MENENGOK NEGERI
KINCIR ANGIN:
Perjalanan Santri
Ndeso ke Belanda-Belgia (1)
“Mas, bagaimana kalau saya “sekolah” lagi,” ucap istri
saya, sekitar enam bulan lalu. “Saya ingin mengenal lebih jauh tentang penyakit
jantung. Pada akhir Agustus tahun ini, European Society of Cardiology (ESC) akan
menyelenggarakan pekan ilmiah tahunan di Amsterdam, Belanda. Tahun ini, saya
ingin “sekolah” lagi tentang penyakit jantung, seperti beberapa tahun yang lalu
di Vienna, Austria.
“Sendiri?” tanya saya.
“Saya maunya ditemani, seperti ketika “sekolah” di
Istanbul pada 2009, dan di Sydney tahun lalu,” jawab istri saya, seorang dokter
spesialis penyakit dalam.
“Ok, asal mau bergaya “backpacker” saja, dan gak pergi
bersama rombongan dokter-dokter lain yang pergi ke sana dalam bentuk tour
group.”
“Rasanya lebih nikmat dan hemat dengan cara “backpacker”an
begitu. Saya benar-benar menikmati perjalanan dengan gaya begitu, ketika kita
pergi ke Istanbul dan Sydney. Saya “sekolah”, sedangkan Mas jadi tour leader
dan“ngluyur” ke mana-mana seperti biasanya, hehehe.”
Segera, kami pun memproses segala hal yang diperlukan
dalam perjalanan tersebut. Alhamdulillah, sekitar tiga minggu lalu, visa “Etats
Schengen” akhirnya kami dapatkan tanpa kami harus pergi ke Jakarta. Hal itu
kami pernah pergi ke Eropa beberapa kali. Selain ke Belanda, kami juga bermaksud pergi
ke Belgia. Karena itu, sebelum berangkat, saya kemudian menghubungi Mas Andi
Yudha Asfandiyar, mantan CEO Penerbit Mizan, yang kini bermukim di Brussels,
bahwa saya akan mampir ke sana pada 4 September 2013. “Mas, monggo diantos
di Brusselnya. Tanggal itu kami siap. Semoga perjalanan lancar dan
sehatsegerbarokah selalu,” jawabnya lewat message di facebook. Dan,
kebetulan, seorang sahabat yang juragan sebuah perusahaan IT di Jakarta juga
mengajak kami untuk pergi bersama dari Belanda ke Belgia. Dia ingin membawa
kami ke kantor cabangnya yang baru di Eindhoven dan kemudian pergi ke Brussels
untuk bertemu dengan duta besar Republik Indonesia di sana. Alhamdulillah.
Kemudian, pada Kamis sore, 29 Agustus yang lalu, kami pun
telah berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selepas melintasi konter
imigrasi, dan ketika kami sedang duduk sebelum masuk ke dalam boarding
lounge, tidak lama kemudian seorang saudara, Dr M. Toyibi, dan istrinya, muncul. “Mas Toyibi
mau ke mana?” tanya saya kepada dokter spesialis penyakit jantung yang bertugas
di RS Persahabatan, Jakarta itu.
“Saya mau ke Amsterdam. Mau ikut ESC 2013 Meeting. Tapi,
kami juga akan ke Swedia. Kalian mau ke mana?”
“Hehehe, sama Mas, ke Amsterdam. Selain ke Amsterdam, kami
akan pergi ke Eindhoven dan Brussels, diajak Dik Harca, juragan perusahaan IT
yang juga Mas Toyibi kenal. Dia akan melebarkan usahanya ke Belanda, Belgia,
dan Jerman.”
“O, gitu. Kalau begitu, kami akan bergabung. Sebentar,
saya akan kontak dia.”
Selepas berucap demikian, dokter spesialis penyakit jantung
yang ketika menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada pernah
merasakan “hotel prodeo”, alias bui, selama sekitar setahun di Semarang, karena
menentang kebijakan politik rezim yang berkuasa di Indonesia kala itu, segera
mengontak juragan perusahaan IT yang sedang berada di Hamburg, Jerman itu. “Oke,
dia setuju, saya dan istri ikut bergabung dalam perjalanan ke Eindhoven dan
Brussels nanti,” ucap Mas Toyibi dengan wajah sumringah.
Tidak lama kemudian kami berempat pun masuk ke dalam
perut pesawat terbang KLM dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Amsterdam. Ternyata,
pesawat ini penuh dengan penumpang dan tidak ada kursi yang kosong. Saya dan
istri, yang mendapat nomer kursi terpisah jauh, akhirnya dapat duduk
berdampingan karena kebaikan hati seorang anak muda asal Karangasem, Bali, yang
akan kerja di sebuah perusahaan pelayaran di Belanda. Dan, ternyata, pesawat
terbang KLM pun terkena dampak kesibukan Bandara Soekarno-Hatta. Akibatnya, pesawat
terbang yang kami tumpangi itu terlambat berangkat sekitar dua jam. Akhir-akhir
ini, jadwal naik-turun pesawat terbang di Bandara Cengkareng itu memang sangat
sibuk.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 14 jam, dan melintasi
jarak sekitar 11.160 kilometer, akhirnya pesawat terbang yang kami naiki
mendarat di Schipol International Airport pada pukul 06.10 pagi waktu setempat.
Karena kami berempat membawa “invitation letter” dari ESC 2013, proses
pemeriksaan di konter imigrasi Bandara Schipol pun berjalan lancar. Tanpa
banyak pertanyaan, paspor kami pun dicap “30.08.13.86 AMSTERDAM SCHIPOL G
305”. Dan, begitu melewati “exit”, para
penjemput para peserta ESC 2013 tampak bertebaran di mana-mana. Mas Toyibi dan
istri segera menuju Ibis Hotel di lingkungan bandara Amsterdam itu. Sedangkan
saya dan istri, yang mengatur sendiri perjalanan kali ini, segera menuju ke
konter “Train Tickets & Services” untuk membeli tiket kereta api jurusan
Amsterdam Centraal.
Setelah memegang dua tiket seharga 4.40 euro, kami
kemudian menuju ke peron nomer 2 dengan tulisan “Naar de trainen 1-2”. Membaca
tulisan dalam bahasa Belanda tersebut, entah kenapa tiba-tiba pelbagai kosakata
bahasa Belanda yang pernah saya pelajari, ketika masih menjadi mahasiswa di
Jogjakarta, bermunculan kembali. Perlu dicatat, setiap seperempat jam ada
kereta api yang berangkat dari Schipol Airport menuju stasiun tersebar di Kota
Amsterdam: Amsterdam Centraal. Juga, sebaliknya. Dan, setelah melintasi dua
stasiun, Amsterdam Lelyland dan Amsterdam Slotterdijk, akhirnya kereta api nyaman
dan bersih yang kami naiki tiba di Stasiun Amsterdam Centraal. “Andai saja
antara Cengkareng dan Gambir segera ada kereta api seperti ini,” gumam istri
saya sambil memandangi kereta api-kereta api yang keluar dan masuk di stasiun
yang lebih besar dari Stasiun Gambir, Jakarta itu. “Bersih, rapi, dan
terintegrasi seperti Stasiun Sydney.”
Begitu turun dari kereta api, kami pun kebingungan dalam
mencari tempat penginapan yang kami tuju: Clemens Hotel, yang berada di
Raadhuisstraat. Sebab, kami belum pernah ke Amsterdam. Namun, karena sebelumnya saya sudah membaca “info”
seputar kota tua itu, saya kemudian membeli tiket trem dan bus GVB yang berlaku
untuk masa tiga hari, seharga 16.50 euro. Masa berlaku tiket GVB tersebut aneka
ragam, ada yang berlaku satu jam, satu hari, dua hari, atau tiga hari. Dari
peta yang disediakan dalam trem yang kami naiki, kami kemudian menaiki trem
nomer 13 (juga bisa naik trem nomer 17) dan turun di Halte Westermarkt. Ketika
ada pengumuman “volkende halte: Westermarkt”, kami pun segera siap-siap. Dan,
setelah trem itu berhenti di halte yang terletak di depan sebuah gereja megah
dan cantik, kami pun turun. “Oh, ini dia Raadhuisstraat,” gumam saya dalam hati
seraya memandangi para pesepeda yang lalu lalang di jalan itu. “Enak juga naik
sepeda di jalan yang mulus seperti ini. Andai jalan di Kota Bandung seperti
ini, saya pun akan naik sepeda ke mana-mana.”
Dengan mendorong masing-masing satu kopor, dan dengan
kebingungan, kami pun mencari tempat penginapan yang kami tuju. Setelah
bertanya beberapa kali, akhirnya hotel kecil tempat kami menginap pun kami
temukan. Kami sendiri, setelah beberapa hari kemudian, baru tahu, ternyata
hotel kecil itu berada tidak jauh dari Dam Square dan lokasinya sangat
startegis. Lagi pula, harganya terjangkau oleh kocek kami. Tapi, setelah berada
di bawah sebuah papan nama kecil bertuliskan “Clemens Hotel”, yang kami dapati
hanyalah sebuah pintu tertutup. Di dekat pintu itu ada bel dan kamera. Dasar
orang desa, sejenak kami pun kebingungan. Padahal, mata kami terasa berat dan
tubuh pun kecapaian setelah menempuh perjalanan tidak kurang dari 20 jam dari
Bandung. Setelah berpikir beberapa lama, saya kemudian memencet bel yang ada di
dekat pintu dan berucap dalam bahasa Inggris, karena kami tidak dapat berbahasa
Belanda, “Kami dari Indonesia dan akan menginap di hotel ini…”
“Apakah Anda telah melakukan reservasi?” tanya suara seorang
perempuan di bel itu.
“Ya, kami membawa bukti reservasi tersebut. Kami akan
menginap di sini selama enam hari.”
“Oke, tunggu sebentar,” jawab suara itu. “Oke, kini
dorong pintu di depan Anda.”
“Ndeso tenan. Dasar orang desa, hehehe,” gumam
saya, yang belum pernah menginap di tempat penginapan dengan model begini,
sambil mendorong pintu di depan saya.
Tapi, begitu pintu itu terbuka, apa yang ada di depan
saya?
Tangga miring dan terdiri dari entah berapa tahap. Begitu
melihat tangga miring dan jauh itu, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke
Giza, Mesir, dan terkenang ketika masa muda dan sedang memasuki Piramid Khufu.
Persis: miring dan jauh. “Wah, bagaimana saya harus mengangkat dua kopor ini?”
gumam saya dalam hati. “Gawat, (sakit) kaki kiri saya (yang tahun lalu harus
dioperasi karena jatuh ketika turun dari kereta api di Stasiun Bandung) bisa
kambuh lagi.”
Belum lagi kebingungan saya sirna, seorang cewek cantik
dan muda melongokkan kepalanya di samping tahap terakhir tangga tersebut dan
berteriak kepada saya, “Biarkan kopor kalian. Biar kopor-kopor itu diangkat Ahmed ke atas.”
“Ahmed, siapa dia?” gumam saya.
Tidak lama kemudian, seorang anak muda turun dan
mengangkat dua kopor kami. Anak muda itu ternyata adalah Ahmed, dan
alhamdulillah, dia seorang Muslim asal Mesir. Dan, ketika kami “mendaki” ke
atas sampai ke kamar yang kami inapi, ternyata tangga itu terdiri dari 48
tahap. Alamak!
Meski hotel itu kecil, namun pelayanannya bagus. Juga,
bersih dan nyaman. Semestinya, kami baru dapat masuk ke dalam kamar pukul
14.00. Tapi, karena hari itu ada satu kamar kosong, kami dibolehkan masuk ke
dalam kamar sebelum waktunya. Malah, sebelum memasuki kamar, kami dipersilakan
menikmati breakfast. Apa yang terjadi ketika kami berada di restoran
untuk menikmati makan pagi?
Ketika istri saya sedang kebingungan: apakah menu yang
disajikan halal atau haram, seorang anak muda yang melihat istri mengenakan jilbab
pun berucap, “Madame tidak usah khawatir. Semua makanan yang kami
sajikan halal.”
“Kok Anda berani menjamin demikian?” tanya saya.
“Kenalkan, nama saya Hasan. Saya dari Alexandria. Saya
juga Muslim seperti kalian dan pelayan di resto ini. Karena itu, saya tahu
benar, semua hidangan ini halal.”
“Intû min Masr? Kân zamân anâ sâkin fî Al-Qâhirah.
Anda dari Mesir? Dulu, saya tinggal di Kairo,” ucap saya kepada anak muda itu.
Begitu Hasan mendengar saya berbicara dengan bahasa Arab
harian ala Mesir, segera dia memeluk saya dan berucap, “Anda saudara saya.
Silakan nikmati hidangan di sini sepuas-puasnya. Saya akan membuatkan kalian
omelet yang sangat lezat.”
“Alhamdulillah,” ucap istri saya begitu ia saya beritahu
tentang apa yang dikatakan Hasan. “Allah Swt. senantiasa memberikan kemudahan
kepada kita.”
Usai menikmati makan pagi, kami kemudian menuju kamar. Ukuran
kamar itu, ternyata, tidak lebih dari 3 x 3 meter. Tapi, kamar itu nyaman,
bersih, dan view di luar menarik. Dan, tidak lama kemudian, kami pun
tidur pulas. Kecapaian! (Bersambung: “MENGAJI” DI AMSTERDAM RAI: Perjalanan
Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (2).
No comments:
Post a Comment