmer, dinding-dindingnya dihiasi mosaik, dan pintu-pintunya dilapis emas dan tembaga. Lantas, ketika Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah, menjabat khalifah dan menunaikan ibadah haji, pada 158 H/775 M, masjid ini diperluas dua kali lipat, dilengkapi dengan menara, dan lantai Hijir Isma‘il dibuat dari marmer.
Pemugaran dan perluasan masjid ini terus dilakukan oleh sejumlah para penguasa Muslim. Misalnya, pemugaran yang dilakukan pada 802 H/1400 oleh Sultan Barquq dari Mesir, karena sebagian masjid ini tertimpa kebakaran, dan perbaikan yang dilakukan Sultan Qait-Bey pada 856 H/1453 M karena masjid ini disambar kilat. Perhatian para penguasa Dinasti Mamluk terhadap Masjid Al-Haram memang demikian besar. Sejak Ka‘bah dan Masjid Al-Haram dipugar sejak masa pemerintahan Sultan Al-Zhahir Baibars hingga masa pemerintahan Sultan Qalawun, para penguasa dinasti tersebut selalu menaruh perhatian besar terhadap Makkah dan Madinah. Pemugaran terakhir oleh para penguasa Mamluk atas Masjid Al-Haram dilakukan pada 868 H/1464 M. Selepas itu, tatkala kedua Tanah Suci tersebut beralih di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyyah dari Turki, pemeliharaan atas Masjid Al-Haram pun beralih ke tangan mereka. Upaya mereka, dalam hal tersebut, tidak hanya terbatas pada pemeliharaan saja. Di bawah pemerintahan Sultan Salim, dimulai upaya pembangunan kembali atas masjid tersebut. Namun, baru pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, atau Sulaiman Agung (926-973 H/1520-1565 M), dilakukan pembangunan kembali atas Ka‘bah dan Masjid Al-Haram. Bentuk kedua bangunan tersebut yang ada dewasa ini merupakan hasil dari pembangunan kembali tersebut.
Bentuk atau rancangan tersebut sejatinya merupakan hasil karya seorang arsitek terkemuka Dinasti Usmaniyyah kala itu, yaitu Sinan Pasha. Namun, sang arsitek tak sampai menyaksikan pelaksanaan proyeknya tersebut. Karena itu, proyek itu kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya: Mehmet Aga. Lewat proyek tersebut, luas komplek Masjid Al-Haram menjadi memiliki luas sekitar 200 x 200 meter = 40.000 meter persegi. Dalam pembangunan tersebut, bukaan-bukaan yang mengitari Masjid Al-Haram dibangun kembali. Tiang-tiang pualam lama dibuang dan digantikan dengan 892 tiang baru yang juga dari pualam. Di antara tiang-tiang tersebut, didirikan tiang dari batu pasir untuk menyangga bukaan-bukaan dan 500 kubah-kubah kecil yang dibuat dari batu. Kubah-kubah tersebut sebelumnya dibuat dari kayu. Dekorasi Masjid Al-Haram kala itu dibuat oleh ’Abdulllah Luthfi, seorang pelukis terkemuka Turki kala itu yang mewakili Aliran Usmaniyyah di bidang seni lukis.
Selepas itu, tepatnya pada 994 H/1586 M, dinding-dinding Masjid Al-Haram diselimuti pualam berwarna. Sedangkan lampu-lampu gantungnya diperbarui dan dilengkapi dengan lampu-lampu berbentuk kepala pohon kurma. Selain itu, masjid ini juga dibuatkan beberapa menara, yang terbesar berbentuk bulat mengikuti gaya Usmaniyyah dan memiliki tiga syurfah (balkon) untuk melantunkan azan. Di bawah menara terbesar tersebut, yang disebut Menara Khalifah, Sultan Sulaiman mendirikan sebuah madrasah untuk mempelajari fikih yang diberi nama Madrasah Sulaimaniyyah.
Pada awal abad ke-11 H/17 M bangunan Ka‘bah mulai rapuh. Melihat hal yang demikian itu, para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan meruntuhkan Ka‘bah agar dapat dibangun kembali. Mengenai hal tersebut, para ulama Istanbul membolehkannya. Sedangkan hakim Makkah kala itu, yang menganut Mazhab Syafi‘i, tidak membolehkannya dan harus dibiarkan hingga bangunan Ka‘bah itu runtuh dengan sendirinya. Di antara kedua pendapat tersebut tidak didapatkan titik temu. Kemudian, pada 1039 H/1629 M, banjir bandang menghajar Kota Makkah, sehingga membuat dua sudut Ka‘bah runtuh. Karena itu, tiada alasan lagi yang melarang untuk meruntuhkan seluruh bangunan Ka‘bah dan membangunnya kembali dengan meletakkan kembali Hajar Aswad di tempatnya semula.
Pembangunan kembali Ka‘bah kala itu dilaksanakan para arsitek dan ahli bangunan yang didatangkan dan Istanbul dan Kairo. Ketika tiba saat untuk meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya, para hakim dari empat mazhab, para insinyur, dan para pemuka pun melakukan seperti halnya apa yang dilakukan oleh para pemuka Makkah tatkala Ka‘bah dibangun kembali pada masa sebelum Nabi Muhammad Saw. diangkat sebagai Rasul: mereka meletakkan Hajar Aswad di atas selembar kain, kemudian mereka mengangkatnya bersama-sama dari seluruh pinggir kain tersebut. Dalam pembangunan kembali Ka‘bah kali ini, para arsitek memakai kembali batu-batu Ka‘bah yang ada sebelumnya. Ini karena, demikian dituturkan, batu-batu tersebut berasal dari masa Rasul saw. Selain itu, dalam membuat fondasi, mereka tetap memakai batu-batu basal hijau. Ini karena ada pendapat yang menyatakan, dari batu-batu jenis itulah Ibrahim a.s. dan Isma‘il a.s. membangun Ka‘bah. Fondasi tersebut, yang disebut syadzarwan, dilapis dengan pualam.
Di samping itu, mereka juga tetap memelihara tiang-tiang kayu yang menyangga atap Ka‘bah, setelah kayu-kayu tersebut mereka buang bagian-bagiannya yang telah rapuh dan mereka cat dengan adonan minyak zakfaron dan susu. Mereka juga mengembalikan sebuah pintu kecil, yang dibuat Sultan Sulaiman untuk Ka‘bah, ke tempatnya. Selain itu, mereka membuat sebuah pancuran baru dari emas yang dilapisi porselen biru. Mereka juga menghampari lantai bagian dalam Ka‘bah dengan tirai sutra hitam seperti halnya bagian luarnya. Tirai tersebut dibuat di Mesir dan didatangkan ke Makkah, sampai ke masa belum lama, dengan iring-iringan pasukan yang mengawalnya.
Bangunan tersebut tetap bertahan hingga awal abad ke-18 M. Pada abad tersebut Muhammad ‘Ali, membangun kembali seluruh Masjid Al-Haram. Pembangunan tersebut, tepatnya, dilakukan pada 1237 H/1821 M. Pembangunan kembali seluruh bangunan Masjid Al-Haram dimulai pada Februari 1958. Tepatnya pada masa pemerintahan Raja Sa‘ud bin ‘Abdul Aziz. Sejak awal, pembangunan itu di bawah pimpinan saudara sang raja: Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz yang kala itu menjadi putra mahkota. Dengan pembangunan tersebut, Masjid Al-Haram menjadi memiliki bentuk baru yang sangat indah dan menawan. Kemudian, lewat pembangunan terakhir yang dilakukan oleh Raja Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz, Masjid Al-Haram kini memiliki ruang shalat seluas 76.000 meter persegi. Juga, semakin indah dan megah.
Pemugaran dan perluasan masjid ini terus dilakukan oleh sejumlah para penguasa Muslim. Misalnya, pemugaran yang dilakukan pada 802 H/1400 oleh Sultan Barquq dari Mesir, karena sebagian masjid ini tertimpa kebakaran, dan perbaikan yang dilakukan Sultan Qait-Bey pada 856 H/1453 M karena masjid ini disambar kilat. Perhatian para penguasa Dinasti Mamluk terhadap Masjid Al-Haram memang demikian besar. Sejak Ka‘bah dan Masjid Al-Haram dipugar sejak masa pemerintahan Sultan Al-Zhahir Baibars hingga masa pemerintahan Sultan Qalawun, para penguasa dinasti tersebut selalu menaruh perhatian besar terhadap Makkah dan Madinah. Pemugaran terakhir oleh para penguasa Mamluk atas Masjid Al-Haram dilakukan pada 868 H/1464 M. Selepas itu, tatkala kedua Tanah Suci tersebut beralih di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyyah dari Turki, pemeliharaan atas Masjid Al-Haram pun beralih ke tangan mereka. Upaya mereka, dalam hal tersebut, tidak hanya terbatas pada pemeliharaan saja. Di bawah pemerintahan Sultan Salim, dimulai upaya pembangunan kembali atas masjid tersebut. Namun, baru pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, atau Sulaiman Agung (926-973 H/1520-1565 M), dilakukan pembangunan kembali atas Ka‘bah dan Masjid Al-Haram. Bentuk kedua bangunan tersebut yang ada dewasa ini merupakan hasil dari pembangunan kembali tersebut.
Bentuk atau rancangan tersebut sejatinya merupakan hasil karya seorang arsitek terkemuka Dinasti Usmaniyyah kala itu, yaitu Sinan Pasha. Namun, sang arsitek tak sampai menyaksikan pelaksanaan proyeknya tersebut. Karena itu, proyek itu kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya: Mehmet Aga. Lewat proyek tersebut, luas komplek Masjid Al-Haram menjadi memiliki luas sekitar 200 x 200 meter = 40.000 meter persegi. Dalam pembangunan tersebut, bukaan-bukaan yang mengitari Masjid Al-Haram dibangun kembali. Tiang-tiang pualam lama dibuang dan digantikan dengan 892 tiang baru yang juga dari pualam. Di antara tiang-tiang tersebut, didirikan tiang dari batu pasir untuk menyangga bukaan-bukaan dan 500 kubah-kubah kecil yang dibuat dari batu. Kubah-kubah tersebut sebelumnya dibuat dari kayu. Dekorasi Masjid Al-Haram kala itu dibuat oleh ’Abdulllah Luthfi, seorang pelukis terkemuka Turki kala itu yang mewakili Aliran Usmaniyyah di bidang seni lukis.
Selepas itu, tepatnya pada 994 H/1586 M, dinding-dinding Masjid Al-Haram diselimuti pualam berwarna. Sedangkan lampu-lampu gantungnya diperbarui dan dilengkapi dengan lampu-lampu berbentuk kepala pohon kurma. Selain itu, masjid ini juga dibuatkan beberapa menara, yang terbesar berbentuk bulat mengikuti gaya Usmaniyyah dan memiliki tiga syurfah (balkon) untuk melantunkan azan. Di bawah menara terbesar tersebut, yang disebut Menara Khalifah, Sultan Sulaiman mendirikan sebuah madrasah untuk mempelajari fikih yang diberi nama Madrasah Sulaimaniyyah.
Pada awal abad ke-11 H/17 M bangunan Ka‘bah mulai rapuh. Melihat hal yang demikian itu, para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan meruntuhkan Ka‘bah agar dapat dibangun kembali. Mengenai hal tersebut, para ulama Istanbul membolehkannya. Sedangkan hakim Makkah kala itu, yang menganut Mazhab Syafi‘i, tidak membolehkannya dan harus dibiarkan hingga bangunan Ka‘bah itu runtuh dengan sendirinya. Di antara kedua pendapat tersebut tidak didapatkan titik temu. Kemudian, pada 1039 H/1629 M, banjir bandang menghajar Kota Makkah, sehingga membuat dua sudut Ka‘bah runtuh. Karena itu, tiada alasan lagi yang melarang untuk meruntuhkan seluruh bangunan Ka‘bah dan membangunnya kembali dengan meletakkan kembali Hajar Aswad di tempatnya semula.
Pembangunan kembali Ka‘bah kala itu dilaksanakan para arsitek dan ahli bangunan yang didatangkan dan Istanbul dan Kairo. Ketika tiba saat untuk meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya, para hakim dari empat mazhab, para insinyur, dan para pemuka pun melakukan seperti halnya apa yang dilakukan oleh para pemuka Makkah tatkala Ka‘bah dibangun kembali pada masa sebelum Nabi Muhammad Saw. diangkat sebagai Rasul: mereka meletakkan Hajar Aswad di atas selembar kain, kemudian mereka mengangkatnya bersama-sama dari seluruh pinggir kain tersebut. Dalam pembangunan kembali Ka‘bah kali ini, para arsitek memakai kembali batu-batu Ka‘bah yang ada sebelumnya. Ini karena, demikian dituturkan, batu-batu tersebut berasal dari masa Rasul saw. Selain itu, dalam membuat fondasi, mereka tetap memakai batu-batu basal hijau. Ini karena ada pendapat yang menyatakan, dari batu-batu jenis itulah Ibrahim a.s. dan Isma‘il a.s. membangun Ka‘bah. Fondasi tersebut, yang disebut syadzarwan, dilapis dengan pualam.
Di samping itu, mereka juga tetap memelihara tiang-tiang kayu yang menyangga atap Ka‘bah, setelah kayu-kayu tersebut mereka buang bagian-bagiannya yang telah rapuh dan mereka cat dengan adonan minyak zakfaron dan susu. Mereka juga mengembalikan sebuah pintu kecil, yang dibuat Sultan Sulaiman untuk Ka‘bah, ke tempatnya. Selain itu, mereka membuat sebuah pancuran baru dari emas yang dilapisi porselen biru. Mereka juga menghampari lantai bagian dalam Ka‘bah dengan tirai sutra hitam seperti halnya bagian luarnya. Tirai tersebut dibuat di Mesir dan didatangkan ke Makkah, sampai ke masa belum lama, dengan iring-iringan pasukan yang mengawalnya.
Bangunan tersebut tetap bertahan hingga awal abad ke-18 M. Pada abad tersebut Muhammad ‘Ali, membangun kembali seluruh Masjid Al-Haram. Pembangunan tersebut, tepatnya, dilakukan pada 1237 H/1821 M. Pembangunan kembali seluruh bangunan Masjid Al-Haram dimulai pada Februari 1958. Tepatnya pada masa pemerintahan Raja Sa‘ud bin ‘Abdul Aziz. Sejak awal, pembangunan itu di bawah pimpinan saudara sang raja: Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz yang kala itu menjadi putra mahkota. Dengan pembangunan tersebut, Masjid Al-Haram menjadi memiliki bentuk baru yang sangat indah dan menawan. Kemudian, lewat pembangunan terakhir yang dilakukan oleh Raja Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz, Masjid Al-Haram kini memiliki ruang shalat seluas 76.000 meter persegi. Juga, semakin indah dan megah.
1 comment:
Sejak kapan pemindahan pengurusan haji (Masjidil Haram) dari Dinasti Usmaniyyah (Turki)beralih ke kerajaan Arab Saudi? Mengapa tidak diserahkan kepada keturunan Nabi Muhammad SAW saja yg mengurusinya?
Post a Comment