Wednesday, July 25, 2012


PESAN INDAH SEORANG TUAN GURU

“Tuan Guru,” ucap seseorang kepada seorang ulama terkemuka suatu saat, “berilah kami pencerahan kalbu tentang kekayaan duniawi. Sehingga, lewat pencerahan itu, kami dapat memahami makna kehadiran kami di dunia ini.”

Tuan Guru itu tidak lain adalah Ibn ‘Arabi, seorang  ulama terkemuka  Andalusia.  Bernama  lengkap  Muhyiddin  Abu  ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abdullah Al-‘Arabi Al-Hatimi  Al-Tha’i  Al-Andalusi, ia lebih terkenal  dengan  sebutan Muhyiddin ibn ‘Arabi atau Ibn ‘Arabi (atau Ibn Al-‘Arabi) saja. Ia  lahir  pada  Senin,  17 Ramadhan 560 H/28  Juli  1165  M  di Murcia, Andalusia Tenggara, dan berasal dari keluarga bangsawan, hartawan, dan ilmuwan. Ketika  ia  berumur  8  tahun,  keluarganya  pindah   ke Sevilla.  Di kota ini, ia mulai menuntut ilmu dan  menelaah  Al-Quran,  hadis,  dan  fikih di  bawah  asuhan  seorang  faqîh terkenal  kota  itu, Abu Bakar bin Khalaf, yang  mengikuti  Mazhab Zhahiri.  Lantas, ketika berumur 21 tahun, ia  mulai  memasuki  dan mengikuti perjalanan para sufi. Ia pun rajin menelaah karya-karya tentang  tasawuf.  Selain  itu, ia  juga  mulai  terlibat  dalam berbagai  pertemuan dan dialog dengan para tokoh sufi.

Pada  590  H/1194  M, ketika  pikiran  Ibn  Arabi  telah mengkristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Selepas  puas menikmati kelananya ke berbagai kota di  Andalusia, ia ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun  pergi ke  Bejayah,  Aljazair. Dari  kota  ini  ia  kemudian meneruskan kelananya ke Tunis. Selepas  beberapa  lama  berada di  Tunis,  ia kemudian kembali  lagi  ke  Andalusia. Pada tahun  berikutnya  ia  kembali melintasi Selat Gibraltar, menuju Fez. Di kota terakhir tersebut ia  tinggal selama beberapa tahun. Pada 595 H/1198 M  ia  kembali lagi  ke Andalusia, mengunjungi Granada dan Murcia.  Selepas  dua tahun  berada  di negeri yang indah tempat kelahirannya  itu,  ia pergi ke Marrakesy. Bersama-sama seorang sufi, Abu Al-‘Abbas Al-Sibti.  Dari  kota ini ia kemudian menuju Bejayah  kembali.  Dari sana  ia  kemudian  berkelana ke Tripoli, Tunis, Mesir, dan kemudian menuju Makkah.

Di  kota  ini  nama Ibn ‘Arabi mulai mencuat.  Para  tokoh  dan ilmuwan pun acap menemuinya. Di antara mereka adalah Abu Syuja‘  Al-Imam Al-Muwakkil.  Tokoh  terakhir ini mempunyai  seorang  gadis  yang cantik dan jenius, bernama Nizham. Melihat gadis yang cantik  dan pintar itu, kalbu Ibn Arabi bergetar. Muncullah inspirasi untuk menuangkan  getaran  kalbunya  dalam  sebuah  karya.  Lahirlah karyanya yang berjudul Turjumân Al-Asywâq. Menurut pengakuan Ibn ‘Arabi,  dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya  itu merupakan  untaian puisi cintanya kepada gadis yang rupawan  itu. Namun,  sejatinya, karya itu merupakan ungkapan cintanya  kepada Sang Pencipta.

Lantas, pada 600 H/1203, M Ibn ‘Arabi memulai kembali kelananya.  Pertama-tama  ia menuju Baghdad, kemudian ke Mosul. Dari  kota  terakhir ini  ia  menuju  Mesir.  Dari  sana  ia  menuju  Makkah  kembali. Selanjutnya  ia berkelana ke Baghdad lagi. Selepas beberapa  lama berada di kota itu, ia menuju Suriah dan menetap di Damaskus sampai berpulang pada Rabu, 28 Rabi‘ Al-Akhir  638 H/14  November 1240 M.  

“Saudaraku,” ucap sang Tuan Guru, menjawab pertanyaan yang menarik itu, “sejatinya dunia ini adalah tempat persiapan di mana seseorang diberi banyak pelajaran dan berhasil dalam mengatasi banyak cobaan. Pilihlah yang kurang daripada yang lebih banyak di dalamnya. Puaslah dengan yang Anda miliki, meski itu lebih sedikit daripada kepunyaan orang lain. Senanglah dengan memiliki yang sedikit.”

Usai berucap demikian, Tuan Guru pun berhenti mengucap. Lantas, ia berpesan, “Saudaraku. Sejatinya dunia ini tidak buruk. Sebaliknya, ia adalah ladang kehidupan mendatang. Apa yang Anda semai di sini akan Anda tuai di sana. Dunia ini adalah jalan menuju kebahagiaan abadi. Karena itu, dunia patut dinikmati dan dipuji. Yang buruk adalah apa yang Anda lakukan terhadap dunia ketika Anda buta terhadap kebenaran dan benar-benar tenggelam oleh keinginan, nafsu, dan ambisi Anda. Guru kita, Nabi Saw., yang dalam dirinya terdapat kebijaksanaan sebening kristal, pernah ditanya, ‘Apakah yang duniawi itu?’ Jawab beliau, ‘Segala sesuatu yang membuat Anda lalai dan menyebabkan Anda lupa terhadap Tuhan Anda.’ Karena itu, pada dasarnya kekayaan duniawi tidak buruk. Tetapi, yang buruk adalah hanya ketika Anda membiarkan kekayaan duniawi membuat Anda lupa, tidak taat, dan tidak sadar akan Tuhan.”

No comments: