Monday, July 30, 2012


INDAHNYA NAMA

Assalamu’alaikum,” demikian ucap seorang perempuan di telpon genggam saya sekitar satu jam yang lalu. “Kulo saking Jember, Ustad. Kulo bade nyuwun asmo kangge anak jaler kulo, nomer kalih. Nyuwun sewu, boso Indonesia kulo mboten lancar. Saya dari Jember. Saya hendak meminta nama untuk anak lelaki saya, nomer dua. Maaf, bahasa Indonesia saya tidak lancar.”
“Wa’alaikumussalam. Ibu pirso nomer telpon kulo saking sinten? Ibu tahu nomer telpon saya dari siapa?”
Saking Ustad Bunyamin, Semarang. Kulo dipun arahaken Ustad Bunyamin supados nyuwun asmo anak kulo dateng njenengan. Dari Ustad Bunyamin, Semarang. Saya diarahkan Ustad Bunyamin supaya meminta nama anak saya kepada Anda.”

Mendengar jawaban demikian, beberapa lama saya tidak kuasa berucap. Kemudian, gumam saya. “Ya Allah, nama anak doa. Berilah ide kepada hamba-Mu ini untuk dapat memberikan nama anak itu dan kiranya nama itu senantiasa menjadi doa ibunda dan ayahandanya, sehingga anak itu memiliki akhlak yang selaras dengan nama itu.”

Selepas meminta ibu tersebut menanti, saya akhirnya memberikan kepadanya tiga nama pilihan. Alhamdulillah akhirnya salah satu nama mereka pilih. Dan, kejadian itu sendiri segera menyadarkan saya: meski saya hanya dikaruniai Allah Swt. dua putri, namun hingga kini Allah Swt. memberikan kesempatan kepada saya untuk memberi nama sekitar 40 anak. Mereka bertebaran di berbagai kota di Indonesia. Alhamdulillah.

Pentingkah nama yang baik?

Pertanyaan tersebut mengingatkan saya pada peristiwa berikut: Madinah, Dzulhijjah 8 H. Betapa gembira hati Rasulullah Saw. pada suatu malam di bulan  itu. Allah Swt. memberikan karunia kepada beliau seorang putra. Sebelum kelahiran sang bayi, beliau memanggil seorang bidan, Salma, istri Abu Rafi‘. Kemudian, beliau menyendiri ke sudut, shalat, dan berdoa. Lahirlah bayi itu dengan selamat. Beliau pun mengucapkan terima kasih kepada sang bidan, dan memuliakannya dengan pemberian sedemikian rupa. Setelah itu, beliau segera menemui Mariyah Al-Qibthiyah, sang istri tercinta yang berasal dari Mesir, untuk mengucapkan selamat kepadanya. Selamat atas kelahiran putranya yang melepaskan dirinya dari status budak. Tak lama kemudian, beliau memangku sang bayi, membawanya ke hadapannya, sebagai penebar kegembiraan dan kasih sayang.

Rasulullah Saw. pun memberi nama sang putra serupa dengan nama nenek moyang beliau, Nabi Ibrahim a.s. Beberapa hari setelah itu, beliau menyembelih  dua  ekor  domba,  mencukur  rambut  si  bayi,   dan bersedekah perak yang setara dengan berat rambutnya kepada kaum fakir miskin Madinah. Dan, ibu-ibu Anshar berebut untuk menyusuinya. Mereka ingin agar Mariyah dapat tenang meladeni beliau, karena mereka mengerti bahwa beliau sangat menyenanginya. Ibrahim akhirnya disusui seorang istri tukang pandai besi bernama Abu Saif yang bermukim di perbukitan Madinah.

Putra tercinta Rasulullah Saw yang satu itu, seperti diketahui, merupakan putra  beliau satu-satunya yang lahir selepas beliau diangkat sebagai utusan Allah. Dapat dibayangkan, betapa gembira beliau menerima karunia demikian. Apalagi kala itu usia beliau telah memasuki kepala enam. Tentu, hal itu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Tak aneh, dengan kelahiran sang putra tersebut, perhatian beliau begitu besar terhadap sang putra dan juga ibunya. Sehingga, tak aneh pula, jika hal tersebut membangkitkan kecemburuan istri-istri lain beliau terhadap Mariyah Al-Qibthiyah.

Di sisi lain, jika proses pemberian nama sang putra tersebut dikaji dan diteliti dengan penuh perhatian, akan tampak bahwa Rasulullah Saw. begitu cermat dalam memilih nama. Sebab, Ibrahim termasuk nama yang indah, istimewa, dan langka pada saat itu. Nama ini belum pernah disandang oleh sahabat-sahabat beliau, juga oleh masyarakat yang berkembang di Semenanjung Arab kala itu. Jadi, pemilihan nama Ibrahim jelas bukan asal-asalan, dan malah dapat dikatakan merupakan pemilihan yang sangat tepat dan luar biasa.

Seperti diketahui, Ibrahim diambil dari nama nabi seorang kekasih Allah yang disebut 40  kali  dalam Al-Quran  dan digambarkan sebagai orang yang  menyerahkan  diri sepenuhnya  kepada Allah. Sehingga, perintah apa pun  ia  lakukan meski  harus  bertentangan dengan pikiran  dan  perasaannya. Putra  Adzar yang hidup  sekitar 2.100 sebelum Masehi yang silam ini lahir  di  Ur, di kawasan Chaldea. Setelah menerima  wahyu  dari Allah, orang pertama yang ia seru ialah ayahnya sendiri, seorang pemahat.  Tetapi,  sang ayah menolak  seruannya,  malah  kemudian mengusirnya.  Meski  diusir  sang  ayah,  ia  tetap  menyampaikan seruannya di kalangan bangsanya. Akibatnya, ia menerima  berbagai ancaman  dari  mereka. Ia lalu meninggalkan  negerinya,  disertai istri pertamanya: Sarah, menuju Palestina lewat Damaskus. 

Ketika  nabi  yang  mendapat gelar “Khalil Allah”  ini  tiba  di Palestina,  negeri  tersebut sedang tertimpa  paceklik.  Dia  lalu melanjutkan  perjalanannya ke Mesir. Di negeri terakhir  ini,  dia tinggal  tidak  lama, kemudian ia kembali lagi ke  Palestina.  Dia baru  mempunyai  putra pertama: Isma‘il,  lewat  istri  keduanya Hajar,  ketika berusia 68 tahun. Sedang putra  keduanya,  Ishaq, lahir  empat tahun kemudian. Menurut sebuah sumber, dia  berpulang pada  usia 175 tahun dan dimakamkan di Hebron  (kini  Al-Khalil), sebuah kota di Palestina, di Gua Machepelah. Hingga kini gua yang dapat  dikatakan  sebagai makam tertua di dunia ini  masih  tegak dengan gagahnya.

Ibrahim  a.s.  sendiri  datang menyerukan  bahwa  Allah  yang disembahnya adalah Tuhan seru sekalian alam, bukan Tuhan satu ras dan  bangsa,  juga bukan Tuhan yang terbatas untuk  satu  periode tertentu. Di dalam Al-Quran dikemukakan, para nabi  sebelum Ibrahim a.s. mengajarkan kaumnya agar menyembah Allah “Tuhanmu”. Tetapi  setelah  itu,  Ibrahim a.s. mengajarkan  bahwa  Tuhan  yang disembahnya  adalah Tuhan seru sekalian alam. Dengan  kata  lain, Tuhan  yang menyertai manusia saat tidur atau  sadarnya,  sebelum dan  saat  keberadaannya di dunia, dan  setelah  kematiannya. Uniknya, dia menemukan   dan  membina  keyakinannya  itu  melalui   pengalaman pribadi. Setelah mengamati bintang, bulan, dan matahari, akhirnya dia berkesimpulan, yang wajar disembah bukanlah patung, tidak juga benda-benda, tapi Tuhan seru sekalian alam.

Kecermatan Rasulullah Saw. dalam memilih dan memberi nama putra-putri beliau memang menarik untuk dikaji dan diteliti. Seperti diketahui, nama putra-putri beliau mempunyai arti yang sangat bagus. Tentu, pemberian nama-nama yang sangat bagus tersebut tidak mungkin asal-asalan, namun merupakan “buah” kecermatan beliau dalam memilih dan memberikan nama. Kecermatan beliau yang demikian itu sebenarnya tidak hanya terjadi ketika beliau memberi nama putra-putri beliau saja. Beliau juga selalu mencermati nama para sahabat beliau. Malah, kalau dirasa perlu, beliau meminta sahabat-sahabat beliau untuk mengganti dan mengubah nama mereka yang kurang islami. Misalnya saja, beliau mengganti nama kecil Abu Bakar Al-Shiddiq, yaitu ‘Abdul Ka‘bah yang berarti “hamba Ka‘bah”, menjadi ‘Abdullah yang berarti “hamba Allah”. Demikian halnya beliau mengganti nama kecil Abu Hurairah, yaitu ‘Abdusy-Syams yang berarti “hamba matahari”, menjadi ‘Abdurrahman yang berarti “hamba Yang Maha Pengasih”, dan mengganti nama putri ‘Umar bin Al-Khaththab yang bernama ‘Ashiyah yang berarti “perempuan yang berbuat maksiat” menjadi bernama Jamilah yang berarti “perempuan nan cantik”.

Dari sinilah kita dapat memahami mengapa Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, pada hari kiamat kelak kalian akan diseru dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian. Karena itu, perbaguslah nama kalian,” (HR Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Abu Al-Darda’). Beliau juga berpesan, “muliakanlah anak-anak kalian dan perbaguslah nama mereka!” (dituturkan oleh Ibn Majah) dan “hendaklah kalian menyandang nama dengan nama para nabi!” (dituturkan oleh Abu Dawud dari Abu Wahab Al-Jusyami).

Ya, muliakanlah putra-putri Anda, dengan memberikan nama yang indah. Silakan!

No comments: