INDAHNYA NAMA
“Assalamu’alaikum,” demikian ucap seorang perempuan di telpon genggam
saya sekitar satu jam yang lalu. “Kulo saking Jember, Ustad. Kulo bade nyuwun
asmo kangge anak jaler kulo, nomer kalih. Nyuwun sewu, boso Indonesia kulo
mboten lancar. Saya dari Jember. Saya hendak meminta nama untuk anak lelaki
saya, nomer dua. Maaf, bahasa Indonesia saya tidak lancar.”
“Wa’alaikumussalam. Ibu pirso nomer telpon kulo saking sinten? Ibu tahu
nomer telpon saya dari siapa?”
“Saking Ustad Bunyamin, Semarang. Kulo dipun arahaken Ustad Bunyamin
supados nyuwun asmo anak kulo dateng njenengan. Dari Ustad Bunyamin, Semarang.
Saya diarahkan Ustad Bunyamin supaya meminta nama anak saya kepada Anda.”
Mendengar jawaban demikian, beberapa lama saya tidak kuasa berucap. Kemudian,
gumam saya. “Ya Allah, nama anak doa. Berilah ide kepada hamba-Mu ini untuk dapat
memberikan nama anak itu dan kiranya nama itu senantiasa menjadi doa ibunda dan
ayahandanya, sehingga anak itu memiliki akhlak yang selaras dengan nama itu.”
Selepas meminta ibu tersebut menanti, saya akhirnya memberikan kepadanya
tiga nama pilihan. Alhamdulillah akhirnya salah satu nama mereka pilih. Dan,
kejadian itu sendiri segera menyadarkan saya: meski saya hanya dikaruniai Allah
Swt. dua putri, namun hingga kini Allah Swt. memberikan kesempatan kepada saya
untuk memberi nama sekitar 40 anak. Mereka bertebaran di berbagai kota di Indonesia. Alhamdulillah.
Pentingkah nama yang baik?
Pertanyaan tersebut mengingatkan saya pada peristiwa berikut: Madinah, Dzulhijjah 8 H. Betapa gembira hati Rasulullah Saw.
pada suatu malam di bulan itu. Allah Swt. memberikan
karunia kepada beliau seorang putra. Sebelum kelahiran sang bayi, beliau
memanggil seorang bidan, Salma, istri Abu Rafi‘. Kemudian, beliau menyendiri ke
sudut, shalat, dan berdoa. Lahirlah bayi itu dengan selamat. Beliau pun mengucapkan
terima kasih kepada sang bidan, dan memuliakannya dengan pemberian sedemikian
rupa. Setelah itu, beliau segera menemui Mariyah Al-Qibthiyah, sang istri tercinta yang
berasal dari Mesir, untuk mengucapkan selamat kepadanya. Selamat atas kelahiran putranya yang melepaskan
dirinya dari status budak. Tak lama kemudian, beliau memangku sang bayi,
membawanya ke hadapannya, sebagai penebar kegembiraan dan kasih sayang.
Rasulullah Saw. pun
memberi nama sang putra serupa dengan nama nenek moyang beliau, Nabi Ibrahim
a.s. Beberapa hari setelah itu, beliau menyembelih dua
ekor domba, mencukur
rambut si bayi,
dan bersedekah perak yang setara dengan berat rambutnya kepada kaum
fakir miskin Madinah. Dan, ibu-ibu Anshar berebut untuk menyusuinya. Mereka ingin agar Mariyah
dapat tenang meladeni beliau, karena mereka mengerti bahwa beliau sangat
menyenanginya. Ibrahim akhirnya disusui seorang istri tukang pandai besi
bernama Abu Saif yang bermukim di perbukitan Madinah.
Putra tercinta
Rasulullah Saw yang satu itu, seperti diketahui, merupakan putra beliau satu-satunya yang lahir selepas beliau
diangkat sebagai utusan Allah. Dapat dibayangkan, betapa gembira beliau
menerima karunia demikian. Apalagi kala itu usia beliau telah memasuki kepala
enam. Tentu, hal itu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Tak aneh, dengan
kelahiran sang putra tersebut, perhatian beliau begitu besar terhadap sang
putra dan juga ibunya. Sehingga, tak aneh pula, jika hal tersebut membangkitkan
kecemburuan istri-istri lain beliau terhadap Mariyah Al-Qibthiyah.
Di sisi lain, jika
proses pemberian nama sang putra tersebut dikaji dan diteliti dengan penuh
perhatian, akan tampak bahwa Rasulullah Saw. begitu cermat dalam memilih nama. Sebab, Ibrahim termasuk nama yang indah,
istimewa, dan langka pada saat itu. Nama ini belum pernah disandang oleh
sahabat-sahabat beliau, juga oleh masyarakat yang
berkembang di Semenanjung Arab kala itu. Jadi, pemilihan nama Ibrahim jelas bukan
asal-asalan, dan malah dapat dikatakan merupakan pemilihan yang sangat tepat dan luar biasa.
Seperti diketahui,
Ibrahim diambil dari nama nabi seorang kekasih Allah yang disebut 40 kali
dalam Al-Quran dan digambarkan
sebagai orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Sehingga, perintah apa pun ia
lakukan meski harus bertentangan dengan pikiran dan
perasaannya. Putra Adzar yang
hidup sekitar 2.100 sebelum Masehi yang
silam ini lahir di Ur, di kawasan Chaldea. Setelah menerima wahyu
dari Allah, orang pertama yang ia seru ialah ayahnya sendiri, seorang
pemahat. Tetapi, sang ayah menolak seruannya,
malah kemudian mengusirnya. Meski
diusir sang ayah,
ia tetap menyampaikan seruannya di kalangan bangsanya.
Akibatnya, ia menerima berbagai
ancaman dari mereka. Ia lalu meninggalkan negerinya,
disertai istri pertamanya: Sarah, menuju Palestina lewat Damaskus.
Ketika nabi
yang mendapat gelar “Khalil
Allah” ini tiba
di Palestina, negeri tersebut sedang tertimpa paceklik.
Dia lalu melanjutkan perjalanannya ke Mesir. Di negeri
terakhir ini, dia tinggal
tidak lama, kemudian ia kembali
lagi ke Palestina. Dia baru
mempunyai putra pertama:
Isma‘il, lewat istri
keduanya Hajar, ketika berusia 68
tahun. Sedang putra keduanya, Ishaq, lahir
empat tahun kemudian. Menurut sebuah sumber, dia berpulang pada usia 175 tahun dan dimakamkan di Hebron (kini
Al-Khalil), sebuah kota di Palestina, di Gua Machepelah. Hingga kini gua
yang dapat dikatakan sebagai makam tertua di dunia ini masih
tegak dengan gagahnya.
Ibrahim a.s.
sendiri datang menyerukan bahwa
Allah yang disembahnya adalah
Tuhan seru sekalian alam, bukan Tuhan satu ras dan bangsa,
juga bukan Tuhan yang terbatas untuk
satu periode tertentu. Di dalam
Al-Quran dikemukakan, para nabi sebelum
Ibrahim a.s. mengajarkan kaumnya agar menyembah Allah “Tuhanmu”. Tetapi setelah
itu, Ibrahim a.s. mengajarkan bahwa
Tuhan yang disembahnya adalah Tuhan seru sekalian alam. Dengan kata
lain, Tuhan yang menyertai
manusia saat tidur atau sadarnya, sebelum dan
saat keberadaannya di dunia,
dan setelah kematiannya. Uniknya, dia menemukan dan
membina keyakinannya itu
melalui pengalaman pribadi.
Setelah mengamati bintang, bulan, dan matahari, akhirnya dia berkesimpulan,
yang wajar disembah bukanlah patung, tidak juga benda-benda, tapi Tuhan seru
sekalian alam.
Kecermatan
Rasulullah Saw. dalam memilih dan memberi nama putra-putri beliau memang
menarik untuk dikaji dan diteliti. Seperti diketahui, nama putra-putri beliau
mempunyai arti yang sangat bagus. Tentu, pemberian nama-nama yang sangat bagus
tersebut tidak mungkin asal-asalan, namun merupakan “buah” kecermatan beliau dalam
memilih dan memberikan nama. Kecermatan beliau yang demikian itu sebenarnya
tidak hanya terjadi ketika beliau memberi nama putra-putri beliau saja. Beliau
juga selalu mencermati nama para sahabat beliau. Malah, kalau dirasa perlu,
beliau meminta sahabat-sahabat beliau untuk mengganti dan mengubah nama mereka
yang kurang islami. Misalnya saja, beliau mengganti nama kecil Abu Bakar
Al-Shiddiq, yaitu ‘Abdul Ka‘bah yang berarti “hamba Ka‘bah”, menjadi ‘Abdullah
yang berarti “hamba Allah”. Demikian halnya beliau mengganti nama kecil Abu
Hurairah, yaitu ‘Abdusy-Syams yang berarti “hamba matahari”, menjadi ‘Abdurrahman
yang berarti “hamba Yang Maha Pengasih”, dan mengganti nama putri ‘Umar bin
Al-Khaththab yang bernama ‘Ashiyah yang berarti “perempuan yang berbuat
maksiat” menjadi bernama Jamilah yang berarti “perempuan nan cantik”.
Dari sinilah kita
dapat memahami mengapa Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, pada hari kiamat kelak kalian akan diseru dengan nama-nama
kalian dan nama-nama ayah kalian. Karena itu, perbaguslah nama kalian,” (HR
Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Abu Al-Darda’). Beliau juga berpesan, “muliakanlah anak-anak kalian dan perbaguslah
nama mereka!” (dituturkan oleh Ibn Majah) dan “hendaklah kalian menyandang nama dengan nama para nabi!” (dituturkan
oleh Abu Dawud dari Abu Wahab Al-Jusyami).
Ya, muliakanlah putra-putri Anda, dengan memberikan nama yang indah.
Silakan!
No comments:
Post a Comment