USTADZ, MENGAPA SHALAT SEBAGAI TIANG AGAMA?
“Ustadz,” tanya seorang jamaah pengajian Sabtu pagi di rumah, minggu
lalu, “mengapa shalat yang dikatakan sebagai tiang Agama (Islam). Kok bukan
puasa, zakat, atau ibadah haji?”
Entah kenapa, menerima pertanyaan yang memikat tersebut, saya teringat
jawaban seorang ulama terkemuka Mesir atas pertanyaan yang sama. Ketika masih
menimba ilmu di Mesir, saya suka mengikuti ceramah yang disampaikan ulama yang
satu itu, setiap kali sang ulama memberikan ceramah di tivi. Wajahnya tampak
memendarkan kedamaian dan kebahagiaan. Gaya ceramahnya sangat menawan: popular,
berisi, dan mencerahkan. Tidak aneh bila rating ceramah yang disampaikan ulama
yang satu itu meraih nilai “jempol”. Apalagi ketika ulama tersebut sedang
memberikan ceramah tentang Tafsir Al-Quran. Indah sekali ceramah-ceramahnya.
Siapakah ulama tersebut?
Ulama yang setiap kali tampil senantiasa mengenakan jubah berwarna putih
itu bernama lengkap Syeikh ‘Abdurrahim Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawi. Ulama
yang satu ini lahir di Daqadus, Daqahliyyah, pada Rabu,
19 Rabi‘ Al-Akhir 1329 H/19 April
1911 M, dalam lingkungan yang saleh
dan berkecukupan. Pendidikan pertamanya
ia lalui di kuttâb, suatu
sistem pendidikan tradisional
untuk menghapal Al-Quran yang dilakukan
di masjid. Pada
1349 H/1930 M
ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Zaqaziq, di sebuah
sekolah yang berafiliasi dengan Al-Azhar.
Enam tahun kemudian, selepas merampungkan pendidikan menengah di Zaqaziq, ia menapakkan
kakinya di Kairo.
Di kota yang telah berusia lebih dari seribu
tahun ini pengagum Ahmad Syauqi,
penyair terkemuka di Mesir, ini memasuki
Fakultas Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar. Selama menjadi
mahasiswa, ia dikenal sebagai
aktivis. Ia pernah
memimpin gerakan protes terhadap rektornya yang dianggap
bertanggungjawab atas rendahnya gaji para alumni yang menjadi pengajar di Al-Azhar.
Sang rektor akhirnya dicopot dan gaji para pengajar pun naik. Pendidikannya di universitas Islam tertua di Dunia Islam ini
dirampungkannya pada 1360 H/1941 M. Di antara para guru besar Al-Azhar
yang besar pengaruhnya selama ia meniti
pendidikan ini ialah Syaikh Ahmad Yusuf Najati, Syaikh Ahmad ‘Imarah, Syaikh
Ibrahim Hamrusy, dan Syaikh Muhammad
Musthafa Al-Maraghi.
Usai merampungkan
pendidikan tinggi pada 1360
H/1941 M, Al-Sya‘rawi
muda lantas meniti karier sebagai guru
di Thantha, Zaqaziq, dan Iskandariah. Lantas, pada awal 1950-an,
ulama yang sangat memikat
ketika berceramah ini bermukim di Arab
Saudi selama beberapa tahun.
Di negeri ini
ia giat menulis
dan berceramah, di samping menjadi staf pengajar di Universitas Raja ‘Abdul ‘Aziz. Baru pada 1380 H/1960 M ia
kembali ke negerinya untuk menduduki
beberapa jabatan di Kementerian Wakaf
dan Al-Azhar. Namun, pada 1386
H/1966 ia kembali meninggalkan negeri dan menapakkan kakinya ke Aljazair. Di
negeri terakhir ini ia lebih banyak
mencurahkan waktunya di bidang dakwah Islamiah.
Pada awal tahun
1970-an ulama yang terkenal dermawan ini
menetap kembali di Arab Saudi
selama beberapa tahun dan bekerja
sebagai guru besar di
lingkungan Universitas Raja ‘Abdul
‘Aziz. Kemudian, tepatnya pada 1396 H/1976 M, Presiden
Anwar Sadat memintanya balik
ke negerinya, untuk menjabat
sebagai Menteri Wakaf, di samping menjadi penceramah. Karena
keluasan ilmu dan wawasan
yang ia kemukakan dalam tulisan dan ceramahnya, namanya segera berpendar. Tak aneh bila
karena ilmu dan wawasannya yang
luas itu ia kemudian diangkat sebagai
ketua panitia konsultatif Bank Sentral Mesir.
Dalam perjalanan
hidup selanjutnya ulama yang juga
membangun Kompleks Medis Al-Sya‘rawi
ini ikut berperan
aktif dalam berbagai kegiatan
keislaman, termasuk ikut mendirikan sebuah bank Islam di Austria dan memelopori
berdirinya bank Islam di tanah
airnya, Mesir. Dan, ulama yang ikut
menghadiri Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 ini berpulang
kepada Sang Pencipta pada
Rabu, 22 Shafar 1419 H/17 Juni 1998 M, dalam usia
87 tahun, dengan meninggalkan sederet karya tulis. Karya-karyanya
tersebut, antara lain, adalah Fî Al-Hukm wa Al-Siyâsah, Al-Tharîq ilâ
Allâh, Hâdzâ Hua Al-Islâm, Al-Islâm wa Harakât Al-Hayâh, dan Mu‘jizât
Al-Qur’ân.
Nah, bagaimanakah
jawaban sang ulama atas pertanyaan di atas?
Menjawab pertanyaan yang demikian, Syeikh ‘Abdurrahim
Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawi, memberikan jawaban yang menawan, “Shalat
menjadi tiang agama karena shalat merupakan rukun yang tidak dapat digugurkan
selamanya. Ini karena shalat memadukan semua rukun itu. Karena itu, ketika
seseorang melaksanakan shalat, sejatinya ia juga mengucapkan dua kalimat
syahadah, yaitu tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah.
Juga, pada saat melaksanakan shalat, ia berpuasa dalam pengertian ia menahan
makan dan minum, termasuk menahan berbicara. Demikian pula shalat lebih luas
cakupannya dalam menahan diri daripada puasa. Ketika seseorang Muslim
melaksanakan shalat, sejatinya ia juga menahan diri dari banyak hal yang kadang
masih dapat dilakukan seseorang yang sedang berpuasa. Misalnya, dalam puasa ia
tidak dilarang bergerak ke mana pun ia melangkah kedua kakinya. Sedangkan dalam
shalat, ia dilarang bergerak selain gerakan-gerakan yang diwajibkan ketika ia
sedang menghadap Allah Swt. Dengan kata lain, shalat mempunyai cakupan menahan
diri yang lebih luas daripada ketika seorang mukmin menahan diri karena
berpuasa.
Zakat, seperti diketahui, adalah mengeluarkan sebagian
harta. Harta itu diperoleh manusia melalui gerakan dan kerja. Gerakan dan kerja
tersebut menyita sebagian waktu. Ketika seseorang sedang melaksanakan shalat, sejatinya ia juga melaksanakan zakat, karena ia telah meluangkan waktunya
sebagai wadah gerakan dan kerja. Malah, dalam shalat terkandung makna zakat
yang lebih luas. Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah juga terkandung dalam
shalat. Ini karena setiap kali seseorang Muslim melaksanakan shalat, ia menghadap
ke arah Baitullah sebagai kiblat.
Oleh karena itu, shalat berbeda dengan rukun-rukun
Islam lainnya. Mengapa? Lembaran sejarah menorehkan, shalat tidak diwajibkan
melalui wahyu, tapi diwajibkan langsung antara Allah Swt. dan Muhammad Saw.
Karena kedudukan yang tinggi ini, Allah Swt. memperingatkan kita supaya kita
melaksanakan shalat di mana pun kita berada. Malah, Allah Swt. juga mewajibkan
shalat khusus yang disebut shalat harb (shalat dalam keadaan
berperang) dan shalat al-khauf (shalat ketika dalam keadaan ketakutan).
Sehingga, tiada seorang pun yang akan menyatakan bahwa perang menghalangi
seseorang untuk melaksanakan shalat. Malah, dalam perang setiap Muslim lebih
diutamakan untuk tetap konsisten dalam melakanakan ajaran Tuhan.”
Indah sekali jawaban itu!