Thursday, November 29, 2007

Kisah Kiblat dan Masjid Dua Kiblat di Madinah

Selepas beberapa lama tinggal di Madinah, sekitar enam belas atau tujuh belas bulan kehijrahan Rasulullah ke Kota Suci itu, beliau bersama kaum Muslim melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Bait Al-Maqdis. salah satu kota suci kaum Muslim ini juga disebut Al-Quds. Seperti diketahui, kota di Palestina ini mulai menjadi kota suci khususnya setelah Sulaiman a.s., putra Daud a.s., salah seorang keturunan Ibrahim a.s., membangun Haikal Sulaiman (atau Kuil Sulaiman). Sepeninggal Sulaiman a.s., kota ini ditaklukkan orang-orang Assyria. Selanjutnya, kota ini secara berturut-turut jatuh ke tangan Babilonia, Persia, Romawi, dan kaum Muslim sejak masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab (15 H/636 M).

Kedudukan Bait Al-Maqdis sebagai kota suci tercermin dari berbagai penegasan dalam Al-Quran. Selain kisah Isra’ yang terkenal, kedudukan Bait Al-Maqdis sebagai kota suci Islam tersimpulkan dari hakikat wahyu Allah kepada Rasul Saw. sebagai bagian dari rentetan wahyu-wahyu Ilahi sebelumnya, baik untuk mengembangkan, mengoreksi, atau pun mengganti. Misalnya, firman Allah, “Sungguh, telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Isma‘il, Ishaq, Ya‘qub, dan kepada anak keturunannya, serta kepada ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Sedangkan kepada Daud telah Kami berikan Zabur. Rasul-rasul yang telah Kami kisahkan sebelumnya kepadamu (Muhammad), dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan kepadamu. Dan Allah telah berbicara langsung kepada Musa.“ (QS Al-Nisâ’ [4]:163-164). Tokoh-tokoh yang disebutkan dalam firman tersebut, selain Nuh a.s., sangat erat terkait dengan kota ini yang menjadi pusat agama Yahudi dan Kristen.

Namun, pada suatu hari di bulan Rajab 2 H/Januari 624 M, ketika Rasulullah Saw. sedang melaksanakan rakaat kedua shalat asar di Masjid Bani Salamah, beliau menerima wahyu yang memerintahkan untuk menghadap ke arah Ka‘bah ketika shalat, “Sungguh, Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka, sungguh Kami akan mengalihkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Alihkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan, sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid Al-Haram benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (QS Al-Baqarah [2]: 144).”

Betapa gembiranya Rasul Saw. dan kaum Muslim menerima perintah yang demikian. Karena itu, begitu usai shalat, ada seorang sahabat yang dengan penuh semangat keluar dari masjid dan berseru gembira, “Demi Allah, aku bersumpah, aku telah melaksanakan shalat bersama Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah Makkah!”

Tujuan utama perubahan kiblat itu sendiri ialah agar kaum Muslim, sebagai satu umat yang memiliki Ka‘bah yang menjadi pusat rohaniah mereka, mengarahkan dunia dalam kebaikan yang besar. Selain itu sebagai ungkapan bahwa kaum Muslim bukan suatu umat yang berasaskan ras atau warna kulit, melainkan suatu umat untuk meraih kebaikan dengan menyebarkan kebaikan. Walau terjadi perubahan tersebut, namun sunnah Rasul Saw. tidak pernah melupakan kiblat pertama. Sebab, Bait Al-Maqdis telah dijadikan sebagai ujung akhir pelaksanaan Isra’ dan Mi‘raj Nabi Saw. yang diawali dari Makkah. Dan dari kota itu pulalah beliau bermi‘raj ke langit tertinggi. Karena itu, Bait Al-Maqdis dipandang sebagai kota suci ketiga dalam Islam setelah Makkah dan Madinah.

Di sisi lain, kiblat sejatinya merupakan suatu gejala ibadah unik yang hanya dimiliki kaum Muslim saja. Tidak oleh umat-umat lainnya. Sebab, seperti diketahui, para pemeluk agama-agama lain melaksanakan peribadatan mereka ke arah manapun yang mereka kehendaki dan mereka mendirikan tempat-tempat peribadatan mereka selaras dengan pengetahuan teknik mereka dan tuntutan yang ada. Beberapa orientalis berpandangan, Islam mengambil pedoman tentang kiblat dari agama Yahudi atau Kristen awal. Menurut beberapa orientalis Yahudi, kiblat merupakan hal yang telah mereka kenal, yaitu tempat menyimpan catatan-catatan dan kitab-kitab keagamaan, dan tempat yang paling baik bagi catatan-catatan dan kitab-kitab tersebut adalah sinagog. Sebagian di antara mereka berpendapat, tempat dimaksud dikemukakan dalam Al-Quran dengan sebutan “tabut” (QS Al-Baqarah [2]: 248).

Pendapat yang demikian itu, antara lain dikemukakan oleh Abraham Geiger, Edward Hirschfeld, dan Jakob Horowitz, tidak lah memiliki pijakan yang kuat. Sebab, tempat penyimpanan di sinagog tersebut tidak menentukan arah. Orang-orang pun tidak bersembahyang ke arah tempat itu. Lagi pula, tempat itu hanya sekadar tempat atau kotak untuk meletakkan kitab-kitab keagamaan mereka dan apa-apa yang mereka pandang sebagai khazanah sinagog, seperti peninggalan orang-orang saleh di kalangan mereka, naskah kitab-kitab persembahyangan mereka, tulisan orang-orang saleh di kalangan mereka, dan harta kekayaan yang diserahkan pada sinagog. Semua itu diletakkan di jantung sinagog, ke manapun arah jantung sinagog tersebut. Selain itu, “tabut” yang dikemukakan dalam Al-Quran tidaklah serupa dengan tempat menyimpan kitab-kitab keagamaan dan peninggalan-peninggalan awal agama Yahudi. Namun, “tabut” tersebut adalah sesuatu yang lain yang berkaitan dengan Musa a.s. dan masanya. Mengenai “tabut” tersebut, para ahli tafsir pun tidak seiring pendapat tentang yang dimaksud dengannya. Meski demikian, dapat dipastikan, hal itu tidaklah seperti yang dikehendaki para orientalis Yahudi tersebut.

Sementara beberapa peneliti lain menyatakan, gereja-gereja awal–paling tidak gereja-gereja beberapa jemaat-menghadap ke arah timur dan arah itulah asal-usul pengertian kiblat dalam Islam. Pendapat yang demikian itu jelas lemah dan tidak berdasar pula. Sebab, tiada bukti yang kuat pernah ada sebuah sekte Kristen awal yang menjadikan arah timur sebagian kiblat mereka. Memang, hal ini tidak meniadakan pendapat bahwa beberapa kepercayaan bukan samawi (dari langit) menganjurkan para pengikutnya untuk menyambut terbitnya matahari dengan bersembahyang pada pagi hari, juga pada sore hari ketika matahari terbenam. Di antara kepercayaan-kepercayaan tersebut ialah penyembahan matahari yang dianut Amenophis IV, yaitu Fir‘aun yang dikenal dengan nama Ikhnaton. Arah yang demikian itu jelas berbeda sekali dengan pengertian kiblat dalam Islam.

Dalam kenyataannya, kiblat merupakan suatu konsepsi Islam murni yang tidak dikenal baik oleh agama Yahudi maupun Kristen. Karena itu, tidak mengherankan pula jika kadang kaum Muslim menyebut diri mereka sebagai warga kiblat (Ahl Al-Qiblah), yang berarti warga dengan pandangan yang satu. Dan, Mahasuci Ia Yang telah menjadikan Islam sebagai akidah kesatuan dan penyatuan. Dan yang penting dalam hal ini ialah kiblat mengukuhkan secara mendasar salah satu pengertian Islam dan melengkapi masjid dengan suatu keistimewaan unik yang tidak dimiliki tempat-tempat ibadah lainnya.

Segera kabar pengalihan arah shalat tersebut tersebar ke seluruh penjuru Madinah. Kaum Muslim pun segera pula mengalihkan arah mereka ketika melaksanakan shalat. Mereka tidak lagi menghadap ke arah Bait Al-Maqdis, tetapi menghadap ke arah Makkah.

1 comment:

Anonymous said...

thanks atas postingannya. saya membantu saya