PESAN INDAH SEORANG TUAN GURU
“Tuan Guru,” ucap seseorang kepada seorang ulama terkemuka suatu saat, “berilah
kami pencerahan kalbu tentang kekayaan duniawi. Sehingga, lewat pencerahan itu,
kami dapat memahami makna kehadiran kami di dunia ini.”
Tuan Guru itu tidak lain adalah Ibn ‘Arabi, seorang ulama
terkemuka Andalusia. Bernama lengkap Muhyiddin Abu ‘Abdullah
Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abdullah Al-‘Arabi Al-Hatimi
Al-Tha’i Al-Andalusi, ia lebih terkenal dengan
sebutan Muhyiddin ibn
‘Arabi atau Ibn ‘Arabi (atau Ibn Al-‘Arabi) saja. Ia lahir
pada Senin, 17 Ramadhan 560 H/28 Juli
1165 M di Murcia, Andalusia Tenggara, dan berasal dari
keluarga bangsawan, hartawan, dan ilmuwan. Ketika ia berumur 8
tahun, keluarganya pindah
ke Sevilla. Di kota ini, ia mulai
menuntut ilmu dan menelaah Al-Quran,
hadis, dan fikih di
bawah asuhan seorang
faqîh terkenal kota itu, Abu Bakar bin Khalaf, yang mengikuti
Mazhab Zhahiri. Lantas, ketika berumur 21
tahun, ia mulai memasuki
dan mengikuti perjalanan para sufi. Ia pun rajin menelaah karya-karya
tentang tasawuf. Selain
itu, ia juga mulai
terlibat dalam berbagai pertemuan dan dialog dengan para tokoh sufi.
Pada 590 H/1194
M, ketika pikiran Ibn ‘Arabi telah mengkristal, ia berkelana mengelilingi
Andalusia. Selepas puas menikmati
kelananya ke berbagai kota di Andalusia,
ia ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke
Bejayah, Aljazair. Dari kota
ini ia kemudian meneruskan kelananya ke Tunis. Selepas beberapa lama
berada di Tunis, ia kemudian kembali lagi ke
Andalusia. Pada tahun
berikutnya ia kembali melintasi Selat Gibraltar, menuju
Fez. Di kota terakhir tersebut ia
tinggal selama beberapa tahun. Pada 595 H/1198 M ia
kembali lagi ke Andalusia,
mengunjungi Granada dan Murcia. Selepas dua tahun
berada di negeri yang indah
tempat kelahirannya itu, ia pergi ke Marrakesy. Bersama-sama seorang
sufi, Abu Al-‘Abbas Al-Sibti. Dari kota ini ia kemudian menuju Bejayah kembali.
Dari sana ia kemudian
berkelana ke Tripoli, Tunis, Mesir, dan kemudian menuju Makkah.
Di kota ini
nama Ibn ‘Arabi mulai mencuat.
Para tokoh dan ilmuwan pun acap menemuinya. Di antara
mereka adalah Abu Syuja‘ Al-Imam Al-Muwakkil. Tokoh
terakhir ini mempunyai
seorang gadis yang cantik dan jenius, bernama Nizham.
Melihat gadis yang cantik dan pintar
itu, kalbu Ibn ‘Arabi bergetar. Muncullah inspirasi untuk menuangkan getaran
kalbunya dalam sebuah
karya. Lahirlah karyanya yang
berjudul Turjumân Al-Asywâq. Menurut pengakuan Ibn ‘Arabi, dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah
karya itu merupakan untaian puisi cintanya kepada gadis yang
rupawan itu. Namun, sejatinya, karya itu merupakan ungkapan
cintanya kepada Sang Pencipta.
Lantas, pada 600 H/1203, M Ibn ‘Arabi memulai
kembali kelananya. Pertama-tama ia menuju Baghdad, kemudian ke Mosul.
Dari kota terakhir ini
ia menuju Mesir.
Dari sana ia
menuju Makkah kembali. Selanjutnya ia berkelana ke Baghdad lagi. Selepas
beberapa lama berada di kota itu, ia
menuju Suriah dan menetap di Damaskus sampai berpulang pada Rabu, 28 Rabi‘ Al-Akhir 638 H/14
November 1240 M.
“Saudaraku,” ucap sang Tuan Guru, menjawab pertanyaan yang menarik itu, “sejatinya
dunia ini adalah tempat persiapan di mana seseorang diberi banyak pelajaran dan
berhasil dalam mengatasi banyak cobaan. Pilihlah yang kurang daripada yang
lebih banyak di dalamnya. Puaslah dengan yang Anda miliki, meski itu lebih
sedikit daripada kepunyaan orang lain. Senanglah dengan memiliki yang sedikit.”
Usai berucap demikian, Tuan Guru pun berhenti mengucap. Lantas, ia
berpesan, “Saudaraku. Sejatinya dunia ini tidak buruk. Sebaliknya, ia adalah
ladang kehidupan mendatang. Apa yang Anda semai di sini akan Anda tuai di sana.
Dunia ini adalah jalan menuju kebahagiaan abadi. Karena itu, dunia patut dinikmati
dan dipuji. Yang buruk adalah apa yang Anda lakukan terhadap dunia ketika Anda
buta terhadap kebenaran dan benar-benar tenggelam oleh keinginan, nafsu, dan
ambisi Anda. Guru kita, Nabi Saw., yang dalam dirinya terdapat kebijaksanaan
sebening kristal, pernah ditanya, ‘Apakah yang duniawi itu?’ Jawab beliau, ‘Segala
sesuatu yang membuat Anda lalai dan menyebabkan Anda lupa terhadap Tuhan Anda.’
Karena itu, pada dasarnya kekayaan duniawi tidak buruk. Tetapi, yang buruk
adalah hanya ketika Anda membiarkan kekayaan duniawi membuat Anda lupa, tidak
taat, dan tidak sadar akan Tuhan.”
No comments:
Post a Comment