MENJENGUK “LEMBAH SILICON”NYA
BELANDA:
Perjalanan Santri Ndeso ke
Belanda-Belgia (7)
“Mas, nanti kalau di
Belanda, mau kan saya ajak ke Eindhoven, menengok kantor saya di sana. Dari
kota itu, kita nanti menuju Brussels.”
Demikian, ajakan seorang
sahabat, yang sudah seperti adik saya sendiri, sebelum saya dan istri bertolak
ke Belanda. Dia adalah seorang juragan sebuah perusahaan di Jakarta yang
bergerak di bidang jasa teknologi informasi. Perusahaan yang memiliki cabang di
Australia, Singapura, Belanda, dan Jerman ini sejak berdiri merupakan sebuah perusahaan
jasa teknologi informasi berbasis Systems Applications and Products in Data
Processing (SAP) dari Jerman dan penciptaan aplikasi game. Menerima
ajakan demikian, bibir saya pun bergumam, “Eindhoven? Ada apa di kota itu?”
Dasar santri ndeso,
saya memang tidak mengenal kota yang terletak di provinsi Brabant Utara,
Belanda itu. Apalagi, dua adik saya, yang pernah menimba ilmu di Negeri Kincir
Angin, tidak pernah bercerita sama sekali tentang Eindhoven. Mereka berdua
lebih banyak bercerita tentang Enschede dan Utrecht, tempat mereka berdua
mendalami bidang teknologi dan medis. Meski demikian, akhirnya, saya menerima
ajakan untuk menjenguk Kota Eindhoven. Ternyata, kota itu merupakan “jantung”
perkembangan produk-produk yang berbasis sains dan teknologi Belanda, selain
juga sebagai pusat industri kreatif. Juga, di kota itu pulalah perusahaan
Philips lahir dan berkembang menjadi perusahaan kelas dunia.
Menerima ajakan demikian,
maka pada waktu subuh Selasa, 3 September 2013, saya dan istri sudah
berkemas-kemas. Kemudian, selepas menikmati breakfast, kami melapor kepada
resepsionis hotel, bahwa kami akan pergi ke Belgia dan baru kembali ke hotel
Selasa menjelang tengah malam. Selepas itu, kami pergi ke Rijksmuseum dan Amsterdam RAI. Setelah istri
menerima sertifikat keikutsertaannya dalam kongres ESC 2013, kami berdua
kemudian bergegas menuju Stasiun Amsterdam Centraal, dengan tujuan mendapatkan
tiket kereta api yang berangkat menuju Eindhoven sekitar pukul 13.30 waktu Amsterdam.
Alhamdulillah, kami
mendapat tiket kereta api yang kami harapkan, seharga 38,40 euro setiap orang
untuk kelas 2. Kereta api tersebut, antara lain, melewati Utrecht dan
‘s-Hertogenbosch. Perjalanan antara Amsterdam-Eindhoven, yang berjarak sekitar
126 kilometer, akan ditempuh kereta api tersebut dalam masa 1 jam 25 menit. Kemudian,
pada saat yang ditentukan, kereta api yang nyaman dan bersih itu pun berangkat
dan kemudian melaju menuju Eindhoven. Tepat satu jam dua puluh lima kemudian,
kereta api itu memasuki Stasiun Eindhoven Centraal. Ketika kami keluar dari
stasiun, ternyata Mas Toyibi, seorang dokter spesialis jantung senior dari RS
Persahabatan Jakarta, dan istri sedang duduk di sebuah kursi panjang di depan
stasiun. “Sebentar lagi,” ucap Mas Toyibi setelah bertemu dan menyambut
kedatangan kami,” kita akan dijemput seseorang bernama Latif Gau. Dari sini,
kita akan bertemu dengan Dik Harca di High Tech Campus, Eindhoven (HTCE).”
Benar, sekitar seperempat jam
kemudian, seseorang berpostur Indonesia berusia sekitar 45 tahun memberhentikan
mobilnya di tempat parkir yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menunggu.
Orang itu kemudian keluar dari mobil SUV baru, Toyota Highlander Hybrid 2013.
Melihat orang itu, saya pun berkata kepada Mas Toyibi, “Mas, orang itu kayaknya
adalah Mas Latif Gau yang akan menjemput kita. Bagaimana kalau saya tanya dia?”
“Silakan,” jawab Mas
Toyibi.
Ternyata, dugaan saya
benar. Orang itu adalah Mas Latif Gau, Direktur Abyor Europe BV, yang akan
membawa kami ke HTCE. Orang Bugis yang sangat lancar berbahasa Belanda itu
telah bertahun-tahun bermukim di Belanda, sejak sekolah menengah atas. Selain
menyelesaikan program s-1 di Universitas Teknologi Eindhoven dan program MBA di bidang bisnis dan teknologi di TSM School
Enschede, dia pernah bekerja lama di perusahaan Philips. Baik di Indonesia
maupun di Belanda. Kini, mulai awal 2013, suami seorang perempuan asal Solo itu
menjabat Direktur Abyor Europe BV yang bermarkas besar di HTCE, Belanda.
Setelah berkenalan dengan
kami berempat, kami kemudian dipersilakan Mas Latif Gau naik mobilnya yang
masih gres banget, alias baru, dan “eco-friendly”. Kami pun, kemudian, diajak
keliling Kota Eindhoven. Setelah Mas Latif mengisahkan perjalanan hidupnya,
sejak sebagai anak kecil di sebuah desa terpencil di Sulawesi Selatan, sampai
dijadikan anak angkat sebuah keluarga Belanda hingga dia dapat merampungkan
program MBAnya di TSM School, Enschede, Mas Toyibi yang duduk di sampingnya
bertanya, “Mas Latif ini kan lama bekerja di perusahaan Philips, baik di
Indonesia maupun Belanda. Mengapa sekarang mengundurkan diri dan mendirikan
Abyor Europe BV bersama Dik Harca serta masuk di HTCE?”
“Pak Toyibi,” jawab juragan
Abyor Europe BV yang setiap minggu ikut pengajian di Masjid Al-Hikmah, Den Haag
itu, “Sebelum mendirikan Abyor Europe BV, dapat dikatakan pekerjaan saya adalah
keliling ke mana-mana sebagai orang bagian pemasaran. Ke pelbagai penjuru
dunia. Namun, sebagai orang Indonesia yang pernah bekerja di perusahaan Philips
dan tahu tentang sejarah HTCE, apalagi setelah bertemu Harca, dia kan teman
seangkatan saya di TSM School, Enschede ketika mengikuti program MBA, kami
segera menyadari, ada potensi luar biasa yang tersimpan di HTCE.”
Usai menjawab demikian,
Mas Latif Gau berhenti berucap. Dan, tidak lama kemudian, Mas Toyibi bertanya
lagi, “Bagaimana sejarah HTCE dan potensinya? Juga, mengapa HTCE diposisikan
sebagai “Silicon Valley”nya Belanda?”
“Pak Toyibi, sebentar lagi
kita akan sampai di kompleks HTCE,” jawab Mas Latif Gau. “Di sana, kita akan
melihat kompleks itu. Dulunya, kompleks itu yang menjadi pusat kegiatan tidak
kurang dari 90 perusahaan dan lembaga, dan melibatkan sekitar 8,000 peneliti
dan enterpreneur dari 50 negara itu merupakan Natlab, fasilitas riset utama
perusahaan Philips yang lahir dan tumbuh berkembang di Eindhoven ini. Namun,
kemudian, Natlab dibuka untuk perusahaan-perusahaan non-Philips. Hasilnya, luar
biasa. Kompleks ini menjadi kompleks penelitian dari pelbagai produk, di
pelbagai bidang. Selain itu, di sekitar kompleks juga tumbul pelbagai industri.
Menyadari belum ada satu perusahaan Indonesia pun yang “bergabung” dalam
kompleks ini, saya kemudian memberanikan diri keluar dari tempat kerja
sebelumnya. Lalu, bersama Harca, kami masuk ke lingkungan HTCE. Sehingga, dapat
dikatakan, Abyor Europe BV adalah perintis dan perusahaan Indonesia pertama
yang bergerak di lingkungan HTCE. Dengan masuk di lingkungan HTCE, harapan
kami, kami dapat mendapatkan job-job yang kemudian dikerjakan di
Indonesia. HTCE ini merupakan salah satu pusat industri kreatif. Semestinya,
bukan hanya perusahaan-perusahan China dan India saja yang masuk, tapi juga
perusahaan-perusahaan Indonesia . Mohon doanya semua, semoga langkah kami ini
dimudahkan Yang Maha Pemurah, amin.”
“Amin ya Rabb Al-‘Alamin,”
sahut kami. Bersama.
Tidak lama kemudian, mobil
yang kami naiki memasuki sebuah kompleks sepi dan nyaman sekali. Tiada orang
yang berkeliaran. Setelah kami turun dari mobil, kami kemudian diajak masuk ke dalam
sebuah gedung dan sebuah kantor. Ternyata, di situ telah hadir beberapa orang:
Dik Harca (dirut PT Abyor International), Mas Ferizal Ramli (orang Minang yang berdomisili di München, Jerman dan berprofesi
sebagai Unternehmensberater/Corporate Consultant for Management, System Integration and SAP
Standard Software pada Cirquent
GmbH), Dr. Aloysius Tan, dan dua orang Belanda.
Setelah saling berkenalan, dan mengenal tentang HTCE serta Abyor Europe
BV, kami kemudian diajak ke kantor sebelah. Eh, ternyata kantor sebelah adalah
kantor PV Microlab, sebuah perusahaan yang memproduksi peralatan dan software
di bidang kesehatan. Tidak lama kemudian, seorang pemilik kantor tersebut,
seorang perempuan berusia sekitar 50 tahun, mempresentasikan software baru yang
mampu mengvisualisasikan hasil CT-Scan, rontgen, dan MRI dengan tampilan 3D.
Mas Toyibi, sebagai seorang dokter spesialis jantung senior hanya menggeleng-geleng
kepalanya saja begitu menyaksikan presentasi tersebut. Lewat software tersebut,
kita dapat “melihat” secara hidup segala penyakit yang menimpa seseorang. “Ini
merupakan revolusi di bidang teknik medis. Software ini sangat penting bagi
para dokter. Khususnya para dokter spesialis, “ komentar Mas Toyibi.
Saya, sebagai satu-satunya
orang yang tidak memiliki latar belakang sains, teknik, maupun medis di antara
mereka, hanya “terbengong-bengong” melihat penyakit yang divisualisasikan
dengan sangat hidup tersebut. Dasar santri ndeso. Apalagi, setelah tahu
harga software itu. Mahal banget: 70.000 euro, hehehe.
Usai berdiskusi lama di
HTCE, kemudian dengan naik mobil kami pun meneruskan perjalanan menuju
Brussels. Setiba di kota terakhir itu, kami berempat yang akan menginap di
rumah Mas Andi Yudha Asfandiyar, diajak mampir ke rumah Mas Aji Purwanto, seorang
doktor di bidang aeronautika. Namun, apa yang berlangsung di sana setelah kami
tiba di rumah seorang direktur sebuah perusahaan engineering di Belgia
itu? Diskusi tentang pelbagai masalah, termasuk “masalah Jokowi”. Serunya,
diskusi yang diisi dengan sajian pizza yang disiapkan tuan rumah itu berlangsung
sampai larut malam sekali: pukul 01.30.
Setelah itu, barulah kami
berempat: Mas Toyibi dan istri serta saya dan istri diantarkan ke rumah Mas
Andi Yudha Asfandiyar di Woluwe, Brussels untuk menginap di sana. Mohon maaf,
Mas Andi, kami datang terlambat sekali! (Bersambung: “RAPAT GELAP” DADAKAN DI
WOLUWE, BRUSSELS: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (8). Perbincangan
tentang kreativitas Anak-Anak dan pembangunan sebuah masjid yang rahmatan lil ‘Alamin).
No comments:
Post a Comment