Tuesday, July 31, 2012


USTADZ, MENGAPA SHALAT SEBAGAI TIANG AGAMA?

Ustadz,” tanya seorang jamaah pengajian Sabtu pagi di rumah, minggu lalu, “mengapa shalat yang dikatakan sebagai tiang Agama (Islam). Kok bukan puasa, zakat, atau ibadah haji?”

Entah kenapa, menerima pertanyaan yang memikat tersebut, saya teringat jawaban seorang ulama terkemuka Mesir atas pertanyaan yang sama. Ketika masih menimba ilmu di Mesir, saya suka mengikuti ceramah yang disampaikan ulama yang satu itu, setiap kali sang ulama memberikan ceramah di tivi. Wajahnya tampak memendarkan kedamaian dan kebahagiaan. Gaya ceramahnya sangat menawan: popular, berisi, dan mencerahkan. Tidak aneh bila rating ceramah yang disampaikan ulama yang satu itu meraih nilai “jempol”. Apalagi ketika ulama tersebut sedang memberikan ceramah tentang Tafsir Al-Quran. Indah sekali ceramah-ceramahnya.

Siapakah ulama tersebut?

Ulama yang setiap kali tampil senantiasa mengenakan jubah berwarna putih itu bernama lengkap Syeikh ‘Abdurrahim Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawi. Ulama yang satu ini lahir di Daqadus,  Daqahliyyah, pada  Rabu,  19 Rabi‘ Al-Akhir 1329 H/19 April  1911  M,  dalam lingkungan yang  saleh  dan  berkecukupan. Pendidikan   pertamanya  ia  lalui  di  kuttâb,   suatu   sistem pendidikan  tradisional untuk menghapal Al-Quran yang  dilakukan di  masjid.  Pada  1349  H/1930  M  ia  melanjutkan   pendidikan menengahnya di Zaqaziq, di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan Al-Azhar.  Enam tahun kemudian, selepas merampungkan  pendidikan menengah di Zaqaziq, ia menapakkan kakinya di Kairo.

Di  kota yang telah berusia lebih dari seribu tahun ini  pengagum Ahmad Syauqi, penyair terkemuka di Mesir, ini memasuki  Fakultas Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar. Selama menjadi mahasiswa,  ia dikenal  sebagai  aktivis.  Ia  pernah  memimpin  gerakan  protes terhadap rektornya yang dianggap bertanggungjawab atas  rendahnya gaji  para alumni yang menjadi pengajar di Al-Azhar. Sang  rektor akhirnya  dicopot dan gaji para pengajar pun naik.  Pendidikannya di  universitas Islam tertua di Dunia Islam  ini  dirampungkannya pada 1360 H/1941 M. Di antara para guru besar Al-Azhar yang besar pengaruhnya  selama ia meniti pendidikan ini ialah  Syaikh  Ahmad Yusuf  Najati, Syaikh Ahmad ‘Imarah, Syaikh Ibrahim Hamrusy,  dan Syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi.

Usai  merampungkan  pendidikan tinggi pada 1360  H/1941  M,  Al-Sya‘rawi  muda  lantas  meniti karier sebagai  guru  di  Thantha, Zaqaziq,  dan Iskandariah. Lantas, pada awal 1950-an, ulama  yang sangat  memikat  ketika berceramah ini bermukim  di  Arab  Saudi selama  beberapa  tahun.  Di  negeri  ini  ia  giat  menulis  dan berceramah, di samping menjadi staf pengajar di Universitas  Raja ‘Abdul ‘Aziz. Baru pada 1380 H/1960 M ia kembali  ke  negerinya untuk  menduduki  beberapa jabatan di Kementerian Wakaf  dan  Al-Azhar. Namun, pada 1386 H/1966 ia kembali meninggalkan negeri dan menapakkan kakinya ke Aljazair. Di negeri terakhir ini ia  lebih banyak mencurahkan waktunya di bidang dakwah Islamiah.

Pada awal tahun 1970-an ulama yang terkenal dermawan ini  menetap kembali  di Arab Saudi selama beberapa tahun dan bekerja  sebagai guru   besar  di  lingkungan  Universitas  Raja  ‘Abdul ‘Aziz. Kemudian,  tepatnya  pada 1396 H/1976 M,  Presiden  Anwar  Sadat memintanya  balik  ke negerinya, untuk menjabat  sebagai  Menteri Wakaf,  di samping menjadi penceramah. Karena keluasan  ilmu  dan wawasan  yang ia kemukakan dalam tulisan dan ceramahnya,  namanya segera berpendar. Tak aneh bila karena ilmu dan wawasannya  yang luas  itu ia kemudian diangkat sebagai ketua panitia konsultatif Bank Sentral Mesir.

Dalam  perjalanan  hidup selanjutnya ulama  yang  juga  membangun Kompleks  Medis  Al-Sya‘rawi  ini  ikut  berperan  aktif  dalam berbagai kegiatan keislaman, termasuk ikut mendirikan sebuah bank Islam di Austria dan memelopori berdirinya bank Islam di  tanah airnya,  Mesir. Dan, ulama yang ikut menghadiri Konferensi  Asia-Afrika  di Bandung pada 1955 ini berpulang kepada  Sang  Pencipta pada  Rabu, 22 Shafar 1419 H/17 Juni 1998 M, dalam  usia  87 tahun, dengan meninggalkan sederet karya tulis. Karya-karyanya tersebut, antara lain, adalah Fî Al-Hukm wa Al-Siyâsah, Al-Tharîq ilâ Allâh, Hâdzâ Hua Al-Islâm, Al-Islâm wa Harakât Al-Hayâh, dan Mu‘jizât Al-Qur’ân.

Nah, bagaimanakah jawaban sang ulama atas pertanyaan di atas?

Menjawab pertanyaan yang demikian, Syeikh ‘Abdurrahim Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawi, memberikan jawaban yang menawan, “Shalat menjadi tiang agama karena shalat merupakan rukun yang tidak dapat digugurkan selamanya. Ini karena shalat memadukan semua rukun itu. Karena itu, ketika seseorang melaksanakan shalat, sejatinya ia juga mengucapkan dua kalimat syahadah, yaitu tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah. Juga, pada saat melaksanakan shalat, ia berpuasa dalam pengertian ia menahan makan dan minum, termasuk menahan berbicara. Demikian pula shalat lebih luas cakupannya dalam menahan diri daripada puasa. Ketika seseorang Muslim melaksanakan shalat, sejatinya ia juga menahan diri dari banyak hal yang kadang masih dapat dilakukan seseorang yang sedang berpuasa. Misalnya, dalam puasa ia tidak dilarang bergerak ke mana pun ia melangkah kedua kakinya. Sedangkan dalam shalat, ia dilarang bergerak selain gerakan-gerakan yang diwajibkan ketika ia sedang menghadap Allah Swt. Dengan kata lain, shalat mempunyai cakupan menahan diri yang lebih luas daripada ketika seorang mukmin menahan diri karena berpuasa.

Zakat, seperti diketahui, adalah mengeluarkan sebagian harta. Harta itu diperoleh manusia melalui gerakan dan kerja. Gerakan dan kerja tersebut menyita sebagian waktu. Ketika seseorang sedang melaksanakan shalat, sejatinya ia juga melaksanakan zakat, karena ia telah meluangkan waktunya sebagai wadah gerakan dan kerja. Malah, dalam shalat terkandung makna zakat yang lebih luas. Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah juga terkandung dalam shalat. Ini karena setiap kali seseorang Muslim melaksanakan shalat, ia menghadap ke arah Baitullah sebagai kiblat.

Oleh karena itu, shalat berbeda dengan rukun-rukun Islam lainnya. Mengapa? Lembaran sejarah menorehkan, shalat tidak diwajibkan melalui wahyu, tapi diwajibkan langsung antara Allah Swt. dan Muhammad Saw. Karena kedudukan yang tinggi ini, Allah Swt. memperingatkan kita supaya kita melaksanakan shalat di mana pun kita berada. Malah, Allah Swt. juga mewajibkan shalat khusus yang disebut shalat harb (shalat dalam keadaan berperang) dan shalat al-khauf (shalat ketika dalam keadaan ketakutan). Sehingga, tiada seorang pun yang akan menyatakan bahwa perang menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat. Malah, dalam perang setiap Muslim lebih diutamakan untuk tetap konsisten dalam melakanakan ajaran Tuhan.”

Indah sekali jawaban itu!

1 comment:

syawir-uimkeperawatan said...

Luar biasa tulisannya bang... tx