Friday, July 27, 2012


CEMBURU SEORANG ISTRI DAN CEMBURU TUHAN

“Al-Bashri,” ucap seorang ulama terkemuka pada dirinya sendiri, “jangan kau biarkan dirimu jadi pemalas. Malam ini, jalan-jalanlah tanpa diketahui orang lain. Dengarkanlah keluhan orang-orang lain, sebagai pengingat dirimu di hadapan Tuhanmu!”

Ulama terkemuka yang satu itu tidak lain adalah Al-Hasan Al-Bashri. Ulama generasi tabi‘ûn  dan  sufi terkemuka  pada abad 2 H/8 M ini lahir di Madinah pada 21  H/642 M,  pada masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab,  dengan  nama lengkap  Abu  Sa‘id Al-Hasan bin Abu Al-Hasan  Yassar  Al-Bashri. Namun,  kemudian keluarganya pindah ke Bashrah, selepas  terjadi Perang  Shiffin pada 35 H/656 M, sehingga lebih terkenal  dengan sebutan  “Al-Bashri”  (yang asal Bashrah). Ibundanya  adalah seorang  hamba sahaya  Ummu Salmah, istri Nabi Muhammad Saw.,  bernama  Khairah binti  Sa‘id  bin  Zaid bin ‘Amr. Sedangkan  ayahandanya  yang  berdarah Persia, Firuz yang kemudian berganti nama Yassar, memeluk Islam ketika kaum Muslim menaklukkan Irak dan mantan budak Zaid bin Tsabit  Al-Anshari. Sebelum memeluk Islam, menurut  Al-Thabari, sang  ayahanda beragama Nasrani. Ketika masih bayi, ia beberapa  kali disusui istri Nabi Saw. itu.

Al-Hasan  Al-Bashri tumbuh dewasa di Kota Nabi  dalam  lingkungan yang  saleh  dan  mendalam pengetahuan agamanya.  Tak  aneh  bila selama  bermukim di kota suci  itu, ia bertemu tidak kurang  dari 70 sahabat Nabi Muhammad Saw. Di samping terkenal berpengetahuan agama  yang  mendalam, ia juga terkenal hidup  jauh  dari  pesona duniawi  dan  rendah  hati. Di  antara  ucapannya  yang  terkenal adalah, “Dunia ini bagaikan seorang janda yang telah bongkok  dan telah   lama   ditinggal  mati  suaminya.”  Juga,   ia   berkata, “Barang siapa mencintai  seseorang  yang  saleh, ia bagaikan mencintai Allah.”

Sikap hidup guru pendiri Aliran Mu‘tazilah, Washil bin  ‘Atha’, yang  demikian  itu dipicu perasaan takutnya  kepada  Allah  SWT, perasaan  sedih,  dan  renungan untuk  meraih  ridha  Allah  dan surga-Nya  di  akhirat. Mengenai hal ini  Al-Sya‘rani,  dalam karyanya  Al-Thabaqât, berucap, “Dia penuh diliputi  rasa  takut. Sehingga, neraka seakan hanya diciptakan untuk dirinya seorang.”

Tak  aneh  bila  karena kehidupan Al-Hasan  Al-Bashri  yang  amat saleh,  ia  pernah  melakukan oposisi  keagamaan  terhadap  rezim Dinasti  Umawiyyah, lewat sepucuk surat yang ia  kirimkan  kepada ‘Abdul Malik bin Marwan, penguasa ke-5 dinasti tersebut.  Dalam suratnya  itu,  ia menuntut agar rakyat  diberi  kebebasan  untuk melakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga dengan begitu ada tempat  bagi  tanggung  jawab moral.  Suratnya  tersebut  bernada menggugat praktek-praktek zalim penguasa Dinasti Umawiyyah. Namun, ia  dibiarkan penguasa, karena wibawa kepribadiannya  yang  saleh dan pengaruhnya yang amat besar kepada masyarakat luas. Pada 42 H/662 M tokoh yang terkenal petah dalam berbicara,  tegas dalam  berpendapat, dan pemberani dalam bersikap ini  ikut  serta dalam  pasukan  ‘Abdullah bin ‘Amir,  Gubernur  Bashrah,  dalam berbagai ekspedisi militer sampai ke Kabul. Dan, ia baru  kembali ke  Bashrah  pada 53 H/673 M dan menetap di kota  itu  sampai  ia berpulang.

Nah, ketika malam tiba, ulama yang berpulang pada Kamis, 1 Rajab  110  H/10 Oktober 728 M itu pun jalan-jalan di seputar Kota Bashrah. Lantas, ketika kedua kakinya telah terasa sangat berat untuk diayunkan, ia pun duduk di bawah balkon sebuah rumah berlantai dua. Ketika ia sedang duduk di situ, tiba-tiba ia mendengar seorang istri sedang berkata kepada suaminya di balkon tersebut, “Suamiku! Sudah 50 tahun kita tinggal dalam satu rumah. Baik apakah dalam suka maupun duka, aku selalu bersabar. Selama itu pula, aku tidak pernah bertindak yang tidak benar. Aku pun tidak pernah mengeluhkan kepada orang tentang dirimu kepada siapa pun. Karena itu, aku tak akan pernah memaafkan dirimu karena satu hal: jika kau mencintai perempuan lain selain diriku. Ini karena aku telah melakukan segalanya untuk dirimu. Karena itu pula, perhatikankanlah diriku dan jangan sekali-kali memperhatikan perempuan lain!”

Mendengar ucapan yang demikian, Al-Hasan Al-Bashri segera berdiri dan kembali ke rumahnya. Begitu sampai di dalam rumah, ia pun langsung bersujud, menangis, dan berucap, “Ya Allah, ampunilah aku. Cemburu perempuan itu mengingatkan aku pada titah-Mu dan cemburu-Mu, ‘Aku akan mengampuni semua dosa kalian. Tetapi, jika dalam pikiran kalian ada sedikit kecenderungan pada yang selain Aku dan kalian menyekutukan Aku dengan yang selain Aku, Aku tidak akan mengampuni kalian.’ Ya Allah, betapa aku masih acap cenderung pada yang selain Engkau dan menyekutukan Engkau dengan yang selain engkau: dengan kedudukanku, rasa banggaku sebagai ulama, ilmuku, dan lain-lain sebagainya. Ampunilah aku, wahai Tuhan Yang Sangat Pemaaf….”


No comments: