“MENGAJI” DI AMSTERDAM RAI:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (2)
“Neng, bangun,” ucap saya kepada istri ketika saya
terjaga dari tidur pulas selama sekitar empat jam. “Lihat, saat ini telah menunjuk sekitar pukul
14.00 siang waktu Amsterdam. Bukankah siang ini kita akan survei dulu rute ke
Amsterdam RAI?”
Kami, memang, saat itu benar-benar kecapaian. Usia di
atas 55 tahun dan lelah menempuh perjalanan lebih dari 20 jam serta lebih dari
11.600 kilometer membuat kami tumbang. Malah, karena itu, pagi hari sebelum
tidur, kami pun membatalkan pertemuan kami dengan Mbak Imazahra dan Mas Risyan
Nurhakim, dua sejoli asal Bandung yang
sedang “honeymoon backpacker”an ke pelbagai negara di Eropa dan saat itu sedang
berada di Belanda. Apalagi, hari itu, menurut Mbak Imazahra, Metro Amsterdam
sedang libur. “Assalamu’alaikum. Ini Imazahra. Kami kebingungan menuju
Amsterdam, karena hari ini Metro ternyata sedang ‘meliburkan diri’ karena
perbaikan jalur metro,” demikian bunyi short message (sms) dari Mbak Ima
pagi hari itu, Jumat 30 Agustus 2013. Namun, mengingat kami sore itu harus
pergi ke Amsterdam RAI Exhibition and Convention Centre, alias RAI
Congrescentrum dalam bahasa Belanda, tempat istri akan “mengaji” alias
“sekolah”, kami pun segera bangkit dari tempat tidur.
Eh, ternyata begitu bangun, kami merasa lapar. Padahal,
kami baru menikmati makan pagi sekitar empat jam sebelumnya. Mungkin, karena
cuaca Amsterdam hari itu berkisar antara 14 derajat celcius sampai 20 derajat
celcius, membuat kami cepat lapar.
Sambil bersiap-siap, meski telah menginjakkan kedua kakinya di lima
benua, istri yang “anak rice cooker”, alias selalu harus makan dengan nasi,
segera menanak nasi dengan rice cooker kecil yang dibawanya. “Dasar
orang Indonesia. Makan harus selalu dengan nasi. Itu yang membikin beras mahal
di sana,” canda saya kepadanya. Menggodanya.
“Biarin,” jawab istri saya penuh semangat. “Yang penting halâlan
thayyiban.”
“Hehehehe,” ucap saya sembari tersenyum.
Segera, kami pun menikmati makan siang dengan menu darurat.
Untung, di Amsterdam kita mudah mendapatkan beras. “Risjt Pandan”, alias beras
merek Pandan Wangi, bisa didapatkan di mini market “Albert Heijn” yang terletak
empat rumah di sebelah hotel yang kami inapi atau tempat-tempat lainnya. Perut
lapar dan cuaca dingin membuat kami lahap menikmati makanan yang dibuat
mendadak itu. Dan, setelah semua siap,
termasuk dua tas punggung yang berisi jaket dan payung (meski menurut ramalan
cuaca hari itu ‘clear’), dan tentu saja paspor, kami pun segera turun dari kamar.
Tentu saja, melewati tangga yang terdiri dari 48 step. Capek deh.
Begitu berada di depan Clemens Hotel, masih di
Raadhuisstraat, kami lihat para pesepeda sedang berlalu lalang dengan
nyamannya. “Betapa baik hati pemerintah Kota Amsterdam kepada para pesepeda.
Mereka, di mana-mana, dibuatkan jalur sepeda nan sangat nyaman. Orang-orang
yang naik mobil pun sangat menghormati mereka,” gumam saya melihat para
pesepeda itu. Yang menarik perhatian saya, sepeda-sepeda yang sedang
‘istirahat’, di mana-mana, semuanya dikunci dengan gembok-gembok gede. Konon,
di Belanda banyak maling sepeda, hehehehe.
Berbeda dengan ketika datang pertama kali, dari pintu
hotel kini kami melangkahkan kaki ke arah kanan. Tidak menuju Halte
Westermarkt, tapi menuju Halte Dam. Oh, ternyata, tidak jauh dari situ tegak
dengan megahnya Magna Plaza, sebuah mall terkenal di Kota Amsterdam. Dan, tidak
jauh dari situ, di seberang jalan, tegak dengan tak kalah megahnya “Koninklijk
Paleis”, alias Istana Kerajaan, dan “Nieuwe Kerk”, alias Gereja Baru. Begitu
semakin mencermati peta yang saya bawa, saya pun kian menyadari, hotel yang
kami tempati ternyata dekat sekali dengan Dam Square. Cukup dengan jalan kaki.
Padahal, Dam Square tidak jauh dari sebuah lokasi “merah” yang terkenal di
seluruh dunia, yaitu Red Light District.
“Neng, ternyata kita ini menuju Dam Square,” ucap saya
kepada istri. “Lihat bangunan megah di depan kita itu. Itu kan “Koninklijk
Paleis”, atau Istana Kerajaan. Sedangkan bangunan di samping kirinya adalah
“Nieuwe Kerk”, atau Gereja Baru. Nah, di depan kedua gedung itu terdapat Dam
Square. Tidak jauh dari situ terdapat Monumen Nasional. Dan, tidak jauh dari
monumen itu terletak sebuah distrik terkenal di kota ini, yaitu Red Light
District.”
“Selepas dari Amsterdam RAI,” sahut istri, penuh
semangat, “bagaimana kalau kita ke Dam Square. Lalu, dari situ kita menuju Red
Light District. Saya ingin tahu, apa bedanya “suasana” di distrik itu dengan
“suasana” kompleks “kupu-kupu malam” yang pernah saya teliti selama tiga bulan.
Karena itu, saya pernah hidup bersama
mereka, selama tiga bulan, dan memahami a sampai z persoalan yang mereka hadapi
dan rasakan. Apalagi, saya kan biasa menemukan dan menghadapi pasien-pasien
yang terkena narkoba dan ‘terjebak’ dalam ‘kehidupan malam’ seperti di distrik
itu. Menurut Mas bagaimana? ”
“Entah kenapa, dalam benak saya tiba-tiba muncul ide:
bagaimana kalau saya mencari seorang sahabat yang bisa di’komporin’ untuk
menyusun disertasi tentang Red Light
District dari sudut pandang hukum Islam,” jawab saya. “Saya tidak ingin kita
memvonisnya haram begitu saja. Tapi, dalam disertasi itu dibahas dengan
tinjauan yang benar-benar komprehensif dan luas. Sehingga, lewat kajian itu,
dapat dicarikan solusi yang benar-benar tepat dan tuntas atas kasus serupa yang
sebenarnya juga terdapat di mana-mana. Karena itu, kalau begitu sekarang kita
naik trem saja, menuju Amsterdam Centraal.
Menghemat waktu. Lagi pula, kita punya kartu ‘sakti’ yang dapat
digunakan naik trem dan bus GVB ke mana-mana.
Dari sana, kita menikmati Canal Cruises dulu. Setelah itu, kita menuju
Amsterdam RAI. Dan, pulangnya, kita naik trem lagi dan turun di Dam Square.
Dari situ kita menuju ‘distrik merah’ itu.”
“Oke, let’s go.”
Kami pun kemudian segera naik trem nomer 17 yang menuju
Amsterdam Centraal, dengan menempelkan kartu, yang disebut dalam bahasa ‘londo’
dengan sebutan ‘Die GVB-Tageskarte’, di card reader. Kartu itu
benar-benar ‘sakti’, hehehe. Dengan
menempelkan kartu itu di ‘card reader’, setiap kali naik dan turun trem atau
bus, kita dapat pergi ke mana-mana sesuai dengan masa berlakunya kartu
tersebut. Miriplah dengan kartu ‘EZ-Link’ di Singapura atau kartu ‘Touch n Go’
di Kuala Lumpur.
Setelah melintasi dua halte, kami pun tiba di Amsterdam
Centraal. Stasiun pusat kereta api di Kota Amsterdam ini terintegrasi dengan
bus, kapal, dan kereta api antarnegara. Di depan stasiun itu terdapat halte
trem dan bus menuju ke pelbagai penjuru Kota Amsterdam. Di samping terminal
trem dan bus itu, terdapat terminal feri dan kapal yang menyusuri kanal-kanal
dan laut di seputar kota nan cantik itu. Sedangkan di bagian belakang stasiun
itu terdapat terminal bus-bus yang menuju luar kota, seperti ke Edam dan
Vollendam. Dan, dari stasiun itu pula
kita dapat pergi menuju ke berbagai kota di Belanda, juga kota-kota di luar
Belanda seperti Brussels, Berlin, dan Paris, dengan kereta api yang nyaman dan
bersih. Bila Anda ingin naik kereta api dari stasiun ini, Anda bisa membeli
tiket dengan mudah di ATM atau ke loket ‘Train Tickets & Services’. Di tempat
itu, antara konter kereta api internasional dan konter kereta api domestik
dipisahkan. Membeli tiket di situ mudah sekali kok. Jika Anda mau ke Paris,
misalnya, Anda dapat membeli tiket kereta api Thalys di situ.
Begitu turun dari trem nomer 17, kami kemudian menuju
pangkalan kapal. Segera, kami menemukan sebuah pangkalan ‘cruise’ yang
menyusuri kanal-kanal di seputar Kota Amsterdam dan Laut Utara. Segera pula,
kami pun ikut bergabung dengan para penumpang yang sudah mengisi kapal
tersebut. Selama perjalanan sekitar satu jam, saya pun menjadi tour guide
bagi istri yang tak henti-hentinya bertanya tentang banyak hal: menjelaskan
pelbagai bangunan dan sejarahnya. Ketika kami melihat bangunan ‘Kapal Kompeni’,
saya pun berkomentar, “Ini dia kapal yang mengantarkan para kompeni ke
Indonesia. Dengan kapal ini pula, mereka menjajah Indonesia selama sekitar 350
tahun…”
Puas menikmati ‘canal cruise’, kami kemudian menuju
pangkalan trem. Kali ini, kami mencari trem nomer 4, trem yang menuju Halte
Amsterdam RAI. Sepanjang perjalanan, di sebelah kanan dan kiri jalur trem, bangunan-bangunan lama dan baru tertata rapi.
Di dekat salah satu halte, tepatnya di dekat Halte Rembrandtpleine, terlihat
oleh kami sebuah patung seorang pelukis kondang Belanda: Rembrandt Harmenszoon
van Rijn (1606-1669), atau lebih terkenal dengan panggilan Rembrandt saja. Naik
trem jalur ini, mengingatkan kami ketika ‘ngluyur’ di seputar Kota Vienna,
Austria, beberapa tahun yang lalu, dengan tujuan yang sama: mengaji ilmu
penyakit jantung dalam kongres yang juga diselenggarakan European Soceity of
Cardiology. Dan, selepas melintasi
sejumlah halte, akhirnya trem yang naiki berhenti di Halte Amsterdam RAI.
Apa itu Amsterdam RAI?
Amsterdam RAI, atau nama lengkapnya The Amsterdam RAI
Exhibition and Convention Centre, merupakan suatu kompleks gedung-gedung
konferensi, kongres, dan pameran paling bergengsi di Belanda. Malah, juga di
seluruh Eropa. Kompleks ini terletak di kawasan bisnis terkenal di Amsterdam
yang terkenal dengan sebutan Distrik Zuidas.
Di sinilah, kongres ESC 2013 diselenggarakan antara 31 Agustus sampai 4
September 2013.
Mengapa istri memilih mengaji ilmu penyakit jantung di
ESC?
Menurut Mas Toyibi, dokter spesialis penyakit jantung
yang juga anggota Indonesian Medical Council, di dunia ini ada dua kegiatan
yang paling bergengsi yang berkaitan dengan ilmu penyakit jantung. Salah
satunya ya kegiatan ilmiah yang diselenggarakan ESC itu. Tidak aneh jika
kongres ESC 2013 dihadiri sekitar 43 ribu dokter (khususnya dokter spesialis
penyakit jantung, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter spesialis anak)
dari pelbagai penjuru dunia. Luar biasa. Tak aneh, jika ke kongres ini pula
istri akan mengaji selama beberapa hari. Bukankah mengaji, meminjam ungkapan
Gus Mus, ‘tidak hanya tentang ilmu-ilmu yang dewasa ini disebut dengan sebutan
ilmu-ilmu agama saja’. Mendalami ilmu kedokteran juga mengaji, bukankah begitu,
Gus Mus? Sekian (sudah capek menulisnya dan Anda juga sudah capek membacanya
ya. Bersambung: “MELIHAT RED LIGHT DISTRICT DARI SISI LAINl: Perjalanan Santri
Ndeso ke Belanda-Belgia (3)).
No comments:
Post a Comment