“MELIHAT” RED LIGHT DISTRICT DARI SISI LAIN:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (3)
“Amsterdam, aku datang!”
Mumpung saat itu sedang sepi, saya pun berteriak kencang begitu,
ketika saya sedang berdiri di samping ‘Amsterdam Sign’, di lingkungan Amsterdam RAI, setelah kami
turun di Halte Amsterdam RAI dan menyeberangi jalan ke arah gedung Amsterdam
RAI. Mendengar teriakan saya demikian, istri yang akan memotret saya pun
berucap gemas, “Mas, kok ndesit gitu sih!” ‘Ndesit’ itu, dalam bahasa
Jawa Semarang (asal istri saya), artinya, “udik sekali alias kampungan sekali’.
“Hehehehe, ya gak apa-apa ndesit. Bukankah kita ini
memang orang desa yang datang ke Kota Amsterdam, hehehe,” jawab saya. Santai
sambil bergaya di samping ‘Amsterdam Sign’. Santri ndesit tenan, hehehe.
Tugu yang menjadi penanda Kota Amsterdam itu, selain
menghiasi lingkungan Amsterdam RAI, sebenarnya juga menghiasi lingkungan
Rijksmuseum yang terletak di Hobbemastraat, Amsterdam. Tinggi tugu itu setinggi
orang ‘bule’. Entah kenapa, ketika melihat tugu itu, benak saya tiba-tiba
kembali ke Cikapayang, Bandung dan berandai-andai, “Andai tugu ‘BDG: emerging
creative city’ dibuat lebih impresif, tentu banyak orang yang tertarik berfoto
di situ, seperti halnya yang dilakukan orang-orang ketika mereka berada di
dekat ‘Amsterdam Sign’ dengan tulisan ukuran gede ‘I AMSTERDAM’.
Usai berfoto di dekat ‘Amsterdam Sign’, kami kemudian
bergerak menuju gedung Amsterdam RAI. Hari itu, Jumat 30 Agustus 2013, pihak
European Society of Cardiology 2013 tampak sangat sibuk menyambut sekitar 43
ribu dokter. Ya, 43 ribu dokter. Tidak aneh, karena jumlah para dokter yang
hadir dalam perhelatan ilmiah itu demikian banyak, jika hotel-hotel di
Amsterdam kala itu, baik yang bintang lima, empat, tiga, dan dua penuh dengan para
tamu. Malah, sebagian di antara mereka menginap di hotel-hotel di kota-kota di
luar Amsterdam, seperti Den Haag, Leiden, dan Rotterdam. Namun, karena
transportasi yang nyaman dan tepat waktu, seperti Rotterdam yang berjarak
sekitar 100 kilometer dari Amsterdam, semua itu tidak menjadi halangan bagi
mereka.
Ketika melihat pihak penyelenggara ESC 2013 sedang sibuk
menerima para dokter yang sedang melakukan heregistrasi (bayarnya 750 euro,
tanpa makan siang dan hanya disediakan minum air mineral saja), saya pun
termenung lama. Penyelenggaraan event itu tentu memerlukan manajemen
yang bagus, rapi, dan cekatan. Saya sendiri, yang pernah mengamati dan
mengikuti pelbagai event di Messe Frankfurt, Singapore Expo, KLCC
Exhibition and Convention, Cairo International Bookfair, dan Dubai Festival,
lama termenung ketika mengamati kemampuan organisasi pihak penyelenggara.
Rasanya, kepada mereka kita harus rajin mengaji, mengaji, dan mengaji, dan juga
(meminjam ungkapan Mas Toyibi) rajin “kulakan ilmu dan pengalaman”. Dan, kita tidak perlu malu mengakui kebodohan
dan ketertinggalan kita di bidang-bidang tertentu. Bukankah Rasul Saw.
berpesan, “Pungutlah hikmah di mana pun engkau temukan?”
Setelah urusan dengan pihak ESC 2013 rampung, istri pun
muncul kembali. Lalu, tanyanya kepada saya, “Kita jadi ke Red Light District?”
Menerima pertanyaan yang sulit dan pelik tersebut, lama
saya berpikir. Entah kenapa, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” dan “mudik”
ke Cepu, Jawa Tengah. Tiba-tiba pula, saya teringat perjuangan kakek saya,
seorang kiai yang oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali (alm.) diberi gelar “Gurunya
Orang Cepu”, dalam menaklukkan suatu lokasi yang dulunya merupakan pusat
‘kupu-kupu malam’ (yang dalam bahasa Jawa ala Cepu kala saya masih kecil
disebut ‘upruk’ dan oleh Gus Mus disebut ‘begenggek’) yang terletak di dekat
“Brug (ini bahasa Belanda yang artinya ‘Jembatan’) Basin” (bahasa Jawa, artinya
anyir sekali). Dalam perjuangan tersebut, kakek tidak pernah sama sekali
menggunakan kekerasan. Tapi, beliau menggunakan “hikmah”, “mau’izhah hasanah”,
dan “dialog yang paling indah”. Dengan tiga pendekatan tersebut, kini lokasi
tersebut menjadi pesantren yang dikitari masyarakat yang taat pada agama.
Alhamdulillah.
Teringat dengan perjalanan hidup kakek di lingkungan
“merah” tersebut dan keberhasilan beliau dalam mengubahnya tanpa kekerasan,
saya kemudian menjawab pertanyaan istri tersebut, “Ayo, kita ke sana sekarang!
Semoga Allah mengampuni kita. Niat kita baik kok!”
Jika ketika datang ke Amsterdam RAI kami turun di Halte
Amsterdam RAI, kini kami mengambil halte lain yang ternyata lebih dekat: Halte
Dintelstraat. Segera, kami pun naik trem nomer 4, menuju Amsterdam Centraal
dengan melewati halte-halte: Mastraat-Waalstraat-Victorieplein-Amstelkade-Lutmastraat-Ceintuurbaan-
Stadhourderskade-Prinsengracht-Kaizergracht-Victorieplein-Visserplein-Waterlooplein-Rembrandtplein-Muntplein-Spui-Dam
(setelah itu Amsterdam Centraal). Sepanjang perjalanan, meski terkantuk-kantuk,
kami tetap bertahan untuk tidak tidur: menikmati pemandangan di samping kanan
dan kiri trem yang kami naiki. Ketika melihat kanal-kanal yang tertata dan
terkelola baik, di sepanjang perjalanan itu, istri pun berucap, “Mengapa kota-kota
di Indonesia tidak dikelola seperti ini ya?”
“Tanya saja pada rumput yang bergoyang, hehehe,” jawab
saya. Santai.
Tidak lama setelah dari trem nomer 4, kami kemudian menuju
Monumen Nasional yang tegak di seberang Dam Square. Karena lelah, kami kemudian
duduk, bersama orang-orang lain, di kaki monumen itu. Ketika saya memandang ke
arah orang-orang yang berada di Dam Square, tiba-tiba saya melihat tiga
pemandangan menarik: ada satu orang sedang bergaya “mirip” Rembrandt, satu
orang mirip tentara Romawi, dan satu orang mirip bajak laut. Mereka, tentu kita
semua tahu, sedang ber”acting” untuk mendapatkan uang sumbangan. Melihat
pemandangan demikian, tiba-tiba saya teringat kisah petualangan Andrea Hirata
seperti yang dia tuturkan dalam bukunya berjudul Edensor.
Setelah sekitar setengah jam duduk di kaki Monumen
Nasional, saat waktu itu telah memasuki pukul lima sore waktu Amsterdam.
Matahari saat itu masih mencorong. Namun, meski langit masih berpendar terang,
namun saya melihat orang-orang bergerak ke arah belakang monumen itu. Melihat
hal itu, kami pun berdiri dan kemudian mengikuti gerakan orang-orang itu. O,
ternyata mereka melangkahkan kaki menuju ke arah sebuah jembatan yang
membentang di atas sebuah kanal. Ketika berdiri di jembatan itu dan memandang
orang-orang yang melangkah di samping kiri kanal, ke arah Amsterdam Centraal,
saya pun segera menyadari, itulah “titik pusat” distrik “merah” membara yang
terkenal itu. Menyadari hal itu, entah kenapa lama saya termangu lama di
pinggir jembatan.
Melihat saya tidak bergerak lama, istri pun bertanya
kepada saya, “Mas, ada apa, kok berdiri lama?”
“Entahlah,” jawab saya. “Ketika menyadari inilah “titik pusat” Red Light District, kok tiba-tiba saya membayangkan, andaikan Imam Asy-Syafi’i sampai di sini, apa kira-kira fatwa beliau tentang pelbagai hal yang terjadi di sini.”
“Entahlah,” jawab saya. “Ketika menyadari inilah “titik pusat” Red Light District, kok tiba-tiba saya membayangkan, andaikan Imam Asy-Syafi’i sampai di sini, apa kira-kira fatwa beliau tentang pelbagai hal yang terjadi di sini.”
“Sudahlah, jangan banyak melamun. Ayo kita teruskan
perjalanan kita.”
Kami pun kemudian turun dari jembatan dan menuju jalan
yang terletak di sebelah kiri kanal. Tidak lama berjalan, segera kami melewati
toko-toko yang menjajakan aneka ragam barang-barang yang tidak boleh dibawa
masuk ke Indonesia. “Bebas sekali ini negeri,” gumam saya.
“Ini bukan Indonesia. Apalagi Arab Saudi,” sahut istri.
Dan, kemudian ketika istri melihat sebuah hotel yang di plangnya tertulis
“hanya untuk laki-laki” dan di depannya ada bendera pelangi, alias warna-warni,
dia pun berucap, “Itu hotel khusus. Bendera itu menjadi penanda yang jelas bagi
“orang-orang yang memahami”. Salah seorang temanku, seorang dokter laki-laki,
banyak bercerita tentang Belanda setelah dia “menikah” dengan teman laki-lakinya
di sini.”
Istri, sebagai seorang dokter spesialis penyakit dalam,
kemudian bercerita banyak tentang kasus-kasus yang berkaitan dengan “persoalan
yang pelik dan rumit itu”. Kemudian, setelah kami melintasi beberapa gang di
samping kiri kami, tidak jauh dari sebuah gereja kuno, dan kemudian ketika kami
memasuki sebuah gang, tiba-tiba kami melihat “pemandangan” seorang cewek ceking
dan nyaris tanpa busana dalam “aquarium”. Melihat “pemandangan” demikian, istri yang terlatih dalam menangani para
pasien yang terkena narkoba dan HIV pun berucap, “Kasihan dia! Dia, menurut
pengamatan saya, adalah seorang penderita narkoba. Kalau tidak dikontrol baik, menurut
perkiraan saya, dia akan segera terpapar HIV.”
“Duh,” sahut saya seraya menarik napas. “Ayo, sudahlah,
kita melangkah lebih cepat lagi. Semua ini kita diskusikan di hotel saja ya.”
Kami pun melangkah cepat ketika melihat semakin banyak
pemandangan di “aquarium-aquarium”. Eh, ketika kami sampai di gang-gang berikut,
ternyata kami semakin kerap menemukan rumah-rumah yang di depannya dipasangi
bendera-bendera pelangi. Melihat hal itu, kami pun segera melangkah cepat dan
kembali ke hotel. Dan, setelah itu, kami pun terlibat lama dalam perbincangan
tentang penanganan “dunia merah” seperti halnya Red Light District itu.
Kemudian, ketika tengah malam telah berlalu, saya pun
terbangun dari tidur, karena mendengar suara berisik di jalan yang membentang
di depan hotel yang kami inapi. Apa yang
sedang terjadi? Ketika saya membuka vitrage kamar dan melihat ke bawah, tampak
oleh saya dua cewek berpelukan sambil berjalan terhuyung-huyung. Melihat hal
itu, vitrage itu pun saya kembalikan ke posisinya semula sambil bergumam,”Duh,
Amsterdam.” (Bersambung: MELONGOK PASAR
LOAK VAN AMSTERDAM: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (4).)
No comments:
Post a Comment