Friday, September 20, 2013

MENJENGUK “LEMBAH SILICON”NYA BELANDA:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (7)

Mas, nanti kalau di Belanda, mau kan saya ajak ke Eindhoven, menengok kantor saya di sana. Dari kota itu, kita nanti menuju Brussels.”

Demikian, ajakan seorang sahabat, yang sudah seperti adik saya sendiri, sebelum saya dan istri bertolak ke Belanda. Dia adalah seorang juragan sebuah perusahaan di Jakarta yang bergerak di bidang jasa teknologi informasi. Perusahaan yang memiliki cabang di Australia, Singapura, Belanda, dan Jerman ini sejak berdiri merupakan sebuah perusahaan jasa teknologi informasi berbasis Systems Applications and Products in Data Processing (SAP) dari Jerman dan penciptaan aplikasi game. Menerima ajakan demikian, bibir saya pun bergumam, “Eindhoven? Ada apa di kota itu?”

Dasar santri ndeso, saya memang tidak mengenal kota yang terletak di provinsi Brabant Utara, Belanda itu. Apalagi, dua adik saya, yang pernah menimba ilmu di Negeri Kincir Angin, tidak pernah bercerita sama sekali tentang Eindhoven. Mereka berdua lebih banyak bercerita tentang Enschede dan Utrecht, tempat mereka berdua mendalami bidang teknologi dan medis. Meski demikian, akhirnya, saya menerima ajakan untuk menjenguk Kota Eindhoven. Ternyata, kota itu merupakan “jantung” perkembangan produk-produk yang berbasis sains dan teknologi Belanda, selain juga sebagai pusat industri kreatif. Juga, di kota itu pulalah perusahaan Philips lahir dan berkembang menjadi perusahaan kelas dunia.

Menerima ajakan demikian, maka pada waktu subuh Selasa, 3 September 2013, saya dan istri sudah berkemas-kemas. Kemudian, selepas menikmati breakfast, kami melapor kepada resepsionis hotel, bahwa kami akan pergi ke Belgia dan baru kembali ke hotel Selasa menjelang tengah malam. Selepas itu, kami pergi ke  Rijksmuseum dan Amsterdam RAI. Setelah istri menerima sertifikat keikutsertaannya dalam kongres ESC 2013, kami berdua kemudian bergegas menuju Stasiun Amsterdam Centraal, dengan tujuan mendapatkan tiket kereta api yang berangkat menuju Eindhoven sekitar pukul 13.30 waktu Amsterdam.

Alhamdulillah, kami mendapat tiket kereta api yang kami harapkan, seharga 38,40 euro setiap orang untuk kelas 2. Kereta api tersebut, antara lain, melewati Utrecht dan ‘s-Hertogenbosch. Perjalanan antara Amsterdam-Eindhoven, yang berjarak sekitar 126 kilometer, akan ditempuh kereta api tersebut dalam masa 1 jam 25 menit. Kemudian, pada saat yang ditentukan, kereta api yang nyaman dan bersih itu pun berangkat dan kemudian melaju menuju Eindhoven. Tepat satu jam dua puluh lima kemudian, kereta api itu memasuki Stasiun Eindhoven Centraal. Ketika kami keluar dari stasiun, ternyata Mas Toyibi, seorang dokter spesialis jantung senior dari RS Persahabatan Jakarta, dan istri sedang duduk di sebuah kursi panjang di depan stasiun. “Sebentar lagi,” ucap Mas Toyibi setelah bertemu dan menyambut kedatangan kami,” kita akan dijemput seseorang bernama Latif Gau. Dari sini, kita akan bertemu dengan Dik Harca di High Tech Campus, Eindhoven (HTCE).”

Benar, sekitar seperempat jam kemudian, seseorang berpostur Indonesia berusia sekitar 45 tahun memberhentikan mobilnya di tempat parkir yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menunggu. Orang itu kemudian keluar dari mobil SUV baru, Toyota Highlander Hybrid 2013. Melihat orang itu, saya pun berkata kepada Mas Toyibi, “Mas, orang itu kayaknya adalah Mas Latif Gau yang akan menjemput kita. Bagaimana kalau saya tanya dia?”
“Silakan,” jawab Mas Toyibi.

Ternyata, dugaan saya benar. Orang itu adalah Mas Latif Gau, Direktur Abyor Europe BV, yang akan membawa kami ke HTCE. Orang Bugis yang sangat lancar berbahasa Belanda itu telah bertahun-tahun bermukim di Belanda, sejak sekolah menengah atas. Selain menyelesaikan program s-1 di Universitas Teknologi Eindhoven dan program MBA di  bidang bisnis dan teknologi di TSM School Enschede, dia pernah bekerja lama di perusahaan Philips. Baik di Indonesia maupun di Belanda. Kini, mulai awal 2013, suami seorang perempuan asal Solo itu menjabat Direktur Abyor Europe BV yang bermarkas besar di HTCE, Belanda.

Setelah berkenalan dengan kami berempat, kami kemudian dipersilakan Mas Latif Gau naik mobilnya yang masih gres banget, alias baru, dan “eco-friendly”. Kami pun, kemudian, diajak keliling Kota Eindhoven. Setelah Mas Latif mengisahkan perjalanan hidupnya, sejak sebagai anak kecil di sebuah desa terpencil di Sulawesi Selatan, sampai dijadikan anak angkat sebuah keluarga Belanda hingga dia dapat merampungkan program MBAnya di TSM School, Enschede, Mas Toyibi yang duduk di sampingnya bertanya, “Mas Latif ini kan lama bekerja di perusahaan Philips, baik di Indonesia maupun Belanda. Mengapa sekarang mengundurkan diri dan mendirikan Abyor Europe BV bersama Dik Harca serta masuk di HTCE?”
“Pak Toyibi,” jawab juragan Abyor Europe BV yang setiap minggu ikut pengajian di Masjid Al-Hikmah, Den Haag itu, “Sebelum mendirikan Abyor Europe BV, dapat dikatakan pekerjaan saya adalah keliling ke mana-mana sebagai orang bagian pemasaran. Ke pelbagai penjuru dunia. Namun, sebagai orang Indonesia yang pernah bekerja di perusahaan Philips dan tahu tentang sejarah HTCE, apalagi setelah bertemu Harca, dia kan teman seangkatan saya di TSM School, Enschede ketika mengikuti program MBA, kami segera menyadari, ada potensi luar biasa yang tersimpan di HTCE.”

Usai menjawab demikian, Mas Latif Gau berhenti berucap. Dan, tidak lama kemudian, Mas Toyibi bertanya lagi, “Bagaimana sejarah HTCE dan potensinya? Juga, mengapa HTCE diposisikan sebagai “Silicon Valley”nya Belanda?”
“Pak Toyibi, sebentar lagi kita akan sampai di kompleks HTCE,” jawab Mas Latif Gau. “Di sana, kita akan melihat kompleks itu. Dulunya, kompleks itu yang menjadi pusat kegiatan tidak kurang dari 90 perusahaan dan lembaga, dan melibatkan sekitar 8,000 peneliti dan enterpreneur dari 50 negara itu merupakan Natlab, fasilitas riset utama perusahaan Philips yang lahir dan tumbuh berkembang di Eindhoven ini. Namun, kemudian, Natlab dibuka untuk perusahaan-perusahaan non-Philips. Hasilnya, luar biasa. Kompleks ini menjadi kompleks penelitian dari pelbagai produk, di pelbagai bidang. Selain itu, di sekitar kompleks juga tumbul pelbagai industri. Menyadari belum ada satu perusahaan Indonesia pun yang “bergabung” dalam kompleks ini, saya kemudian memberanikan diri keluar dari tempat kerja sebelumnya. Lalu, bersama Harca, kami masuk ke lingkungan HTCE. Sehingga, dapat dikatakan, Abyor Europe BV adalah perintis dan perusahaan Indonesia pertama yang bergerak di lingkungan HTCE. Dengan masuk di lingkungan HTCE, harapan kami, kami dapat mendapatkan job-job yang kemudian dikerjakan di Indonesia. HTCE ini merupakan salah satu pusat industri kreatif. Semestinya, bukan hanya perusahaan-perusahan China dan India saja yang masuk, tapi juga perusahaan-perusahaan Indonesia . Mohon doanya semua, semoga langkah kami ini dimudahkan Yang Maha Pemurah, amin.”
“Amin ya Rabb Al-‘Alamin,” sahut kami. Bersama.

Tidak lama kemudian, mobil yang kami naiki memasuki sebuah kompleks sepi dan nyaman sekali. Tiada orang yang berkeliaran. Setelah kami turun dari mobil, kami kemudian diajak masuk ke dalam sebuah gedung dan sebuah kantor. Ternyata, di situ telah hadir beberapa orang: Dik Harca (dirut PT Abyor International), Mas Ferizal Ramli (orang Minang yang berdomisili di München, Jerman dan berprofesi sebagai Unternehmensberater/Corporate Consultant for Management, System Integration and SAP Standard Software pada Cirquent GmbH), Dr. Aloysius Tan, dan dua orang Belanda.

Setelah saling berkenalan, dan mengenal tentang HTCE serta Abyor Europe BV, kami kemudian diajak ke kantor sebelah. Eh, ternyata kantor sebelah adalah kantor PV Microlab, sebuah perusahaan yang memproduksi peralatan dan software di bidang kesehatan. Tidak lama kemudian, seorang pemilik kantor tersebut, seorang perempuan berusia sekitar 50 tahun, mempresentasikan software baru yang mampu mengvisualisasikan hasil CT-Scan, rontgen, dan MRI dengan tampilan 3D. Mas Toyibi, sebagai seorang dokter spesialis jantung senior hanya menggeleng-geleng kepalanya saja begitu menyaksikan presentasi tersebut. Lewat software tersebut, kita dapat “melihat” secara hidup segala penyakit yang menimpa seseorang. “Ini merupakan revolusi di bidang teknik medis. Software ini sangat penting bagi para dokter. Khususnya para dokter spesialis, “ komentar Mas Toyibi.

Saya, sebagai satu-satunya orang yang tidak memiliki latar belakang sains, teknik, maupun medis di antara mereka, hanya “terbengong-bengong” melihat penyakit yang divisualisasikan dengan sangat hidup tersebut. Dasar santri ndeso. Apalagi, setelah tahu harga software itu. Mahal banget: 70.000 euro, hehehe.

Usai berdiskusi lama di HTCE, kemudian dengan naik mobil kami pun meneruskan perjalanan menuju Brussels. Setiba di kota terakhir itu, kami berempat yang akan menginap di rumah Mas Andi Yudha Asfandiyar, diajak mampir ke rumah Mas Aji Purwanto, seorang doktor di bidang aeronautika. Namun, apa yang berlangsung di sana setelah kami tiba di rumah seorang direktur sebuah perusahaan engineering di Belgia itu? Diskusi tentang pelbagai masalah, termasuk “masalah Jokowi”. Serunya, diskusi yang diisi dengan sajian pizza yang disiapkan tuan rumah itu berlangsung sampai larut malam sekali: pukul 01.30.

Setelah itu, barulah kami berempat: Mas Toyibi dan istri serta saya dan istri diantarkan ke rumah Mas Andi Yudha Asfandiyar di Woluwe, Brussels untuk menginap di sana. Mohon maaf, Mas Andi, kami datang terlambat sekali! (Bersambung: “RAPAT GELAP” DADAKAN DI WOLUWE, BRUSSELS: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (8). Perbincangan tentang kreativitas Anak-Anak dan pembangunan sebuah masjid yang rahmatan lil ‘Alamin).



No comments: