LO, ITU KAN FOTO IBU MEGA, KOK DIJAJAKAN DI SITU:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (5)
Meski berada di Kota Amsterdam, namun kebiasaan kami
berdua: bangun sebelum subuh, tetap terjaga baik. Karena itu, sebelum waktu
shalat Subuh tiba, istri pun segera membuka laptop yang dibawanya, meski kamar hotel yang kami inapi sempit sekali. Beberapa tugas presentasi di rumah sakit,
alhamdulillah, akhirnya dapat dia rampungkan selama beberapa hari di kota itu.
Sedangkan saya, selain membuat catatan ringkas hasil perjalanan, juga “melahap”
beberapa buku yang saya bawa dan beli di kota itu, sambil menyiapkan outline
(calon) buku-buku baru yang kerap kali muncul dalam perjalanan.
“Bekerja”, “Mengaji (menimba ilmu dan mencari pengalaman
baru)”, dan “Kluyuran”, itulah yang kami lakukan setiap kali melakukan
perjalanan. Ke manapun kami melangkahkan kaki. Baik ketika ke Singapura,
Malaysia,Turki, Hongkong, China, Macao, maupun Australia. Tidak aneh jika, kini, penyakit “suka kluyuran” itu
menular kepada dua putri kami. Yang sulung sudah “kluyuran” ke 24 provinsi di
Indonesia (termasuk Aceh dan Papua) dan 11 negara. Sedangkan yang bungsu sudah
“kluyuran” ke 12 provinsi dan 8 negara. Kadang, kami “kluyuran” berempat,
kadang mereka jalan sendiri. Dengan
biasa “kluyuran”, kami pun menjadi terbiasa membuat perencanaan mendadak,
keluar dari zona nyaman, serta senantiasa siap menghadapi situasi dan kondisi
tidak terduga dengan budaya, adat istiadat, dan agama yang beragam. Di mana pun
berada, alhamdulillah.
Nah, usai melaksanakan shalat subuh dan menanak nasi (dasar
orang Indonesia, sulit berpisah dengan nasi), istri tiba-tiba berucap kepada
saya, “Mas, hari ini aku mau “mengaji” materi penyakit jantung yang
dipresentasikan sore nanti saja. Pagi ini, bagaimana kalau kita “ngluyur”. Ke
mana enaknya?”
“Baru sehari “mengaji” sudah membolos, hehehe. Bagaimana
kalau pagi ini kita pergi ke Desa Zaanse Schans, tempat kincir angin-kincir
angin kuno di Belanda ini. Dari sana, kita pergi ke Vollendam, sebuah desa
nelayan terkenal di negeri ini.”
“Membolos sih tidak. Kan selain “mengaji”, kita juga
perlu “kluyuran”, untuk membuka wawasan kita.” “Oke, jika demikian, hari ini kluyuran ke Desa
Zaanse Schans dan Vollendam. Lalu, kita ke Amsterdam RAI. Setelah itu, kita
“kluyuran” lagi, naik dan turun trem di seputar Amsterdam!”
Segera, kami pun berkemas-kemas. Saya, yang kerap menjadi
tour leader ke berbagai negara, segera membaca peta Belanda. Dan, seusai
menikmati breakfast, kami segera “bergerak” menuju Stasiun Amsterdam
Centraal, karena memburu kereta api pagi. Tujuan kami, saat itu, adalah Stasiun
Koog-Zaandijk. Kemudian, setiba di stasiun terbesar di Kota Amsterdam itu, kami
kemudian pergi menuju ke loket penjualan tiket domestik, yang berada di
seberang loket internasional. Kami pun membeli tiket “dagretour”, tiket
pulang-pergi yang berlaku sehari, seharga 6,30 euro. Mahal, memang, kalau
dihitung dengan rupiah. Itu pun untuk kereta api kelas dua, bukan kelas satu
dengan kursi yang mewah dan lapang. Kami mendapat jadwal kereta api dengan
keberangkatan pukul 08.25 pagi waktu Amsterdam.
Kami pun segera menuju ke peron 7 a, tempat mangkal
kereta api yang akan menuju ke Koog-Zaandijk pagi itu. Untuk menuju peron
tersebut, kita perlu naik ke lantai kedua dengan elevator. Begitu sampai di
lantai dua, ternyata suasana masih sepi. Hanya ada satu atau dua penumpang yang
sedang menunggu. Salah seorang di antara mereka adalah seorang anak muda
ganteng dan berkulit putih. Semula, saya kira dia adalah anak muda Belanda.
Ternyata, dia anak muda keturunan Maroko. Dia bermaksud mengambil mobilnya yang
dia parkir di luar kota. Tahu kami Muslim dari Indonesia, anak muda itu pun
mendampingi kami dalam perjalanan menuju Koog-Zaandijk. Selama dalam
perjalanan, anak muda yang bekerja di restoran dan tinggal di pinggir Kota
Amsterdam hanya dengan ibu dan saudara perempuannya itu banyak bercerita
tentang kehidupannya di Kota Amsterdam.
Tidak lama kemudian, kereta api yang akan menuju Koog-Zaandijk
pun datang. Segera, kami mencari gerbong yang bertuliskan angka 2, karena kami
membeli tiket kelas dua. Ternyata, ruangan yang kami tempati di kereta api itu nyaman
sekali, meski hanya kelas dua. Kami memilih duduk di ruang lantai dua, karena
dapat melihat dengan leluasa sekali pandangan di luar kereta api. Setelah
berhenti beberapa lama, kereta api milik Netherlands Spoorwegen (NS) yang
berwarna kuning-biru itu kemudian bergerak dan kemudian melaju cepat. Menurut
keterangan bagian informasi, jarak tempuh antara Amsterdam Centraal-Koog Zaandijk,
dengan kereta api, hanya 17 menit. Saya, yang pernah menjadi pengguna kereta
Jakarta-Bandung setiap minggu selama beberapa tahun, pun bertanya dalam hati, “Bagaimana
pihak NS mengelola kereta api ini demikian rapi dan tepat waktu?”
Selain dengan manajemen perkeretaapian yang bagus,
ternyata, berdasarkan pengamatan saya, rata-rata di Belanda jalur kereta api
ada empat. Beda dengan di Indonesia yang kebanyakan hanya satu jalur saja.
Pantas, efisien, tepat waktu, dan nyaman.
Rasanya, kami hanya sebentar saja naik kereta api tersebut.
Sekitar 15 menit saja. Sedangkan jika naik bus diperlukan waktu sekitar 40
menit. Juga, dari Amsterdam Centraal. Setiba di Stasiun Koog-Zaandijk, yang
turun dari kereta api hanya delapan orang: kami berdua dan enam orang Jepang
yang, ternyata, juga peserta kongres ESC 2013. Mungkin, karena masih pagi, baru
sedikit orang yang pergi ke sana dengan naik kereta api. Mengikuti petunjuk
yang ada, kami kemudian melewati terowongan. Setelah melewati terowongan, kami
belok kiri dan kemudian belok kanan. Begitu belok kanan, di samping kanan dan
kiri Stationsstraat (alias Jalan Stasiun) tegak rumah-rumah tradisional
Belanda. Namun, saya tidak melihat satu pun warga yang nongol di rumah-rumah
itu, meski di depan rumah-rumah itu banyak mobil sedang parkir. “Sepi banget
begini, ya,” ucap istri sambil memandangi rumah-rumah yang cantik dan terawat
baik itu. “Padahal, di depan rumah-rumah itu banyak mobil parkir.”
“Mungkin, karena baru pukul 09.00 pagi, mereka masih
tidur pulas selepas menikmati malam minggu,” jawab saya. “Barang kali saja,
hehehe.”
Setelah melintasi Stationsstraat, kami kemudian belok
kiri. Eh, di situ tegak sebuah kincir angin besar dan kuno. Kami pun berfoto,
sebagai kenangan, tentu saja. Kemudian, tidak jauh dari situ, kami belok kanan.
Ternyata, di situ terbentang jembatan. Melihat jembatan itu, tiba-tiba benak
saya “melayang-layang” ke sebuah jembatan di dekat Masjid Baiturrahman, Banda
Aceh, karena sedikit ada kemiripan di antara keduanya. Kemudian, tidak jauh
dari situ ada jalan belok ke kiri. Nah, di gerbang jalan itu terdiri kotak setinggi
orang disertai tuas. Ketika tuas itu digerakkan istri, yang keluar ternyata
peta Desa Wisata Zaanse Schans.
Begitu memasuki desa wisata itu, yang sangat rapi,
bersih, dan tenang, di situ berdiri sederetan rumah-rumah tradisional. Kami pun
masuk ke desa itu. Ternyata, di situ tegak enam kincir angin berukuran besar.
Masing-masing kincir-kincir angin itu memiliki nama dan fungsi yang berbeda:
“De Huisman”, tempat pembuatan
rempah-rempah, “De gekroonde Poelenburg”, tempat pembuatan gergaji, “De Kat”, tempat
pembuatan cat, “De Zoeker”, tempat pembuatan minyak, “Het Jonge Schaap”, tempat
pembuatan gergaji, dan “De Bonte Hen”, tempat pembuatan minyak. Selain kincir
angin-kincir angin, di desa itu juga terdapat beberapa museum: museum wine,
museum keju dan bengkel cara membikinnya, museum klompen, museum Albert Heijn,
dan museum Zaanse Schans.
Mengingat waktu yang terbatas, kami hanya “melongok”
keenam kincir itu saja dan tidak sempat memasuki museum-museum tersebut. Ketika
kami meninggalkan lokasi tersebut, kami lihat rombongan para dokter dari
Indonesia, dengan naik beberapa bus, baru saja datang. Dari Desa Zaanse Schans,
kami kemudian kembali ke Stasiun Koog-Zaandijk. Jalan kaki, tentu saja. Tidak
lama kemudian, datanglah kereta api yang membawa kami kembali ke Stasiun Amsterdam
Centraal. Karena ketika berangkat kami telah membeli tiket “dagretour”, maka
ketika dari Koog-Zaandijk kami tidak perlu membeli tiket lagi. Sekitar
seperempat kemudian, kami sudah tiba di Stasiun Amsterdam Centraal. Setelah
turun dari kereta api, kami lantas menuju ke bagian belakang stasiun. Di situ,
kami membeli tiket bus EBS yang menuju Vollendam. Ternyata tiket seharga 15
euro itu berlaku selama sehari dan dapat digunakan untuk naik bus EBS. Ke mana
saja.
Menunggu tidak lebih dari lima menit, datang kemudian bus
nomer 118 (ke Vollendam kita juga bisa naik bus nomer 110). Sepanjang
perjalanan, kami melihat kebun-kebun yang juga dijadikan tempat penggembalaan
sapi-sapi perah. Semuanya terawat bagus. Dan, tidak lebih lima puluh menit
kemudian, tibalah kami di Desa Vollendam, sebuah kampung nelayan Belanda. “Wow,
bersih, rapi, dan asri sekali,” seru istri. “Andaikan Pantai Pangandaran atau
Pantai Gili Trawangan di Lombok dapat dibuat seperti ini, tentu kian banyak
pengunjungnya.”
“Ya, andai saja kan,” jawab saya sambil tersenyum.
“Barang kali, di Indonesia terlalu banyak pantai indah. Akibatnya,
pengelolaannya seenaknya saja. Lihat orang-orang itu. Betapa santai sekali
mereka naik sepeda, ke sana ke mari. Tiada mobil satu pun yang tidak
menghormati mereka.”
Tidak jauh dari tempat pemberhentian bus itu, tiba-tiba
kami melihat enam orang yang berpenampilan “Indonesia banget”. Kami pun menyapa
mereka. Ternyata, mereka memang orang Indonesia. Dan, mereka tinggal di situ.
“Duh, di mana-mana bertemu dengan orang Indonesia. Padahal, kampung ini kan ‘di
ujung dunia’,” gumam saya dalam hati.
“Bapak dan Ibu ke sini naik apa?” tanya mereka.
“Naik bus dari Stasiun Amsterdam Centraal,” jawab saya.
“Memangnya kenapa?”
“Berani sekali,” sahut mereka. “Biasanya orang-orang
Indonesia, ketika pergi ke sini, ikut tour group.”
“Kami bukan mereka, hehehe. Kami memang suka ‘kluyuran’
kok.”
Segera, kami berpamitan dengan mereka, karena waktu yang
terbatas. Segera pula, kami menuju ke arah Kampung Nelayan Vollendam. Meski
tidak besar, kampung itu tertata rapi, bersih, dan nyaman. Di situ, banyak kafe
dan restoran yang menyajikan sea-food. Tentu saja, kan kampung itu
kampung nelayan. Ketika kami berjalan semakin jauh, eh di sisi kiri jalan kami
menemukan sebuah toko foto, Toko Z. Begitu melihat ke etalase toko itu, eh di
situ terpampang foto-foto sejumlah tokoh papan atas Indonesia sedang mengenakan
pakaian ala nelayan Vollendam, “Lo, itu kan fotonya Ibu Megawati dan Pak Taufik
Kiemas (alm). Kenapa dijajakan di situ,” gumam saya begitu melihat foto-foto
itu. “Ibu Mega kan pernah jadi Presiden Indonesia. Selayaknya, tidak dijadikan
model begitu, ah.”
Itulah pintarnya toko tersebut. Nampaknya, untuk memikat
supaya orang-orang Indonesia, termasuk saya dan istri yang akhirnya juga
ikut-ikutan berfoto di situ, toko itu “menjajakan” foto-foto para penggede
Indonesia. Termasuk foto Prof. Dr. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah
saat ini. Tidak aneh, ketika melihat foto-foto para penggede itu, banyak orang
Indonesia yang tertarik ikut berfoto di situ.
Karena asyik ‘kluyuran’ ke Zaanse Schans dan Vollendam,
tidak terasa waktu sudah mendekati pukul dua siang. Karena perut kelaparan, dan
tidak membawa bekal, akhirnya kami mengikuti jejak para mahasiswa Malaysia dari
Inggris yang asyik menikmati nasi kuning ala Belanda dan udang goreng. Hal itu
kami lakukan setelah kami bertanya kepada mereka, apakah makanan yang mereka
nikmati halal atau tidak. Sayang, rasa nasinya hambar sekali. Tanpa sambal
soalnya, hehehe.
Selepas menikmati makan siang, kami segera kembali ke
Amsterdam Centraal dan kemudian menuju gedung Amsterdam RAI. Setelah istri
‘mengaji’, saya pun ingat pesan Mas Muzammil Basyuni, mantan wakil duta besar
Indonesia dan mantan duta besar Indonesia di Suriah, yang berpesan kepada saya
sebelum saya berangkat ke Belanda, “Mas, cari Pak Ahmad Naf’an Sulchan atau
Meneer KH. Hambali di sana, ya.” Teringat pesan itu, saya pun kebingungan,
karena tidak punya sama sekali ‘data’ mereka. Apalagi, saya belum kenal dan belum
pernah bertemu dengan mereka. Akhirnya, saya pun mengambil keputusan untuk
tidak jadi mencari mereka. Karena itu, seusai istri ‘mengaji’ tentang penyakit
jantung, kami pun mengambil keputusan untuk ‘kluyuran’ lagi. Kali ini, kami
menuju Osdorp.
Eh, ketika di tengah perjalanan, kami bertemu seorang
anak muda asal Kediri, Mas Suherman. Dia baru saja pulang bermain badminton.
Ketika dia kami tanya tentang masjid orang Indonesia di Kota Amsterdam, kami
kemudian dia ajak menuju Masjid Al-Ikhlash yang terletak tidak jauh dari
Osdorpplein, “Mari saya antarkan ke sana,” ucapnya penuh semangat. “Saya tadi
siang juga ikut pengajian di sana, kemudian main badminton bersama seorang
teman.”
Sayang, ketika sampai di sana, pengajian mingguan yang
mereka adakan baru saja bubaran. Meski demikian, kami sempat bertemu dan berbincang dengan beberapa
pengurus masjid tersebut, alhamdulillah. Dan, dari masjid itu kami kemudian
‘kluyuran’ lagi hingga agak larut malam ke pelbagai penjuru Kota Amsterdam,
sampai kami kenal dengan pelbagai sudut kota tua itu. (Bersambung: MADURODAM
ITU DI DEN HAAG, BUKAN DI MADURA: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia
(6). Kisah Kluyuran ke Den Haag).
No comments:
Post a Comment