MADURODAM ITU DI DEN HAAG, BUKAN DI MADURA:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (6)
Memiliki sebuah pesantren mini, alias memiliki pesantren
besarnya masih dalam imajinasi, karena baru terdiri dari Taman Pendidikan
Al-Quran (dengan santri sekitar 150 anak), Taman Kanak-Kanak Sekolah Alam
Gaharu, Senam Sehat untuk Orang Dewasa, Pelatihan Para Calon Ustadz/Ustadzah
yang mengajar Al-Quran, dan beberapa kegiatan edukatif lainnya, membuat saya
dan istri, setiap kali ‘ngluyur’ senantiasa berupaya menemukan ide-ide kreatif.
Di mana pun dan ke mana pun kami melangkah.
Dalam perjalanan ke Amsterdam kali ini, misalnya, ketika
saya sedang ‘bengong’ melihat ribuan dokter sedang ‘mengaji’ di gedung
Amsterdam RAI, tiba-tiba saya menemukan ide sekat yang akan saya buat untuk TPQ
kami. Sekat itu sederhana, tapi sangat fungsional dan dapat dibongkar-pasang (knocked
down) dengan cepat. Sebelumnya, saya dapat ide sekat lain ketika sedang
‘ngluyur’ di Singapura beberapa bulan yang lalu. Tetapi, ide dari gedung
Amsterdam RAI, menurut saya, lebih ciamik alias luar biasa. Itulah salah
satu “buah” kluyuran bagi saya. Tentu, masih banyak ide lain yang saya dapatkan
dari perjalanan kali ini.
Nah, ketika memasuki hari ke-4 di Kota Amsterdam, tepatnya
pada Senin, 2 September 2013, ketika saat menjelang subuh tiba, istri, yang
asyik ‘bermain’ dengan laptop kesayangannya, tiba-tiba bertanya kepada saya, “Mas,
ke mana kita akan ‘ngluyur’ hari ini?”
“Saya pengin tahu dulu, program ‘pengajian’ di Amsterdam
RAI hari ini bagaimana?” jawab saya sambil mendengarkan tilawah Al-Quran oleh
Misyari Rasyid Al-‘Afasyi lewat handphone.
“Bagaimana jika pagi hari ini hingga pukul dua belas siang saya akan ‘mengaji’ dulu di Amsterdam RAI,” ucap istri. “Lepas itu, kita ‘ngluyur’?.”
“Oke, jika begitu, kita hari ini ke Madurodam.”
“Madurodam, di mana itu?”
“Madurodam itu di Den Haag, bukan di Madura. Madurodam
itu sebuah taman miniatur yang ‘menampilkan’ Belanda dalam bentuk miniatur,”
jawab saya. “Seperti Miniaturk yang pernah kita kunjungi di Istanbul pada 2009.
Mungkin, di sana kita dapat menemukan ide-ide kreatif yang berguna untuk
pengembangan sekolah kita.”
“O, gitu. Oke, nanti siang kita ke sana saja,” ucap
istri. “Kalau begitu, saya mau menanak nasi dulu. Karena nanti siang kita pergi
ke Den Haag, sebaiknya kita membawa bekal. Biar tidak kelaparan dan kesulitan
mencari makan siang.”
Mendengar ucapan istri yang demikian, saya sih oke-oke
saja. Daripada kelaparan (kan menjelang musim gugur), saya pun mempersilakan
istri menyiapkan bekal. Kemudian, selepas “persiapan tempur” untuk hari itu siap
sedia, dan selepas menikmati breakfast di resto hotel, kami pun bergerak
menuju Halte Westermarkt. Sadar kalau kartu GVB (untuk naik trem dan bus GVB)
kami sudah kadaluarsa, maka ketika naik trem saya pun membeli kartu GVB yang
masa berlakunya hanya dua hari, Senin dan Selasa. Sebab, hari Rabu, karena
berada di Belgia, kami tidak akan memakai kartu itu. Kartu yang berlaku dua
hari, alias 48 jam, harganya 12 euro. Mahal ya, 12 euro kan sekitar 180 ribu
rupiah. Yah, harga-harga di Belanda memang mahal jika dikurskan dengan rupiah,
hehehe.
Meski hari Senin, trem yang kami naiki, dari Halte
Westermarkt ke Amsterdam Centraal dan dari Amsterdam Centraal ke Amsterdam RAI
ternyata tidak terlalu penuh. Jalan-jalan pun tidak macet. Jauh sekali dengan
“suasana” di Jakarta. Nyaman dan lancar, itulah yang kami rasakan. Apalagi
cuaca hari itu bersahabat dengan kami, antara 19-25 derajat celcius. Enak dan
nyaman untuk ‘urang Bandung’ seperti kami ini.
Selama istri ‘mengaji’, saya menunggu. Selama itu, saya
bertemu dengan sejumlah dokter Indonesia dan keluarganya. Di antara mereka
tiada satu pun yang menikmati perjalanan seperti yang kami jalani: menginap di
hotel kecil dan ‘kluyuran’ ke mana-mana. Mereka semua menginap di hotel-hotel bintang
empat dan ikut tour group. Akibatnya, mereka tidak dapat “menikmati”
Amsterdam. Padahal, meski baru beberapa hari di kota itu, kami hampir dapat
dikatakan telah “menguasai” Amsterdam. Jakarta, menurut saya, lebih berat dan
sulit “dikuasai” ketimbang Amsterdam.
Menjelang pukul dua belas siang istri telah usai
‘mengaji’. Karena itu, kami pun segera melangkahkan kaki menuju Halte
Dintelstraat. Dari halte itu, kami langsung menuju Stasiun Amsterdam Centraal,
karena tujuan ‘kluyuran’ kami hari itu adalah Kota Den Haag. Jarak antara Amsterdam
dan Den Haag sekitar 63 kilometer. Dekat. Setiba di Stasiun Amsterdam Centraal,
kami pun segera memberi tiket pulang-pergi, alias ‘dagretour’, seharga 21,70
euro untuk satu orang. Masih jauh murah harga tiket Argo-Parahyangan antara
Jakarta-Bandung yang berjarak sekitar 140 kilometer. Itulah harga yang harus
dibayar ketika kita ‘kluyuran’ di Benua Eropa. Semuanya mahal jika dikurskan
dengan rupiah.
Setelah menikmati perjalanan antara Amsterdam-Den Haag,
melewati Kota Leiden, akhirnya kami pun tiba di Stasiun Den Haag Centraal.
Stasiun ini cukup besar dan sibuk. Begitu keluar dari Stasiun Den Haag Central,
kami kemudian melangkahkan menuju Malieveld, sebuah taman. Taman di depan
Stasiun Den Haag Centraal itu terkenal sebagai tempat konser, pertunjukan, dan
juga protes serta unjuk rasa. Di taman itulah kami duduk sambil bersantap
siang, dengan bekal yang kami bawa dari rumah, eh hotel. Ndeso tenan,
hehehe, menikmati bekal nasi kok di taman yang saat itu sepi sekali. Tidak lama
kemudian, ketika asyik mengamati rusa-rusa yang berkeliaran di taman itu,
tiba-tiba saya tersadarkan kalau di taman itulah setiap tahun di taman itu
dilangsungkan sebuah perhelatan budaya kondang yang idenya berasal dari Indonesia, yaitu Tong
Tong Fair alias Pasar Malam Besar. Andaikan saat itu Tong Tong Fair sedang
dilangsungkan, tentu kami akan menontonnya.
Ketika kami sedang asyik menikmati Taman Malieveld,
sebuah pesan singkat (short message) masuk ke handphone saya.
Ketika pesan itu saya buka, ternyata pesan itu dari Eindhoven, Belanda. Bunyi
pesan itu, “Mas, bisa gak besok sampai ke Eindhoven pukul 16.00 (maju satu jam
dari rencana semula). Acara saya besok selesai lebih awal dan saya ingin
mengajak mampir ke perusahaan sebelah kantor saya.” Membaca pesan yang demikian
itu, saya pun berkata kepada istri, “Neng, ini ada pesan dari Eindhoven. Kita
diharapkan tiba pukul 16.00 di sana. Kalau begitu, besok kita berangkat dari
Amsterdam paling lambat pukul 14.00. Kan perjalanan antara Amsterdam-Eindhoven,
dengan kereta api, sekitar satu setengah jam.”
“Gak apa-apa,” jawab istri. “Jika demikian, besok saya
‘mengaji’ materi yang paling penting saja. Setelah itu, dari gedung Amsterdam
RAI kita langsung menuju Stasiun Amsterdam Centraal. Kemudian, dari sana, kita
menuju Eindhoven.”
“Oke, kalau begitu.”
Usai menikmati makan siang, kami kemudian bertanya kepada
seseorang yang lewat tentang arah Madurodam. Orang itu menjawab, Madurodam
tidak jauh dari taman itu dan kita lebih baik berjalan kaki lewat Jalan Koningkade,
di seberang taman. Karena tujuan utama kami ke Den Haag adalah menengok
Madurodam, kami pun mengabaikan ‘kluyuran’ ke tempat-tempat lain, meski kami
tahu di kota itu banyak situs dan tempat yang memikat untuk dikunjungi. Kali
ini, tujuan kami hanyalah ‘berziarah’ ke Madurodam. Itu saja.
Apa yang kemudian terjadi?
Weleh-weleh, ternyata, Jalan Koningkade itu sepi
dan panjang. Mungkin ada sekitar tiga kilometer. Karena jalan itu begitu sepi,
tidak aneh jika selama menyusuri jalan itu, kami hanya bertemu dengan empat
orang saja. Bayangkan, Den Haag kan sebuah gementee, kota pemerintahan
Belanda, tempat parlemen, dan ibu kota provinsi Zuid Holland (Holland Selatan),
selain itu juga menjadi lokasi kedutaan besar negara-negara asing, termasuk
Kedutaan Besar Republik Indonesia, tapi sepi banget. Ketika di tengah jalan,
sambil menikmati jalan yang sepi, kami berhenti di depan gedung pemerintahan
Provinsi Belanda Selatan, alias “Provinciehuis Zuid-Holland”. Selepas itu, kami
meneruskan perjalanan, sampai akhirnya menemukan Raamweg dan Plesmanweg,
setelah kami berjalan kaki sekitar empat kilometer. Di ujung Plesmanweg itulah,
setelah belok ke kiri, terletak Madurodam. Dengan kata lain, jarak antara
Stasiun Den Haag-Madurodam sejauh perjalanan sa’i di Makkah, hehehe. Lumayan pegal.
Lokasi Madurodam sendiri, sejatinya, terletakj di kawasan
Scheveningen. “Belanda miniatur” ini adalah model dari sebuah negara Belanda
dalam skala 1:25 dan terdiri dari bangunan-bangunan khas Belanda serta pelbagai
landmark yang ada di berbagai lokasi di Negeri Kincir Angin itu. Nah,
tempat kunjungan wisata ini dibangun pada
1952 dan telah dikunjungi puluhan
juta umat manusia, hehehe. Nama negara miniatur ini diambil dari nama George
Maduro, seorang pelajar dari Curocao yang meninggal di kamp konsentrasi Dachau pada 1945. Kemudian, orangtuanya menyumbangkan
uang untuk memulai proyek Madurodam. “Belanda miniatur” ini terbagi menjadi tiga
tema: “City Centre”, “Water World”, dan “Innovation Island”. Di area pertama
disajikan bangunan-bangunan tua terindah di pelbagai kota tua di Belanda. Area
kedua “berkisah” tentang “air sebagai teman dan lawan” (ada-ada saja, hehehe).
Sedangkan area ketiga menampilkan pelbagai inovasi Belanda demi kepentingan
umat manusia.
Setelah membeli tiket seharga 15 euro, kami pun diberi
dua kartu scan. Jika kartu itu ditempelkan di card reader, kita dapat
mengoperasikan pelbagai “permainan” yang ada di situ. Betapa gembira kami
berada di Madurodam. Hampir semua area kami kunjungi dan coba. Dasar santri
ndeso mlebu kuto, hehehe. Dan, tidak terasa berjam-jam kami berada
di Madurodam. Dan, setelah puas menikmati Madurodam, kami kemudian kembali ke
Stasiun Den Haag Centraal. Kali ini, kami sudah tidak kuat jalan kaki lagi.
Karena itu, kami naik bus nomer 69, yang menuju ke stasiun tersebut.
Alhamdulillah, gratis. Dan dari stasiun tersebut, kami kemudian kembali ke
Amsterdam. Tiba di hotel, sekitar pukul 20.00 waktu setempat, kami kecapekan. Apalagi,
hari berikut kami akan pergi ke Eindhoven. Tidur, itulah obatnya, hehehe. (Bersambung:
MENGUNJUNGI “LEMBAH SILICONE”NYA BELANDA DI EINDHOVEN: Perjalanan Santri Ndeso
ke Belanda-Belgia (7). Kisah perjalanan menengok pusat riset paling bergengsi
di Belanda).
No comments:
Post a Comment