MANNEKEN PIS PUN PERNAH MEMAKAI BLANGKON DAN SURJAN:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (9)
“Waduh, ini sih “rapat gelap” ketiga namanya! Belum
sehari semalam di Kota Brussels harus menghadapi tiga “rapat gelap”, hehehe.”
Itulah gumam pelan bibir saya ketika tiba di Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Brussels dan kemudian menghadiri jamuan makan siang
bersama Pak Dubes Brussels di sebuah restoran yang terletak di Boulevard de la
Woluwe. Ternyata, lokasi restoran maupun
gedung KBRI Brussels hanyalah sekitar sepuluh menit dari rumah Mas Andi Yudha
Asfandiyar dan terletak di kampung yang sama.
Lantas, setelah duduk di kursi yang disediakan, dan
melihat hadirin dan hadirat yang ada di situ, saya sudah memperkirakan, “rapat
gelap” itu akan berlangsung lama. Namun, segera saya menyadari, pertemuan siang
itu sangat penting dan positif, meski hasilnya mungkin baru dapat “dipanen”
beberapa tahun kemudian. Lagi pula, selepas “mengintai” dan “mencermati” satu
demi satu di antara hadirin dan hadirat yang ada di situ saat itu, juga isi
perbincangan mereka, hati saya pun menjadi tenang: tidak jadi ‘kluyuran’ di
seputar Kota Brussels pun tidak apa. Mereka semua adalah orang-orang yang sedang berpikir keras,
secara positif, demi negeri tercinta yang berada nun jauh di selatan. Mereka
adalah orang-orang yang mencintai Indonesia tanpa mengharapkan imbalan apa pun
dari negeri yang sedang mereka pikirkan nasib dan masa depannya. “Mungkin, para
anggota dewan terhormat di Senayan pun tidak pernah berpikir sejauh yang sedang
dipikirkan hadirin dan hadirat ini. Pernahkah para anggota dewan itu memikirkan,
bagaimana cara menembus lebih jauh HTCE dan mendekati industri-industri canggih
tingkat dunia, untuk kepentingan Indonesia, seperti yang sedang dipikirkan
hadirin dan hadirat ini?” demikian protes hati saya saat itu.
Kemudian, ketika kian tahu tentang latar pendidikan
hadirin dan hadirat saat itu, hati saya pun merasa “plong”. Dapat dikatakan,
mereka semua berlatar pendidikan bagus dan memiliki “track record” bagus pula.
Mereka semua berpendidikan pascasarjana, dengan latar belakang beragam: Institut
Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, TSM School, Belanda, Universitas
Padjadjaran, Bandung, Universitas Toulouse, Perancis, dan Universitas Harvard,
Amerika Serikat, di samping memiliki pengalaman kerja yang cukup bagus. Mereka
berpandangan, “kini saatnya anak-anak Indonesia tampil di pelbagai industri
canggih tingkat dunia. Betapa kerap kami, sebelum ini, dipandang sebelah mata.
Namun, ternyata, kami dapat membuktikan, kami pun dapat menangani dan mengelola
industri-industri canggih itu. Kini saatnya kami buktikan, anak-anak Indonesia
pun mampu menangani industri-industri canggih. Di bidang apa pun.”
Setelah sekitar dua jam menikmati pelbagai hidangan, saya
lihat Mas Andi Yudha Asfandiyar pamitan. Dia akan memimpin suatu kegiatan yang
melibatkan anak-anak Indonesia di Kota Brussels. Dan, akhirnya, Pak Dubes pun
menutup acara makan siang hari itu. Waktu, saat itu, telah menunjuk sekitar
pukul 15.30. Kami pun segera pamitan kepada tuan rumah yang telah mengundang
kami untuk menikmati makan siang. Meski hanya sebentar, dan sebelum kembali ke
Eindhoven, dan kemudian balik ke Amsterdam, kami ingin menengok Grand-Place/Grote
Markt dan Manneken Pis serta Menara Atomium.
Segera, dengan naik dua mobil, kami bertujuh bergerak
menuju ke “jantung” Kota Brussels, Grand-Place de Bruxelles (dalam bahasa
Perancis) atau Grote Markt van Brussel
(dalam bahasa Belanda), pusat Kota Brussels yang telah berusia lebih dari
seribu tahun lebih. Kali ini, yang menjadi tour leader adalah sahabat
kami yang seorang direktur perusahaan engineering di Brussels. Penunjuk
jalan kami ini adalah seorang doktor di bidang penerbangan yang “warga” Brussels,
Dr.Ing. Aji Purwanto. Dan, setelah menembus pelbagai jalan Kota Brussels,
akhirnya kami tiba di jantung Kota Brussels. Setelah Mas Aji Purwanto dan Mas Latif Gau memarkir
mobil yang kami naiki, kami kemudian bergegas menuju “Alun-Alun” (kira-kira pas
gak ya disebut demikian) Kota Brussels. “Alun-Alun” berbentuk persegi itu
dikitari gedung-gedung indah yang bergaya gotik. Waktu yang terbatas membuat
kami tidak lama di tempat itu.
Mas Aji Purwanto kemudian mengajak kami menyusuri Rue de
l’Etuve. Setelah melintas perempatan Lombardstraat, akhirnya ketika tiba di perempatan
berikut, di pojokan sebelah kiri kami ada sejumlah orang bule sedang mengitari pojokan
itu. Ternyata, di situ terdapat sebuah patung berukuran kecil. Itulah Manneken
Pis yang kondang di seantero dunia. Saya sendiri tidak habis pikir, kenapa
patung anak kecil itu begitu terkenal. Ketika kami datang, patung yang
dirancang Jerome Duquesnoy itu sedang mengenakan seragam tentara. Saya tidak tahu,
seragam tentara mana yang dikenakannya saat itu. Kami kemudian berdiri di
samping pagar yang membatasi sudut tempat si Manneken Pis berada.
Tidak lama kemudian, seorang laki-laki dengan mambawa
tangga mendekati Manneken Pis. Segera, orang itu melukar seragam tentara yang
dikenakan si Manneken Pis dan membuatnya telanjang. Alias tanpa baju apa pun,
hehehe. Melihat hal itu, Mas Aji Purwanto berucap, “Manneken Pis ini juga
pernah lo pakai blangkon dan surjan.”
“Yang bener saja?” kata Ibu Latifah (istri Mas
Toyibi).
“Bener kok, Mbak,” sahut saya. “Mbak gak melihat
foto si Manneken Pis yang dipasang di ruang tamu Mas Andi? Di foto itu, patung
itu memakai blangkon dan surjan lo.”
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar bunyi, “cur,
cur,cur”, eh baju saya dan Dik Harca pun basah. Ternyata, setelah si Manneken
Pis yang telanjang pipis kencang dan pipisnya membasahi baju saya dan Dik Harca.
“Sialan, itu mesti ulah bapak yang mengganti bajunya tadi,” gerutu Dik Harca.
Ketika saya melihat si bapak itu, orang itu hanya senyum-senyum saja. Tampaknya,
orang itu mencandai kami. Untung saja, pipis si Manneken Pis bukan pipis
beneran, tapi air biasa, hehehe.
Setelah puas “berkenalan” dengan Manneken Pis yang
telanjang dan kedinginan, hehehe, kami kemudian “digiring” (kaya bebek saja,
hehehe) menuju Galeries Royales St. Hubert. Itulah pusat pertokoan paling
bergengsi di Belgia. Di situ, beberapa orang di antara kami membeli cokelat di
Toko “Pierre Marcolini Haute Chocolaterie”. Saya dan istri, yang tidak tertarik
dengan cokelat, kemudian berfoto saja. Itu saja.
Usai dari Galeries Royales St. Hubert, kami kemudian
diajak menuju Menara Atomium, sebuah ikon Kota Brussels yang dirancang André
Waterkeyn. Menara yang terletak di pinggir Kota Brussels itu, di kawasan Heysel
Park, terdiri dari sembilan bola baja raksasa (berdiameter 18 meter) yang
membentuk struktur inti sebuah kristal. Sembilan bola raksasa itu tegak dengan
bertumpu pada satu bola utama yang dilengkapi tiga tiang penunjang. Menakjubkan,
meski menara itu dibikin untuk menyambut Expo 1958.
Di dekat Menara Atomium itulah kami kemudian berpisah
dengan Dr. Ing. Aji Purwanto. Kami berenam kemudian melanjutkan perjalanan
menuju Eindhoven, Belanda. Dan, setiba di Eindhoven, betapa terasa nikmatnya
ketika berada di rumah Mas Latif Gau, ketika kami mendapatkan hidangan soto
kudus dan kolak yang disiapkan istri Mas Latif Gau, Mbak Lili. Matur suwun
sanget, Mbak. Lantas, setelah shalat, kemudian kami segera menuju Stasiun
Eindhoven Centraal. Di stasiun itulah kami berpisah dengan Dik Harca dan Mas
Latif.
Kemudian, setiba di Stasiun Amsterdam Centraal pukul 22.30, saya dan
istri pun berpisah dengan Mas Toyibi dan istri yang melanjutkan perjalanan
menuju Schiphol International Airport. Dan, hari berikut, Kamis 5 September 2013,
saya dan istri kembali ke Negeri Tercinta. Entah kenapa, ketika saya menapakkan
kedua kaki ke dalam perut pesawat terbang KLM, yang kemudian membawa kami
menuju Jakarta dengan masa tempuh 14 jam, sebuah lagu merdu yang dinyanyikan Said
Efendi, Nun Jauh di Sana, terngiang-ngiang di telinga saya:
Nun jauh di sana
Di lembah Tanah Airku
Melambai bunga sekuntum
Berseri mewangi menghiasi ibu
Nun jauh di sana
Di lembah tanah nan hijau
Tersenyum bunga pujaan
Membisiki hatiku mengapa di rantau
Air mataku titik berlinang
Dusunku terkenang-kenang
Hasratku ingin segera kembali pulang
Ke pangkuan ibundaku sayang
Terasa betapa kurindu
Akan bunga nan indah ayu
Hasratku ingin segera menjelma kupu
Terbang malam menjelang kasihku.
THE END