Monday, September 16, 2013

MELONGOK  PASAR KONDANG VAN AMSTERDAM:
Perjalanan Santri nDeso ke Belanda-Belgia (4)

Payungi pun sampun cumepak, Diajeng. Payungnya sudah siap, Diajeng?” tanya saya kepada istri, Sabtu pagi, 31 Agustus 2013, di dalam sebuah kamar Clemens Hotel, Amsterdam, dengan bahasa Jawa halus. 
Sampun, Ndoro. Sudah, tuan besar,” jawab istri yang faham, ketika saya menggunakan bahasa Jawa halus, seperti kosa kata “diajeng” (adik), artinya saya sedang menggodanya dan bercanda dengannya. Karena itu, dia pun membalas candaan itu dengan ucapan candaan pula: “Ndoro”. Kami berdua, memang, kerap bercanda untuk membuat cair suasana di antara kami berdua.

Menurut ramalan cuaca, baik BBC maupun tivi Belanda, hari itu cuaca Amsterdam turun mendadak, dari antara 22-14 celcius menjadi 16-11 celcius. Lagi pula, hari itu akan hujan. Mendengar ramalan yang demikian, kami pun mempersiapkan diri: membawa payung dan jaket anti-dingin di tas punggung kami. Ternyata, cuaca yang tidak menentu tidak hanya melanda Indonesia, tapi juga benua Eropa. Cuaca yang naik dan turun membuat kami harus selalu siap dengan payung dan jaket. Ke mana pun kami melangkah, selama di Belanda dan Belgia. Dan, dalam cuaca yang demikian, saya sendiri selalu “mempersenjatai diri” dengan meminum vitamin c dosis tinggi.  

Usai mempersiapkan segala sesuatu untuk “menyambut” perjalanan kami hari itu, kami pun segera turun ke resto hotel, untuk menikmati breakfast. Setelah itu, segera kami turun dari hotel dan menuju Halte Dam, dengan tujuan Stasiun Amsterdam Centraal. Hari itu, istri mulai “mengaji” alias “sekolah” di Amsterdam RAI. Ketika kami sedang melihat peta di Halte Dam, sambil menunggu trem nomer 13 atau 17 datang, tiba-tiba seseorang  berusia lanjut, sekitar 70 tahun, mendekati kami dan bertanya, “Tahukah kalian, bagaimana cara menuju Amsterdam RAI?”
“O, Anda akan ikut kongres European Society of Cardiology, ya?” tanya istri kepada orang itu.
“Benar,” jawab orang itu. “Kalian juga akan ke sana? Jika kalian juga akan ke sana, di mana tempat membeli tiket trem yang menuju ke sana?”
“Silakan Anda pergi bersama kami. Kami memang akan pergi ke Amsterdam RAI. Anda dapat membeli tiket itu kepada masinis trem atau petugas lainnya di gerbang ketiga. Di situ, Anda dapat membeli tiket dengan beberapa pilihan masa berlakunya: ada yang satu jam, satu hari, dua hari, atau tiga hari. Anda dari mana?”
“Terima kasih. Saya seorang dokter spesialis jantung dari Spanyol,” jawab orang itu sambil memandangi istri yang mengenakan jilbab. “Tetapi, asal saya dari Lebanon. Saya juga seorang Muslim kok, seperti ibu ini.”
“Mas, pagi begini kita mendapatkan kesempatan bersedekah: mendampingi seseorang berusia lanjut yang masih bersemangat menimba ilmu pengetahuan,” kata istri.

Betapa gembira dokter itu, begitu dia tahu, saya pun menguasai bahasa Arab. Dia pun mengajak saya berbincang dalam bahasa Arab. Dalam hati, saat itu, saya bersyukur kepada Allah, karena sejak muda sudah menyadari pentingnya penguasaan beberapa bahasa asing, terutama bahasa Arab. Dengan menguasai tiga bahasa utama di dunia: bahasa Arab, Inggris, dan Perancis (maaf, tidak bermaksud pamer), alhamdulillah saya dapat berbincang dengan banyak bangsa. Ke mana pun pergi, ke pelbagai belahan dunia.

Ketika trem nomer 13 datang, kami dan dokter dari Spanyol itu pun segera naik ke atas trem tersebut. Tidak lebih dari sepuluh menit, kami sudah tiba di Amsterdam Centraal. Dari situ, kami kemudian naik trem nomer 4 menuju Halte Dintelstraat yang dekat dengan gedung Amsterdam RAI. Ketika trem yang kami naiki kian dekat dengan Amsterdam RAI, kian banyak para penumpang pria yang mengenakan jas dan dasi dan para penumpang yang berpakaian resmi. Dengan mudah dapat diduga, sebagian besar di antara mereka adalah para peserta kongres ESC 2013. Entah kenapa, melihat para dokter yang mengenakan jas dan dasi tersebut, benak saya tiba-tiba “melayang-layang” ke Kairo, Mesir, ketika saya sedang mengikuti program pascasarjana di Universitas Kairo pada awal tahun 1980-an. Ketika itu, musim dingin. Semua para peserta program tersebut mengenakan jas, kecuali saya yang mengenakan jaket. Seumur-umur saya, memang, hanya sekali saja mengenakan jas. Itu pun pinjaman. Melihat hal itu terjadi berulang kali, seorang profesor bertanya, “Ahmed (itulah panggilan saya ketika menimba ilmu di Mesir). Mengapa engkau tidak pernah mengenakan jas seperti teman-temanmu?”
“Maaf, Prof,” jawab saya, “saya tidak terbiasa mengenakan jas. Di Indonesia tidak ada musim dingin, karena itu saya tidak terbiasa mengenakan jas. Saya lebih terbiasa mengenakan jaket.”

Mendapat jawaban demikian, profesor tersebut diam saja. Sejak itu, beliau tidak pernah bertanya lagi tentang persoalan jas. Dan, setelah itu, hingga kini, saya tidak pernah mengenakan jas. Dalam acara apa pun. Memang, dalam hal ini, saya adalah seorang santri ndeso, yang tidak tertarik sama sekali untuk mengenakan jas.

Ketika kami tiba Halte Dintelstraat, hujan tiba-tiba turun. Karena kami sudah “sedia payung sebelum hujan”, kami pun dengan tenang turun dari trem dan melangkah menuju gedung Amsterdam RAI, dengan menggandeng dan memayungi dokter spesialis jantung dari Spanyol yang pergi bersama kami. Ketika tiba di gedung Amsterdam RAI, gedung itu telah penuh dengan ribuan peserta kongres ESC 2013. Saya sendiri, setelah berpamitan dengan istri, segera kembali ke Halte Dintelstraat dengan tujuan: Halte Rembrandtpleine. Sepanjang perjalanan, saya pun berusaha “merekam dengan pandangan mata langsung”, dengan kamera yang saya bawa, lingkungan di sebelah kanan dan kiri sepanjang jalur trem. Itulah kebiasaan saya, sebelum saya menuangkannya dalam sebuah kisah perjalanan.

Ketika trem yang saya naiki tiba di Halte Rembrandtplein, dan kemudian melangkah ke seberang jalan menuju Rembrandt Square. Karena saat itu baru sekitar pukul 08.30 pagi, tidak banyak orang yang sedang “menikmati” patung Rembrandt van Rijn. Di sekitar kawasan itulah, dulu, pelukis kondang Belanda itu tinggal antara 1639-1656. Semula, square alis taman itu merupakan tembok-tembok pertahanan yang dibangun pada Masa Pertengahan untuk melindungi Kota Amsterdam. Sedangkan patung sang pelukis mulai dibuat pada 1852,oleh seorang pematung kondang kala itu, Louis Royer. Patung itu kemudian diletakkan di tengah-tengah taman. Karena itu, taman tersebut disebut Rembrandtplein, alias “Taman Rembrandt”. Di sekitar taman yang terkenal itu, kini, banyak terdapat kafe, hotel, dan pelbagai sarana hiburan. Beberapa trem melintasi taman itu, yaitu trem nomer 4, 9, dan 14.

Puas menikmati patung karya Louis Royer, tentu saja juga mengambil sejumlah foto di situ, saya kemudian meneruskan perjalanan menuju Dam Square. Kali ini, dengan berjalan kaki. Setiap kali melintasi gang dan jalan, gang dan jalan itu saya masuki. Juga, dengan menikmati kanal sepanjang jalan yang saya lalui. Kayak orang yang tanpa tujuan sama sekali. Setiap kali kedua kaki saya “meminta istirahat”, saya pun berhenti dan membaca buku yang senantiasa mengikuti saya ke manapun  pergi. Dari “petualangan” itu, saya kian memahami: tidak semua orang-orang Amsterdam kaya. Meski demikian, menurut penilaian saya, mereka ramah dan rata-rata dapat berbahasa Inggris. Selain itu, mereka sangat sadar berlalu lintas dan penikmat sepeda yang luar biasa serta pencinta fanatik anjing.

Karena saya sangat menikmati petualangan dengan jalan kaki, ketika tiba di Dam Square tidak terasa tiga jam berlalu. Kemudian, ketika saya sedang asyik menikmati taman tersebut, yang penuh dengan turis, tiba-tiba short message (sms) dari istri, “Mas ada di mana? Kongres sebentar lagi istirahat. Lama: sampai pukul 15.00 nanti.”

Menerima pesan demikian, saya pun segera tersadarkan: saat itu saya berada di Belanda. Kayaknya, orang-orang Belanda suka istirahat siang lama. Atau, barang kali, mereka masih menerapkan ‘siesta’, alias tidur siang. Entahlah. Karena itu, saya pun segera naik trem menuju ke gedung Amsterdam RAI.  Begitu bertemu dengan saya, istri pun berucap, “Lapar, nih. Gak ada makanan apa pun. Hanya ada minum air mineral saja.”

Untung, paginya kami sudah “membekali diri” dengan nasi dan lauk yang ikut saya (di tas punggung) kluyuran, hehehe. Kami pun segera makan dengan lahap, karena cuaca hari itu dingin bagi kami. Dan, seusai menikmati makan siang, di taman di depan gedung Amsterdam RAI, istri berucap, “Daripada menunggu lama, sampai pukul 15.00, bagaimana jika kita ‘ngluyur’ saja dulu. Nanti, kita kembali lagi ke sini?”
“Siap! Bagaimana jika kita pergi ke pasar kondang di kota ini, yaitu Albert Cuyp Markt?”
“Mengapa ke pasar itu?”
“Entah kenapa, saya tiba-tiba ingat Edin (adik saya yang telah berpulang karena kecelakaan: seorang insinyur mesin lulusan Insitut Teknologi Bandung yang kemudian mengambil program MBA di bidang bisnis dan teknologi di Enschede, Belanda). Bukankah dia kerap bercerita, ketika dia sedang menimba di sini, salah satu cara dia untuk menghemat bea siswa yang diterimanya, dia sering pergi ke pasar dan membeli barang-barang yang diperlukannya dengan harga murah. Saya ingin tahu, bagaimana suasana pasar di negeri ini. Lagi pula, ngapain kita pergi ke mall. Mall-mall di Indonesia gak kalah lengkap daripada mall-mall di sini…”
“Oke, kalau begitu.”

Kami pun kemudian meninggalkan gedung Amsterdam RAI, dengan naik trem dari Halte Dintelstraat. Setelah trem itu tiba di Halte Centuurbaan, kami pun turun dan menyeberang jalan. Setelah sampai di perempatan jalan, kami kemudian belok kiri dan ketika sampai di jalan berikut, sampai kami ke jalan yang menuju ke Albert Cuyp Markt. Eh, ketika kami sedang melangkah menuju pasar tersebut, dari arah berlawanan kami melihat seseorang yang posturnya seperti orang Indonesia. Ketika kami menyapanya, ternyata dugaan kami memang benar. “Saya sudah 13 tahun tinggal di Amsterdam, Pak,” jawab orang itu, ketika saya tanya telah berapa lama dia tinggal di Amsterdam. Dia sedang berbelanja banyak, karena hari Ahad pasar yang namanya diambil dari nama seorang pelukis kondang Belanda dari abad ke-17, Albert Cuyp, itu tutup.

Di pasar yang terletak di Distrik Oud-Zuid itu kami melihat, yang berjualan di situ, ternyata, berasal dari berbagai bangsa. Yang terbanyak adalah orang Belanda. Di samping mereka, ada juga orang Turki, Maroko, dan Suriname. Dengan mengunjungi pasar itu saya sampai kesimpulan: mudah bagi Muslim mana pun untuk mendapatkan bahan mentah masakan yang halal di Kota Amsterdam.

Setelah mendekati pukul 15.00, kami segera kembali ke Amsterdam RAI. Di sana, istri kembali “mengaji” sampai pukul 16.30. Selepas itu, kami pun ‘ngluyur’ kembali, dengan naik dan turun trem, ke pelbagai sudut Kota Amsterdam. Eh, ketika kami sampai ke salah satu ujung jalur trem yang kami naiki, ternyata kami berhenti di kawasan tidak jauh dari Universiteit van Amsterdam. Dan, ternyata, jalan-jalannya menyandang nama-nama Indonesia, seperti Javastraat, Balistraat, Erste Atjehstraat, Riowstraat, Delistraat, Makassarstraat, Niasstraat, Semarangstraat. Rasanya, kami sedang berada di Indonesia, bukan di Belanda, hehehe.  


Setelah puas ‘ngluyur’, kami kemudian kembali ke hotel, di Raadhuistraat, ketika malam sudah agak larut, dalam keadaan capek. “Mengaji” dan “ngluyur”, itulah kerjaan kami berdua hari itu. (Bersambung: LO, ITU KAN FOTO IBU MEGA, KOK DIJAJAKAN BEGITU: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (5). Selamat menunggu, ya). 

No comments: