Monday, September 9, 2013

MENENGOK NEGERI KINCIR ANGIN:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (1)

Mas, bagaimana kalau saya “sekolah” lagi,” ucap istri saya, sekitar enam bulan lalu. “Saya ingin mengenal lebih jauh tentang penyakit jantung. Pada akhir Agustus tahun ini, European Society of Cardiology (ESC) akan menyelenggarakan pekan ilmiah tahunan di Amsterdam, Belanda. Tahun ini, saya ingin “sekolah” lagi tentang penyakit jantung, seperti beberapa tahun yang lalu di Vienna, Austria.
“Sendiri?” tanya saya.
“Saya maunya ditemani, seperti ketika “sekolah” di Istanbul pada 2009, dan di Sydney tahun lalu,” jawab istri saya, seorang dokter spesialis penyakit dalam.
“Ok, asal mau bergaya “backpacker” saja, dan gak pergi bersama rombongan dokter-dokter lain yang pergi ke sana dalam bentuk tour group.”
“Rasanya lebih nikmat dan hemat dengan cara “backpacker”an begitu. Saya benar-benar menikmati perjalanan dengan gaya begitu, ketika kita pergi ke Istanbul dan Sydney. Saya “sekolah”, sedangkan Mas jadi tour leader dan“ngluyur” ke mana-mana seperti biasanya, hehehe.”

Segera, kami pun memproses segala hal yang diperlukan dalam perjalanan tersebut. Alhamdulillah, sekitar tiga minggu lalu, visa “Etats Schengen” akhirnya kami dapatkan tanpa kami harus pergi ke Jakarta. Hal itu kami pernah pergi ke Eropa beberapa kali.  Selain ke Belanda, kami juga bermaksud pergi ke Belgia. Karena itu, sebelum berangkat, saya kemudian menghubungi Mas Andi Yudha Asfandiyar, mantan CEO Penerbit Mizan, yang kini bermukim di Brussels, bahwa saya akan mampir ke sana pada 4 September 2013. “Mas, monggo diantos di Brusselnya. Tanggal itu kami siap. Semoga perjalanan lancar dan sehatsegerbarokah selalu,” jawabnya lewat message di facebook. Dan, kebetulan, seorang sahabat yang juragan sebuah perusahaan IT di Jakarta juga mengajak kami untuk pergi bersama dari Belanda ke Belgia. Dia ingin membawa kami ke kantor cabangnya yang baru di Eindhoven dan kemudian pergi ke Brussels untuk bertemu dengan duta besar Republik Indonesia di sana. Alhamdulillah.

Kemudian, pada Kamis sore, 29 Agustus yang lalu, kami pun telah berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selepas melintasi konter imigrasi, dan ketika kami sedang duduk sebelum masuk ke dalam boarding lounge, tidak lama kemudian seorang saudara, Dr  M. Toyibi, dan istrinya, muncul. “Mas Toyibi mau ke mana?” tanya saya kepada dokter spesialis penyakit jantung yang bertugas di RS Persahabatan, Jakarta itu.
“Saya mau ke Amsterdam. Mau ikut ESC 2013 Meeting. Tapi, kami juga akan ke Swedia. Kalian mau ke mana?”
“Hehehe, sama Mas, ke Amsterdam. Selain ke Amsterdam, kami akan pergi ke Eindhoven dan Brussels, diajak Dik Harca, juragan perusahaan IT yang juga Mas Toyibi kenal. Dia akan melebarkan usahanya ke Belanda, Belgia, dan Jerman.”
“O, gitu. Kalau begitu, kami akan bergabung. Sebentar, saya akan kontak dia.”

Selepas berucap demikian, dokter spesialis penyakit jantung yang ketika menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada pernah merasakan “hotel prodeo”, alias bui, selama sekitar setahun di Semarang, karena menentang kebijakan politik rezim yang berkuasa di Indonesia kala itu, segera mengontak juragan perusahaan IT yang sedang berada di Hamburg, Jerman itu. “Oke, dia setuju, saya dan istri ikut bergabung dalam perjalanan ke Eindhoven dan Brussels nanti,” ucap Mas Toyibi dengan wajah sumringah.

Tidak lama kemudian kami berempat pun masuk ke dalam perut pesawat terbang KLM dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Amsterdam. Ternyata, pesawat ini penuh dengan penumpang dan tidak ada kursi yang kosong. Saya dan istri, yang mendapat nomer kursi terpisah jauh, akhirnya dapat duduk berdampingan karena kebaikan hati seorang anak muda asal Karangasem, Bali, yang akan kerja di sebuah perusahaan pelayaran di Belanda. Dan, ternyata, pesawat terbang KLM pun terkena dampak kesibukan Bandara Soekarno-Hatta. Akibatnya, pesawat terbang yang kami tumpangi itu terlambat berangkat sekitar dua jam. Akhir-akhir ini, jadwal naik-turun pesawat terbang di Bandara Cengkareng itu memang sangat sibuk.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 14 jam, dan melintasi jarak sekitar 11.160 kilometer, akhirnya pesawat terbang yang kami naiki mendarat di Schipol International Airport pada pukul 06.10 pagi waktu setempat. Karena kami berempat membawa “invitation letter” dari ESC 2013, proses pemeriksaan di konter imigrasi Bandara Schipol pun berjalan lancar. Tanpa banyak pertanyaan, paspor kami pun dicap “30.08.13.86 AMSTERDAM SCHIPOL G 305”.  Dan, begitu melewati “exit”, para penjemput para peserta ESC 2013 tampak bertebaran di mana-mana. Mas Toyibi dan istri segera menuju Ibis Hotel di lingkungan bandara Amsterdam itu. Sedangkan saya dan istri, yang mengatur sendiri perjalanan kali ini, segera menuju ke konter “Train Tickets & Services” untuk membeli tiket kereta api jurusan Amsterdam Centraal.

Setelah memegang dua tiket seharga 4.40 euro, kami kemudian menuju ke peron nomer 2 dengan tulisan “Naar de trainen 1-2”. Membaca tulisan dalam bahasa Belanda tersebut, entah kenapa tiba-tiba pelbagai kosakata bahasa Belanda yang pernah saya pelajari, ketika masih menjadi mahasiswa di Jogjakarta, bermunculan kembali. Perlu dicatat, setiap seperempat jam ada kereta api yang berangkat dari Schipol Airport menuju stasiun tersebar di Kota Amsterdam: Amsterdam Centraal. Juga, sebaliknya. Dan, setelah melintasi dua stasiun, Amsterdam Lelyland dan Amsterdam Slotterdijk, akhirnya kereta api nyaman dan bersih yang kami naiki tiba di Stasiun Amsterdam Centraal. “Andai saja antara Cengkareng dan Gambir segera ada kereta api seperti ini,” gumam istri saya sambil memandangi kereta api-kereta api yang keluar dan masuk di stasiun yang lebih besar dari Stasiun Gambir, Jakarta itu. “Bersih, rapi, dan terintegrasi seperti Stasiun Sydney.”

Begitu turun dari kereta api, kami pun kebingungan dalam mencari tempat penginapan yang kami tuju: Clemens Hotel, yang berada di Raadhuisstraat. Sebab, kami belum pernah ke Amsterdam.  Namun, karena sebelumnya saya sudah membaca “info” seputar kota tua itu, saya kemudian membeli tiket trem dan bus GVB yang berlaku untuk masa tiga hari, seharga 16.50 euro. Masa berlaku tiket GVB tersebut aneka ragam, ada yang berlaku satu jam, satu hari, dua hari, atau tiga hari. Dari peta yang disediakan dalam trem yang kami naiki, kami kemudian menaiki trem nomer 13 (juga bisa naik trem nomer 17) dan turun di Halte Westermarkt. Ketika ada pengumuman “volkende halte: Westermarkt”, kami pun segera siap-siap. Dan, setelah trem itu berhenti di halte yang terletak di depan sebuah gereja megah dan cantik, kami pun turun. “Oh, ini dia Raadhuisstraat,” gumam saya dalam hati seraya memandangi para pesepeda yang lalu lalang di jalan itu. “Enak juga naik sepeda di jalan yang mulus seperti ini. Andai jalan di Kota Bandung seperti ini, saya pun akan naik sepeda ke mana-mana.”

Dengan mendorong masing-masing satu kopor, dan dengan kebingungan, kami pun mencari tempat penginapan yang kami tuju. Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya hotel kecil tempat kami menginap pun kami temukan. Kami sendiri, setelah beberapa hari kemudian, baru tahu, ternyata hotel kecil itu berada tidak jauh dari Dam Square dan lokasinya sangat startegis. Lagi pula, harganya terjangkau oleh kocek kami. Tapi, setelah berada di bawah sebuah papan nama kecil bertuliskan “Clemens Hotel”, yang kami dapati hanyalah sebuah pintu tertutup. Di dekat pintu itu ada bel dan kamera. Dasar orang desa, sejenak kami pun kebingungan. Padahal, mata kami terasa berat dan tubuh pun kecapaian setelah menempuh perjalanan tidak kurang dari 20 jam dari Bandung. Setelah berpikir beberapa lama, saya kemudian memencet bel yang ada di dekat pintu dan berucap dalam bahasa Inggris, karena kami tidak dapat berbahasa Belanda, “Kami dari Indonesia dan akan menginap di hotel ini…”
“Apakah Anda telah melakukan reservasi?” tanya suara seorang perempuan di bel itu.
“Ya, kami membawa bukti reservasi tersebut. Kami akan menginap di sini selama enam hari.”
“Oke, tunggu sebentar,” jawab suara itu. “Oke, kini dorong pintu di depan Anda.”
Ndeso tenan. Dasar orang desa, hehehe,” gumam saya, yang belum pernah menginap di tempat penginapan dengan model begini, sambil mendorong pintu di depan saya.

Tapi, begitu pintu itu terbuka, apa yang ada di depan saya?

Tangga miring dan terdiri dari entah berapa tahap. Begitu melihat tangga miring dan jauh itu, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke Giza, Mesir, dan terkenang ketika masa muda dan sedang memasuki Piramid Khufu. Persis: miring dan jauh. “Wah, bagaimana saya harus mengangkat dua kopor ini?” gumam saya dalam hati. “Gawat, (sakit) kaki kiri saya (yang tahun lalu harus dioperasi karena jatuh ketika turun dari kereta api di Stasiun Bandung) bisa kambuh lagi.”

Belum lagi kebingungan saya sirna, seorang cewek cantik dan muda melongokkan kepalanya di samping tahap terakhir tangga tersebut dan berteriak kepada saya, “Biarkan kopor kalian. Biar kopor-kopor  itu diangkat Ahmed ke atas.”
“Ahmed, siapa dia?” gumam saya.
Tidak lama kemudian, seorang anak muda turun dan mengangkat dua kopor kami. Anak muda itu ternyata adalah Ahmed, dan alhamdulillah, dia seorang Muslim asal Mesir. Dan, ketika kami “mendaki” ke atas sampai ke kamar yang kami inapi, ternyata tangga itu terdiri dari 48 tahap. Alamak!

Meski hotel itu kecil, namun pelayanannya bagus. Juga, bersih dan nyaman. Semestinya, kami baru dapat masuk ke dalam kamar pukul 14.00. Tapi, karena hari itu ada satu kamar kosong, kami dibolehkan masuk ke dalam kamar sebelum waktunya. Malah, sebelum memasuki kamar, kami dipersilakan menikmati breakfast. Apa yang terjadi ketika kami berada di restoran untuk menikmati makan pagi?

Ketika istri saya sedang kebingungan: apakah menu yang disajikan halal atau haram, seorang anak muda yang melihat istri mengenakan jilbab pun berucap, “Madame tidak usah khawatir. Semua makanan yang kami sajikan halal.”
“Kok Anda berani menjamin demikian?” tanya saya.
“Kenalkan, nama saya Hasan. Saya dari Alexandria. Saya juga Muslim seperti kalian dan pelayan di resto ini. Karena itu, saya tahu benar, semua hidangan ini halal.”
Intû min Masr? Kân zamân anâ sâkin fî Al-Qâhirah. Anda dari Mesir? Dulu, saya tinggal di Kairo,” ucap saya kepada anak muda itu.
Begitu Hasan mendengar saya berbicara dengan bahasa Arab harian ala Mesir, segera dia memeluk saya dan berucap, “Anda saudara saya. Silakan nikmati hidangan di sini sepuas-puasnya. Saya akan membuatkan kalian omelet yang sangat lezat.”
“Alhamdulillah,” ucap istri saya begitu ia saya beritahu tentang apa yang dikatakan Hasan. “Allah Swt. senantiasa memberikan kemudahan kepada kita.”

Usai menikmati makan pagi, kami kemudian menuju kamar. Ukuran kamar itu, ternyata, tidak lebih dari 3 x 3 meter. Tapi, kamar itu nyaman, bersih, dan view di luar menarik. Dan, tidak lama kemudian, kami pun tidur pulas. Kecapaian! (Bersambung: “MENGAJI” DI AMSTERDAM RAI: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (2). 


No comments: