CEMBURU SEORANG
ISTRI DAN CEMBURU TUHAN
“Al-Bashri,”
ucap seorang ulama terkemuka pada dirinya sendiri, “jangan kau biarkan dirimu jadi
pemalas. Malam ini, jalan-jalanlah tanpa diketahui orang lain. Dengarkanlah
keluhan orang-orang lain, sebagai pengingat dirimu di hadapan Tuhanmu!”
Ulama terkemuka
yang satu itu tidak lain adalah Al-Hasan Al-Bashri. Ulama generasi tabi‘ûn
dan sufi terkemuka pada abad 2 H/8 M ini lahir di Madinah pada
21 H/642 M, pada masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab, dengan
nama lengkap Abu Sa‘id Al-Hasan bin Abu Al-Hasan Yassar
Al-Bashri. Namun, kemudian
keluarganya pindah ke Bashrah, selepas
terjadi Perang Shiffin pada 35
H/656 M, sehingga lebih terkenal dengan
sebutan “Al-Bashri” (yang asal Bashrah). Ibundanya adalah seorang hamba sahaya
Ummu Salmah, istri Nabi Muhammad Saw.,
bernama Khairah binti Sa‘id
bin Zaid bin ‘Amr. Sedangkan ayahandanya
yang berdarah Persia, Firuz yang
kemudian berganti nama Yassar, memeluk Islam ketika kaum Muslim menaklukkan
Irak dan mantan budak Zaid bin Tsabit Al-Anshari.
Sebelum memeluk Islam, menurut Al-Thabari,
sang ayahanda beragama Nasrani. Ketika
masih bayi, ia beberapa kali disusui
istri Nabi Saw. itu.
Al-Hasan Al-Bashri tumbuh dewasa di Kota Nabi dalam
lingkungan yang saleh dan
mendalam pengetahuan agamanya.
Tak aneh bila selama
bermukim di kota suci itu, ia
bertemu tidak kurang dari 70 sahabat
Nabi Muhammad Saw. Di samping terkenal berpengetahuan agama yang
mendalam, ia juga terkenal hidup
jauh dari pesona duniawi dan
rendah hati. Di antara
ucapannya yang terkenal adalah, “Dunia ini bagaikan seorang
janda yang telah bongkok dan telah lama
ditinggal mati suaminya.”
Juga, ia
berkata, “Barang siapa mencintai
seseorang yang saleh, ia bagaikan mencintai Allah.”
Sikap hidup guru
pendiri Aliran Mu‘tazilah, Washil bin ‘Atha’,
yang demikian itu dipicu perasaan takutnya kepada
Allah SWT, perasaan sedih,
dan renungan untuk meraih
ridha Allah dan surga-Nya
di akhirat. Mengenai hal ini Al-Sya‘rani,
dalam karyanya Al-Thabaqât, berucap, “Dia penuh
diliputi rasa takut. Sehingga, neraka seakan hanya diciptakan
untuk dirinya seorang.”
Tak aneh
bila karena kehidupan Al-Hasan Al-Bashri
yang amat saleh, ia
pernah melakukan oposisi keagamaan
terhadap rezim Dinasti Umawiyyah, lewat sepucuk surat yang ia kirimkan
kepada ‘Abdul Malik bin Marwan, penguasa ke-5 dinasti tersebut. Dalam suratnya itu,
ia menuntut agar rakyat
diberi kebebasan untuk melakukan apa yang mereka anggap baik,
sehingga dengan begitu ada tempat
bagi tanggung jawab moral.
Suratnya tersebut bernada menggugat praktek-praktek zalim
penguasa Dinasti Umawiyyah. Namun, ia
dibiarkan penguasa, karena wibawa kepribadiannya yang
saleh dan pengaruhnya yang amat besar kepada masyarakat luas. Pada 42 H/662 M tokoh yang terkenal
petah dalam berbicara, tegas dalam berpendapat, dan pemberani dalam bersikap
ini ikut
serta dalam pasukan ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur
Bashrah, dalam berbagai ekspedisi
militer sampai ke Kabul. Dan, ia baru
kembali ke Bashrah pada 53 H/673 M dan menetap di kota itu
sampai ia berpulang.
Nah, ketika
malam tiba, ulama yang berpulang pada Kamis, 1 Rajab 110 H/10
Oktober 728 M itu pun jalan-jalan di seputar Kota Bashrah. Lantas,
ketika kedua kakinya telah terasa sangat berat untuk diayunkan, ia pun duduk di
bawah balkon sebuah rumah berlantai dua. Ketika ia sedang duduk di situ,
tiba-tiba ia mendengar seorang istri sedang berkata kepada suaminya di balkon
tersebut, “Suamiku! Sudah 50 tahun kita tinggal dalam satu rumah. Baik apakah
dalam suka maupun duka, aku selalu bersabar. Selama itu pula, aku tidak pernah
bertindak yang tidak benar. Aku pun tidak pernah mengeluhkan kepada orang
tentang dirimu kepada siapa pun. Karena itu, aku tak akan pernah memaafkan
dirimu karena satu hal: jika kau mencintai perempuan lain selain diriku. Ini
karena aku telah melakukan segalanya untuk dirimu. Karena itu pula,
perhatikankanlah diriku dan jangan sekali-kali memperhatikan perempuan lain!”
Mendengar ucapan
yang demikian, Al-Hasan Al-Bashri segera berdiri dan kembali ke rumahnya.
Begitu sampai di dalam rumah, ia pun langsung bersujud, menangis, dan berucap, “Ya
Allah, ampunilah aku. Cemburu perempuan itu mengingatkan aku pada titah-Mu dan
cemburu-Mu, ‘Aku akan mengampuni semua dosa kalian. Tetapi, jika dalam pikiran
kalian ada sedikit kecenderungan pada yang selain Aku dan kalian menyekutukan
Aku dengan yang selain Aku, Aku tidak akan mengampuni kalian.’ Ya Allah, betapa
aku masih acap cenderung pada yang selain Engkau dan menyekutukan Engkau dengan
yang selain engkau: dengan kedudukanku, rasa banggaku sebagai ulama, ilmuku,
dan lain-lain sebagainya. Ampunilah aku, wahai Tuhan Yang Sangat Pemaaf….”
No comments:
Post a Comment