MELONGOK PASAR
KONDANG VAN AMSTERDAM:
Perjalanan Santri nDeso ke Belanda-Belgia (4)
“Payungi pun sampun cumepak, Diajeng. Payungnya
sudah siap, Diajeng?” tanya saya kepada istri, Sabtu pagi, 31 Agustus 2013, di
dalam sebuah kamar Clemens Hotel, Amsterdam, dengan bahasa Jawa halus.
“Sampun, Ndoro. Sudah, tuan besar,” jawab istri
yang faham, ketika saya menggunakan bahasa Jawa halus, seperti kosa kata
“diajeng” (adik), artinya saya sedang menggodanya dan bercanda dengannya.
Karena itu, dia pun membalas candaan itu dengan ucapan candaan pula: “Ndoro”.
Kami berdua, memang, kerap bercanda untuk membuat cair suasana di antara kami
berdua.
Menurut ramalan cuaca, baik BBC maupun tivi Belanda, hari
itu cuaca Amsterdam turun mendadak, dari antara 22-14 celcius menjadi 16-11
celcius. Lagi pula, hari itu akan hujan. Mendengar ramalan yang demikian, kami
pun mempersiapkan diri: membawa payung dan jaket anti-dingin di tas punggung
kami. Ternyata, cuaca yang tidak menentu tidak hanya melanda Indonesia, tapi
juga benua Eropa. Cuaca yang naik dan turun membuat kami harus selalu siap
dengan payung dan jaket. Ke mana pun kami melangkah, selama di Belanda dan
Belgia. Dan, dalam cuaca yang demikian, saya sendiri selalu “mempersenjatai
diri” dengan meminum vitamin c dosis tinggi.
Usai mempersiapkan segala sesuatu untuk “menyambut”
perjalanan kami hari itu, kami pun segera turun ke resto hotel, untuk menikmati
breakfast. Setelah itu, segera kami turun dari hotel dan menuju Halte
Dam, dengan tujuan Stasiun Amsterdam Centraal. Hari itu, istri mulai “mengaji”
alias “sekolah” di Amsterdam RAI. Ketika kami sedang melihat peta di Halte Dam,
sambil menunggu trem nomer 13 atau 17 datang, tiba-tiba seseorang berusia lanjut, sekitar 70 tahun, mendekati
kami dan bertanya, “Tahukah kalian, bagaimana cara menuju Amsterdam RAI?”
“O, Anda akan ikut kongres European Society of
Cardiology, ya?” tanya istri kepada orang itu.
“Benar,” jawab orang itu. “Kalian juga akan ke sana? Jika
kalian juga akan ke sana, di mana tempat membeli tiket trem yang menuju ke
sana?”
“Silakan Anda pergi bersama kami. Kami memang akan pergi
ke Amsterdam RAI. Anda dapat membeli tiket itu kepada masinis trem atau petugas
lainnya di gerbang ketiga. Di situ, Anda dapat membeli tiket dengan beberapa
pilihan masa berlakunya: ada yang satu jam, satu hari, dua hari, atau tiga
hari. Anda dari mana?”
“Terima kasih. Saya seorang dokter spesialis jantung dari
Spanyol,” jawab orang itu sambil memandangi istri yang mengenakan jilbab.
“Tetapi, asal saya dari Lebanon. Saya juga seorang Muslim kok, seperti ibu
ini.”
“Mas, pagi begini kita mendapatkan kesempatan bersedekah:
mendampingi seseorang berusia lanjut yang masih bersemangat menimba ilmu
pengetahuan,” kata istri.
Betapa gembira dokter itu, begitu dia tahu, saya pun menguasai
bahasa Arab. Dia pun mengajak saya berbincang dalam bahasa Arab. Dalam hati,
saat itu, saya bersyukur kepada Allah, karena sejak muda sudah menyadari
pentingnya penguasaan beberapa bahasa asing, terutama bahasa Arab. Dengan
menguasai tiga bahasa utama di dunia: bahasa Arab, Inggris, dan Perancis (maaf,
tidak bermaksud pamer), alhamdulillah saya dapat berbincang dengan banyak
bangsa. Ke mana pun pergi, ke pelbagai belahan dunia.
Ketika trem nomer 13 datang, kami dan dokter dari Spanyol
itu pun segera naik ke atas trem tersebut. Tidak lebih dari sepuluh menit, kami
sudah tiba di Amsterdam Centraal. Dari situ, kami kemudian naik trem nomer 4
menuju Halte Dintelstraat yang dekat dengan gedung Amsterdam RAI. Ketika trem
yang kami naiki kian dekat dengan Amsterdam RAI, kian banyak para penumpang
pria yang mengenakan jas dan dasi dan para penumpang yang berpakaian resmi.
Dengan mudah dapat diduga, sebagian besar di antara mereka adalah para peserta
kongres ESC 2013. Entah kenapa, melihat para dokter yang mengenakan jas dan
dasi tersebut, benak saya tiba-tiba “melayang-layang” ke Kairo, Mesir, ketika
saya sedang mengikuti program pascasarjana di Universitas Kairo pada awal tahun
1980-an. Ketika itu, musim dingin. Semua para peserta program tersebut
mengenakan jas, kecuali saya yang mengenakan jaket. Seumur-umur saya, memang,
hanya sekali saja mengenakan jas. Itu pun pinjaman. Melihat hal itu terjadi
berulang kali, seorang profesor bertanya, “Ahmed (itulah panggilan saya ketika
menimba ilmu di Mesir). Mengapa engkau tidak pernah mengenakan jas seperti
teman-temanmu?”
“Maaf, Prof,” jawab saya, “saya tidak terbiasa mengenakan
jas. Di Indonesia tidak ada musim dingin, karena itu saya tidak terbiasa
mengenakan jas. Saya lebih terbiasa mengenakan jaket.”
Mendapat jawaban demikian, profesor tersebut diam saja.
Sejak itu, beliau tidak pernah bertanya lagi tentang persoalan jas. Dan,
setelah itu, hingga kini, saya tidak pernah mengenakan jas. Dalam acara apa
pun. Memang, dalam hal ini, saya adalah seorang santri ndeso, yang tidak
tertarik sama sekali untuk mengenakan jas.
Ketika kami tiba Halte Dintelstraat, hujan tiba-tiba
turun. Karena kami sudah “sedia payung sebelum hujan”, kami pun dengan tenang
turun dari trem dan melangkah menuju gedung Amsterdam RAI, dengan menggandeng
dan memayungi dokter spesialis jantung dari Spanyol yang pergi bersama kami.
Ketika tiba di gedung Amsterdam RAI, gedung itu telah penuh dengan ribuan
peserta kongres ESC 2013. Saya sendiri, setelah berpamitan dengan istri, segera
kembali ke Halte Dintelstraat dengan tujuan: Halte Rembrandtpleine. Sepanjang
perjalanan, saya pun berusaha “merekam dengan pandangan mata langsung”, dengan
kamera yang saya bawa, lingkungan di sebelah kanan dan kiri sepanjang jalur
trem. Itulah kebiasaan saya, sebelum saya menuangkannya dalam sebuah kisah
perjalanan.
Ketika trem yang saya naiki tiba di Halte Rembrandtplein,
dan kemudian melangkah ke seberang jalan menuju Rembrandt Square. Karena saat
itu baru sekitar pukul 08.30 pagi, tidak banyak orang yang sedang “menikmati” patung
Rembrandt van Rijn. Di sekitar kawasan itulah, dulu, pelukis kondang Belanda
itu tinggal antara 1639-1656. Semula, square alis taman itu merupakan
tembok-tembok pertahanan yang dibangun pada Masa Pertengahan untuk melindungi
Kota Amsterdam. Sedangkan patung sang pelukis mulai dibuat pada 1852,oleh
seorang pematung kondang kala itu, Louis Royer. Patung itu kemudian diletakkan
di tengah-tengah taman. Karena itu, taman tersebut disebut Rembrandtplein,
alias “Taman Rembrandt”. Di sekitar taman yang terkenal itu, kini, banyak
terdapat kafe, hotel, dan pelbagai sarana hiburan. Beberapa trem melintasi
taman itu, yaitu trem nomer 4, 9, dan 14.
Puas menikmati patung karya Louis Royer, tentu saja juga mengambil
sejumlah foto di situ, saya kemudian meneruskan perjalanan menuju Dam Square.
Kali ini, dengan berjalan kaki. Setiap kali melintasi gang dan jalan, gang dan
jalan itu saya masuki. Juga, dengan menikmati kanal sepanjang jalan yang saya
lalui. Kayak orang yang tanpa tujuan sama sekali. Setiap kali kedua kaki saya
“meminta istirahat”, saya pun berhenti dan membaca buku yang senantiasa
mengikuti saya ke manapun pergi. Dari
“petualangan” itu, saya kian memahami: tidak semua orang-orang Amsterdam kaya.
Meski demikian, menurut penilaian saya, mereka ramah dan rata-rata dapat
berbahasa Inggris. Selain itu, mereka sangat sadar berlalu lintas dan penikmat
sepeda yang luar biasa serta pencinta fanatik anjing.
Karena saya sangat menikmati petualangan dengan jalan
kaki, ketika tiba di Dam Square tidak terasa tiga jam berlalu. Kemudian, ketika
saya sedang asyik menikmati taman tersebut, yang penuh dengan turis, tiba-tiba
short message (sms) dari istri, “Mas ada di mana? Kongres sebentar lagi
istirahat. Lama: sampai pukul 15.00 nanti.”
Menerima pesan demikian, saya pun segera tersadarkan:
saat itu saya berada di Belanda. Kayaknya, orang-orang Belanda suka istirahat
siang lama. Atau, barang kali, mereka masih menerapkan ‘siesta’, alias tidur
siang. Entahlah. Karena itu, saya pun segera naik trem menuju ke gedung Amsterdam
RAI. Begitu bertemu dengan saya, istri
pun berucap, “Lapar, nih. Gak ada makanan apa pun. Hanya ada minum air mineral
saja.”
Untung, paginya kami sudah “membekali diri” dengan nasi
dan lauk yang ikut saya (di tas punggung) kluyuran, hehehe. Kami pun segera
makan dengan lahap, karena cuaca hari itu dingin bagi kami. Dan, seusai
menikmati makan siang, di taman di depan gedung Amsterdam RAI, istri berucap,
“Daripada menunggu lama, sampai pukul 15.00, bagaimana jika kita ‘ngluyur’ saja
dulu. Nanti, kita kembali lagi ke sini?”
“Siap! Bagaimana jika kita pergi ke pasar kondang di kota
ini, yaitu Albert Cuyp Markt?”
“Mengapa ke pasar itu?”
“Entah kenapa, saya tiba-tiba ingat Edin (adik saya yang
telah berpulang karena kecelakaan: seorang insinyur mesin lulusan Insitut
Teknologi Bandung yang kemudian mengambil program MBA di bidang bisnis dan
teknologi di Enschede, Belanda). Bukankah dia kerap bercerita, ketika dia
sedang menimba di sini, salah satu cara dia untuk menghemat bea siswa yang
diterimanya, dia sering pergi ke pasar dan membeli barang-barang yang
diperlukannya dengan harga murah. Saya ingin tahu, bagaimana suasana pasar di
negeri ini. Lagi pula, ngapain kita pergi ke mall. Mall-mall di
Indonesia gak kalah lengkap daripada mall-mall di sini…”
“Oke, kalau begitu.”
Kami pun kemudian meninggalkan gedung Amsterdam RAI,
dengan naik trem dari Halte Dintelstraat. Setelah trem itu tiba di Halte
Centuurbaan, kami pun turun dan menyeberang jalan. Setelah sampai di perempatan
jalan, kami kemudian belok kiri dan ketika sampai di jalan berikut, sampai kami
ke jalan yang menuju ke Albert Cuyp Markt. Eh, ketika kami sedang melangkah
menuju pasar tersebut, dari arah berlawanan kami melihat seseorang yang
posturnya seperti orang Indonesia. Ketika kami menyapanya, ternyata dugaan kami
memang benar. “Saya sudah 13 tahun tinggal di Amsterdam, Pak,” jawab orang itu,
ketika saya tanya telah berapa lama dia tinggal di Amsterdam. Dia sedang
berbelanja banyak, karena hari Ahad pasar yang namanya diambil dari nama
seorang pelukis kondang Belanda dari abad ke-17, Albert Cuyp, itu tutup.
Di pasar yang terletak di Distrik Oud-Zuid itu kami
melihat, yang berjualan di situ, ternyata, berasal dari berbagai bangsa. Yang
terbanyak adalah orang Belanda. Di samping mereka, ada juga orang Turki,
Maroko, dan Suriname. Dengan mengunjungi pasar itu saya sampai kesimpulan:
mudah bagi Muslim mana pun untuk mendapatkan bahan mentah masakan yang halal di
Kota Amsterdam.
Setelah mendekati pukul 15.00, kami segera kembali ke
Amsterdam RAI. Di sana, istri kembali “mengaji” sampai pukul 16.30. Selepas
itu, kami pun ‘ngluyur’ kembali, dengan naik dan turun trem, ke pelbagai sudut
Kota Amsterdam. Eh, ketika kami sampai ke salah satu ujung jalur trem yang kami
naiki, ternyata kami berhenti di kawasan tidak jauh dari Universiteit van
Amsterdam. Dan, ternyata, jalan-jalannya menyandang nama-nama Indonesia,
seperti Javastraat, Balistraat, Erste Atjehstraat, Riowstraat, Delistraat,
Makassarstraat, Niasstraat, Semarangstraat. Rasanya, kami sedang berada di Indonesia,
bukan di Belanda, hehehe.
Setelah puas ‘ngluyur’, kami kemudian kembali ke hotel,
di Raadhuistraat, ketika malam sudah agak larut, dalam keadaan capek. “Mengaji”
dan “ngluyur”, itulah kerjaan kami berdua hari itu. (Bersambung: LO, ITU KAN
FOTO IBU MEGA, KOK DIJAJAKAN BEGITU: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia
(5). Selamat menunggu, ya).
No comments:
Post a Comment